Indonesia dan Uni Eropa (European Union/EU) telah sepakat untuk melaksanakan pertemuan konsultasi, sebagai langkah awal proses penyelesaian sengketa terkait pembatasan ekspor bijih nikel, pada Januari 2020.
Konsultasi tersebut merupakan tanggapan Indonesia atas permintaan konsultasi yang disampaikan EU melalui surat kepada Wakil Tetap/Duta Besar RI di Jenewa pada 22 November 2019.
“EU dan Indonesia memutuskan untuk konsultasi dilakukan pada akhir Januari, kemungkinan besar di Jenewa,” kata Direktur Perdagangan, Komoditas, dan Kekayakaan Intelektual Kementerian Luar Negeri Hari Prabowo dalam temu media di Jakarta, Senin.
Konsultasi itu, menurut Hari, menjadi kesempatan untuk menjelaskan bahwa kebijakan pembatasan ekspor bijih nikel yang diberlakukan Indonesia telah sesuai dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Jika dalam konsultasi tersebut tercapai kesepakatan antara kedua pihak yang bersengketa, dalam hal ini Indonesia dan EU, maka kasus ini tidak perlu dibawa ke panel WTO yang akan menyentuh pada proses secara hukum.
Pemerintah Indonesia melihat proses penyelesaian sengketa di WTO sebagai sarana untuk mendiskusikan kebijakan perdagangan, dan bukan sebagai perang dagang.
“Indonesia sendiri adalah salah satu pengguna yang cukup banyak dari mekanisme penyelesaian sengketa WTO, baik kita sebagai pembawa kasus, atau sebagai pihak yang dituju, maupun sebagai pihak ketiga,” ujar Hari.
Kebijakan Indonesia yang disengketakan oleh EU mencakup pembatasan ekspor untuk produk mineral (khususnya nikel, bijih besi, kromium) yang digunakan sebagai bahan baku industri stainless steel EU; insentif fiskal terhadap beberapa perusahaan baru atau yang melakukan pembaruan pabrik; serta skema bebas pajak terhadap perusahaan yang memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
EU mengklaim kebijakan tersebut melanggar Pasal XI.1 GATT mengenai larangan pembatasan ekspor dan impor; Pasal 3.1(b) Agreement on Subsidy and Countervailing Measures mengenai subsidi yang dilarang; dan Pasal X.1 GATT mengenai pelanggaran kewajiban transparansi peraturan.
Komisi Eropa, yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan di EU yang beranggotakan 28 negara, mengatakan pembatasan itu secara tidak adil membatasi akses produsen UE terhadap bijih nikel khususnya, serta untuk batu bara, bijih besi, dan kromium.
Komisi Eropa menyebut bahwa langkah-langkah tersebut adalah bagian dari rencana untuk mengembangkan industri baja nirkarat Indonesia, yang merupakan produsen bijih nikel terbesar dunia.
Indonesia telah menjadi eksportir baja nirkarat terbesar kedua dan pangsa pasar EU meningkat dari hampir nol pada 2017 menjadi 18 persen pada kuartal kedua tahun ini, kata asosiasi baja Eropa, Eurofer, seperti dilaporkan Reuters.
Komisioner Perdagangan EU Cecilia Malmstrom juga mengatakan bahwa metode pembuatan yang digunakan di Indonesia menghasilkan karbondioksida hingga tujuh kali lebih banyak daripada proses yang digunakan di Eropa.
Di lain pihak, Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar menilai aduan EU mengenai pembatasan ekspor bijih nikel Indonesia sebagai "salah sasaran", karena salah satu pertimbangan Indonesia dalam mengambil kebijakan tersebut adalah untuk upaya menjaga lingkungan hidup.
Mahendra juga menambahkan bahwa dalam konteks perdagangan internasional, pembatasan ekspor demi menjaga lingkungan hidup dibenarkan dilakukan oleh negara berkembang.
"Kita lakukan (kebijakan) ini berdasarkan pertimbangan untuk menjaga lingkungan hidup. Lalu juga memperkuat bagaimana pemanfaatan tadi memberikan nilai tambah terhadap produk itu sendiri," kata Wamenlu.
Pemerintah RI menetapkan larangan ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020, atau dua tahun lebih cepat dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang memperbolehkan ekspor komoditas tambang tersebut hingga 2022.
Alasan pemerintah mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel, pertama, karena cadangan nikel nasional yang diekspor sudah sangat besar. Tercatat cadangan bijih nikel yang bisa ditambang di Indonesia hanya tinggal 700 juta ton dan diperkirakan bisa bertahan 7-8 tahun ke depan.
Pertimbangan kedua adalah perkembangan teknologi yang sudah maju, sehingga Indonesia bisa memproses bijih nikel dengan kadar rendah, yang bisa dimanfaatkan pula sebagai bahan baku baterai lithium kendaraan listrik.
Sementara pertimbangan ketiga adalah smelter yang sudah mencukupi untuk mengolah bijih nikel menjadi feronikel. Saat ini terdapat 11 smelter pengolahan nikel yang sudah beroperasi di Indonesia, serta 25 smelter lain yang masih dibangun.