Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS), Fajar Bambang Hirawan, menyarankan penguatan pendekatan antarmasyarakat (people to people/P to P) untuk program Inisiatif Jalur Sutera (BRI) China di Indonesia.
"Saya kira akan lebih baik jika pendekatan P to P didahulukan, karena istilahnya tak kenal maka tak sayang," kata Fajar dalam Forum Hubungan ASEAN-China ke-2 di Jakarta, Selasa.
Pendekatan tersebut, menurut Fajar, bisa dilakukan misalnya dengan kolaborasi riset dan pendirian pusat studi. Dengan begitu, diharapkan akan tercipta pemahaman bersama dari masyarakat kedua negara, dan tidak ada lagi kesalahpahaman.
"Ketika kita membicarakan soal Indonesia dan China, itu bisa jadi suatu isu yang sensitif, terutama ketika masa pemilihan umum. Dan mungkin Anda juga mengetahui soal adanya pekerja dari China di daerah industri Morowali, di Sulawesi Tengah," ujar dia.
Fajar menyampaikan pemikiran berdasar pada survei yang dilakukan oleh CSIS mengenai persepsi milenial terhadap negara-negara yang mungkin menguntungkan jika diajak bekerja sama oleh Indonesia, yang hasilnya menempatkan Arab Saudi di posisi tertinggi, sementara China di posisi terendah.
Meskipun survei tersebut diakui Fajar dilakukan sekitar dua tahun lalu dan bersamaan dengan kedatangan Raja Arab Saudi ke Indonesia sehingga mungkin saja menjadi bias, namun hasilnya masih relevan dengan situasi yang terjadi saat ini.
"Yang menarik adalah China menjadi salah satu negara yang ditakutkan akan tidak terlalu berpengaruh positif terhadap Indonesia kalau kita menjalin hubungan dengannya," ungkap dia.
Ketakutan semacam ini terlebih bisa terjadi akibat pengaruh sentimen terhadap negara China yang telah lama berkembang dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, kabar bohong dan penggiringan opini juga turut memengaruhi persepsi negatif tersebut.
Padahal, menurut Fajar, data investasi langsung (FDI) China tahun 2015-2018 menunjukkan bahwa negara yang menduduki posisi pertama dengan jumlah dana investasi terbesar dari China adalah Amerika Serikat, sementara Indonesia berada di posisi ke tujuh.
"Bukan hanya Indonesia yang diinvestasi oleh China, namun juga banyak negara lainnya yang diinvestasi dengan dana dalam jumlah besar," ujar dia.
Fajar kemudian menekankan pentingnya bersikap secara adil. Terlebih dengan kebijakan bebas aktif dalam hubungan internasional, dia menilai Indonesia boleh melakukan kerja sama dengan siapa saja, selagi bisa memberikan keuntungan.
Riset serupa mengenai persepsi masyarakat juga dipaparkan oleh Yeremia Lalisang, akademisi hubungan internasional, khususnya China dan Indonesia, dari Universitas Indonesia dalam acara yang sama.
Yeremia menyebut bahwa salah satu temuan dalam risetnya adalah sebagian kecil responden memiliki persepsi bahwa BRI China memberikan ancaman bagi Indonesia, sementara sebagian besar responden setuju bahwa Indonesia juga akan mendapat keuntungan, dan sebagian besar lainnya memiliki persepsi yang kompleks.
"Terdapat persepsi negatif, namun juga ada persepsi positif. Maka ini menjadi kesempatan bagi Indonesia dan China, serta negara-negara ASEAN lainnya untuk meneruskan kerja sama dengan kerangka BRI," kata Yeremia.
Namun, dengan masih adanya persepsi negatif itu, dia memberikan catatan bahwa China semestinya bisa melakukan strategi baru pada waktu mendatang untuk mempromosikan BRI.
Dia mengambil contoh proyek kereta super cepat yang ditawarkan China untuk relasi Jakarta-Bandung. Menurut Yeremia, masyarakat Indonesia tidak bisa langsung begitu saja menerima kereta super cepat, namun mungkin bisa memulai dengan kereta berkecepatan sedang.
"Karena diperlukan waktu untuk saling memahami, untuk mengetahui konteks lokal negara masing-masing," jelas Yeremia.
"Saya kira akan lebih baik jika pendekatan P to P didahulukan, karena istilahnya tak kenal maka tak sayang," kata Fajar dalam Forum Hubungan ASEAN-China ke-2 di Jakarta, Selasa.
Pendekatan tersebut, menurut Fajar, bisa dilakukan misalnya dengan kolaborasi riset dan pendirian pusat studi. Dengan begitu, diharapkan akan tercipta pemahaman bersama dari masyarakat kedua negara, dan tidak ada lagi kesalahpahaman.
"Ketika kita membicarakan soal Indonesia dan China, itu bisa jadi suatu isu yang sensitif, terutama ketika masa pemilihan umum. Dan mungkin Anda juga mengetahui soal adanya pekerja dari China di daerah industri Morowali, di Sulawesi Tengah," ujar dia.
Fajar menyampaikan pemikiran berdasar pada survei yang dilakukan oleh CSIS mengenai persepsi milenial terhadap negara-negara yang mungkin menguntungkan jika diajak bekerja sama oleh Indonesia, yang hasilnya menempatkan Arab Saudi di posisi tertinggi, sementara China di posisi terendah.
Meskipun survei tersebut diakui Fajar dilakukan sekitar dua tahun lalu dan bersamaan dengan kedatangan Raja Arab Saudi ke Indonesia sehingga mungkin saja menjadi bias, namun hasilnya masih relevan dengan situasi yang terjadi saat ini.
"Yang menarik adalah China menjadi salah satu negara yang ditakutkan akan tidak terlalu berpengaruh positif terhadap Indonesia kalau kita menjalin hubungan dengannya," ungkap dia.
Ketakutan semacam ini terlebih bisa terjadi akibat pengaruh sentimen terhadap negara China yang telah lama berkembang dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, kabar bohong dan penggiringan opini juga turut memengaruhi persepsi negatif tersebut.
Padahal, menurut Fajar, data investasi langsung (FDI) China tahun 2015-2018 menunjukkan bahwa negara yang menduduki posisi pertama dengan jumlah dana investasi terbesar dari China adalah Amerika Serikat, sementara Indonesia berada di posisi ke tujuh.
"Bukan hanya Indonesia yang diinvestasi oleh China, namun juga banyak negara lainnya yang diinvestasi dengan dana dalam jumlah besar," ujar dia.
Fajar kemudian menekankan pentingnya bersikap secara adil. Terlebih dengan kebijakan bebas aktif dalam hubungan internasional, dia menilai Indonesia boleh melakukan kerja sama dengan siapa saja, selagi bisa memberikan keuntungan.
Riset serupa mengenai persepsi masyarakat juga dipaparkan oleh Yeremia Lalisang, akademisi hubungan internasional, khususnya China dan Indonesia, dari Universitas Indonesia dalam acara yang sama.
Yeremia menyebut bahwa salah satu temuan dalam risetnya adalah sebagian kecil responden memiliki persepsi bahwa BRI China memberikan ancaman bagi Indonesia, sementara sebagian besar responden setuju bahwa Indonesia juga akan mendapat keuntungan, dan sebagian besar lainnya memiliki persepsi yang kompleks.
"Terdapat persepsi negatif, namun juga ada persepsi positif. Maka ini menjadi kesempatan bagi Indonesia dan China, serta negara-negara ASEAN lainnya untuk meneruskan kerja sama dengan kerangka BRI," kata Yeremia.
Namun, dengan masih adanya persepsi negatif itu, dia memberikan catatan bahwa China semestinya bisa melakukan strategi baru pada waktu mendatang untuk mempromosikan BRI.
Dia mengambil contoh proyek kereta super cepat yang ditawarkan China untuk relasi Jakarta-Bandung. Menurut Yeremia, masyarakat Indonesia tidak bisa langsung begitu saja menerima kereta super cepat, namun mungkin bisa memulai dengan kereta berkecepatan sedang.
"Karena diperlukan waktu untuk saling memahami, untuk mengetahui konteks lokal negara masing-masing," jelas Yeremia.