Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menilai Joko Widodo sebagai pemimpin yang berani menindak tegas terhadap ormas yang tidak mau mengakui pancasila sebagai dasar negara.
"Secara ideologi, Jokowi ini orang yang berani mengambil risiko untuk menggebuk ormas yang tidak menjunjung tinggi pancasila dan NKRI. Artinya Jokowi mengambil risiko berhadap-hadapan dengan kelompok-kelompok yang selama ini tidak mengakui Pancasila dan demokrasi sebagai sistem politik kita," kata Adi di Jakarta, Selasa.
Hal itu merupakan persoalan yang mudah karena kebijakan yang diambil Jokowi dengan membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan kebijakan tidak populer. Namun, Jokowi siap dimusuhi, siap tidak akan disukai.
"Jokowi tidak kompromi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mengakui Pancasila. Jadi tidak ada tempat bagi siapa pun di negara ini yang tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Dan itu yang dilakukan Jokowi," ujarnya.
Ideologi menjadi salah satu bagian dari tema di debat Pilpres keempat Sabtu (30/3). Jokowi akan kembali berhadap-hadapan dengan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto, beradu gagasan mengenai ideologi, pemerintahan, keamanan, dan hubungan internasional.
"Mungkin karena Jokowi pemimpin sipil. Pemimpin sipil cenderung berani mengambil risiko berhadap-hadapan dengan kelompok-kelompok yang enggak setuju dengan Pancasila. Kalau logika politiknya militer cenderung zero enemy," kata Adi.
Pemimpin militer, jelas dia, cenderung tidak mau ambil risiko, tidak mau dimusuhi oleh kelompok manapun. Pemimpin militer akan meminimalisasi kelompk-kelompok yang berseberangan dengan cara merangkul dengan alasan pembinaan atau pemberian pendidikan tentang kewarganegaraan.
"SBY begitu. HTI itu kan besar juga di zaman SBY. Cuma karena Pak SBY cenderung tidak mau berkonfrontasi. Karena dianggap kelompok-kelompok radikal ini bisa dibina dengan cara pelan-pelan makanya tidak dibubarkan," ujar Adi.
Tetapi, kata dia, kelompok ini pintar juga menyembunyikan agenda politiknya. Mereka tidak konfrontasi terhadap negara tapi pada saat bersamaan mereka semakin konsolidatif. Bahkan, mereka melebarkan sayap politiknya dimana-mana.
Menurut Adi, Jokowi unggul dalam konteks ideologi karena tidak ada ampun bagi ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Di bidang keamanan, kata Adi, Jokowi juga unggul karena situasi keamananan selama lima tahun terakhir cukup terkendali.
"Terorisme nyaris tidak ada. Ada satu dua cepat dilokalisir dan diredam, tidak merembet kemana-mana. Pertahanan negara juga tidak ada ancaman yang nyata," tegasnya.
Terkait kritik dari sejumlah pihak tentang jarangnya Jokowi hadir di acara-acara internasional, Adi mengatakan hal itu tidak sepenuhnya benar karena Jokowi juga punya prestasi luar biasa di bidang hubungan luar negeri.
"Menurut saya yang paling nyata sikap dan keberpihakan Pak Jokowi dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Sekalipun dunia internasional pada dukung Israel, tapi Jokowi tetap mendukung Palestina. Itu harga mati. Itu soal sikap kemanusiaan. Jadi menurut saya tidak benar juga bila dikatakan Jokowi absen," tutupnya.
"Secara ideologi, Jokowi ini orang yang berani mengambil risiko untuk menggebuk ormas yang tidak menjunjung tinggi pancasila dan NKRI. Artinya Jokowi mengambil risiko berhadap-hadapan dengan kelompok-kelompok yang selama ini tidak mengakui Pancasila dan demokrasi sebagai sistem politik kita," kata Adi di Jakarta, Selasa.
Hal itu merupakan persoalan yang mudah karena kebijakan yang diambil Jokowi dengan membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan kebijakan tidak populer. Namun, Jokowi siap dimusuhi, siap tidak akan disukai.
"Jokowi tidak kompromi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mengakui Pancasila. Jadi tidak ada tempat bagi siapa pun di negara ini yang tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Dan itu yang dilakukan Jokowi," ujarnya.
Ideologi menjadi salah satu bagian dari tema di debat Pilpres keempat Sabtu (30/3). Jokowi akan kembali berhadap-hadapan dengan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto, beradu gagasan mengenai ideologi, pemerintahan, keamanan, dan hubungan internasional.
"Mungkin karena Jokowi pemimpin sipil. Pemimpin sipil cenderung berani mengambil risiko berhadap-hadapan dengan kelompok-kelompok yang enggak setuju dengan Pancasila. Kalau logika politiknya militer cenderung zero enemy," kata Adi.
Pemimpin militer, jelas dia, cenderung tidak mau ambil risiko, tidak mau dimusuhi oleh kelompok manapun. Pemimpin militer akan meminimalisasi kelompk-kelompok yang berseberangan dengan cara merangkul dengan alasan pembinaan atau pemberian pendidikan tentang kewarganegaraan.
"SBY begitu. HTI itu kan besar juga di zaman SBY. Cuma karena Pak SBY cenderung tidak mau berkonfrontasi. Karena dianggap kelompok-kelompok radikal ini bisa dibina dengan cara pelan-pelan makanya tidak dibubarkan," ujar Adi.
Tetapi, kata dia, kelompok ini pintar juga menyembunyikan agenda politiknya. Mereka tidak konfrontasi terhadap negara tapi pada saat bersamaan mereka semakin konsolidatif. Bahkan, mereka melebarkan sayap politiknya dimana-mana.
Menurut Adi, Jokowi unggul dalam konteks ideologi karena tidak ada ampun bagi ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Di bidang keamanan, kata Adi, Jokowi juga unggul karena situasi keamananan selama lima tahun terakhir cukup terkendali.
"Terorisme nyaris tidak ada. Ada satu dua cepat dilokalisir dan diredam, tidak merembet kemana-mana. Pertahanan negara juga tidak ada ancaman yang nyata," tegasnya.
Terkait kritik dari sejumlah pihak tentang jarangnya Jokowi hadir di acara-acara internasional, Adi mengatakan hal itu tidak sepenuhnya benar karena Jokowi juga punya prestasi luar biasa di bidang hubungan luar negeri.
"Menurut saya yang paling nyata sikap dan keberpihakan Pak Jokowi dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Sekalipun dunia internasional pada dukung Israel, tapi Jokowi tetap mendukung Palestina. Itu harga mati. Itu soal sikap kemanusiaan. Jadi menurut saya tidak benar juga bila dikatakan Jokowi absen," tutupnya.