Jakarta (ANTARA) - Berita palsu atau fake news mempunyai peranan besar dalam pengekangan kebebasan sipil (civic space) di kawasan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), terutama di Indonesia, Malaysia, dan Thailand, ujar peneliti The Habibie Center, Prof. Dewi Fortuna Anwar.
"Fenomena semakin menciutnya ruang kebebasan berekspresi, meningkatnya populisme, berbanding lurus dengan semakin masif fenomena fake news dan hoaks," ujar Dewi dalam seminar bertajuk "Menciutnya Civic Space dan Pembangunan Perdamaian di ASEAN" yang digelar di Jakarta, Senin.
Dalam seminar itu, Dewi melanjutkan bahwa pembatasan kebebasan sipil dalam berpendapat akibat gelombang berita palsu, yang sebetulnya terjadi tidak hanya di kawasan Asia Tenggara namun juga secara global itu, merupakan salah satu tanda dari kematian demokrasi.
Menurut pimpinan The Habibie Center itu , dalam situasi penyebaran berita palsu yang masif tersebut, banyak negara mengambil jalan pintas dengan kebijakan-kebijakan yang dianggap terkait dengan keamanan.
Contoh yang terjadi belakangan ini adalah beberapa kali dilakukan penutupan akses sementara pada aplikasi berkirim pesan, Whatsapp, di Indonesia usai pengumuman hasil pemilihan umum berujung kerusuhan dan ketika terjadi konflik di Papua, karena dikhawatirkan hoaks dan berita palsu yang menyebar akan mempertajam polarisasi di masyarakat.
"Dalam kondisi seperti ini, saya kira sangat penting bagi Indonesia, Malaysia, dan Thailand untuk bersama-sama dan berbagi pengalaman dalam menghadapi semakin berkurangnya kebebasan sipil," kata dia.
Terkait hal itu, Direktur Program Yayasan Perdamaian Sasakawa yang berbasis di Jepang, Akiko Horiba, menambahkan bahwa selain berita palsu, intoleransi dan ujaran kebencian turut memperparah pengekangan kebebasan sipil yang berujung pada ancaman terhadap demokrasi.
Padahal, lanjut dia, demokrasi merupakan kondisi fundamental yang dibutuhkan untuk membangun perdamaian di lingkup negara, kawasan, serta global secara keseluruhan.
"Fenomena semakin menciutnya ruang kebebasan berekspresi, meningkatnya populisme, berbanding lurus dengan semakin masif fenomena fake news dan hoaks," ujar Dewi dalam seminar bertajuk "Menciutnya Civic Space dan Pembangunan Perdamaian di ASEAN" yang digelar di Jakarta, Senin.
Dalam seminar itu, Dewi melanjutkan bahwa pembatasan kebebasan sipil dalam berpendapat akibat gelombang berita palsu, yang sebetulnya terjadi tidak hanya di kawasan Asia Tenggara namun juga secara global itu, merupakan salah satu tanda dari kematian demokrasi.
Menurut pimpinan The Habibie Center itu , dalam situasi penyebaran berita palsu yang masif tersebut, banyak negara mengambil jalan pintas dengan kebijakan-kebijakan yang dianggap terkait dengan keamanan.
Contoh yang terjadi belakangan ini adalah beberapa kali dilakukan penutupan akses sementara pada aplikasi berkirim pesan, Whatsapp, di Indonesia usai pengumuman hasil pemilihan umum berujung kerusuhan dan ketika terjadi konflik di Papua, karena dikhawatirkan hoaks dan berita palsu yang menyebar akan mempertajam polarisasi di masyarakat.
"Dalam kondisi seperti ini, saya kira sangat penting bagi Indonesia, Malaysia, dan Thailand untuk bersama-sama dan berbagi pengalaman dalam menghadapi semakin berkurangnya kebebasan sipil," kata dia.
Terkait hal itu, Direktur Program Yayasan Perdamaian Sasakawa yang berbasis di Jepang, Akiko Horiba, menambahkan bahwa selain berita palsu, intoleransi dan ujaran kebencian turut memperparah pengekangan kebebasan sipil yang berujung pada ancaman terhadap demokrasi.
Padahal, lanjut dia, demokrasi merupakan kondisi fundamental yang dibutuhkan untuk membangun perdamaian di lingkup negara, kawasan, serta global secara keseluruhan.