Parigi (ANTARA) - Setelah belasan tahun akhirnya saya bisa melihat kembali dokumentasi pendakian ke Gunung Semeru (Mahameru) ini. Itu pun berkat kiriman teman yang memang rajin mengoleksi dan menyimpan apa saja yang terjadi di masa lampau.
Tahun 2002 saya sempat menulis kronologis pendakian ke Gunung Semeru ini, sayang arsipnya juga lenyap entah kemana. Kini saya pun baru menyadari betapa pengarsipan menjadi begitu penting. Tanpa pengarsipan kita tentu tidak akan mengetahui pelbagai peristiwa sejarah seperti kisah heroik Clara Sumarwati sebagai orang pertama yang berhasil menaklukkan puncak Everest di Pegunungan Himalaya, gunung berselimut salju setinggi 8.850 mdpl.
Selama menempuh pendidikan S1 di Yogyakarta tahun 1999 hingga 2004 saya paling senang mendaki gunung. Meski tak pernah bergabung di organisasi Mapala (Mahasiswa pecinta alam), tapi saya menyukai petualangan. Beberapa teman mahasiswa dari sejumlah daerah di Indonesia yang memiliki hobi sama selalu bersemangat jika diajak mendaki. Apalagi jika sedang dapat kiriman uang lebih dari orang tua.
Medio 2002, saya dari Sulawesi Tengah bersama 8 orang teman, Supri (Aceh) Genter (Yogyakarta), Irawan (Semarang), Hanki (Yogyakarta), Husni (Aceh), Kadafi (Aceh), Zoel (Aceh), dan Mas Niko (Yogyakarta) sebagai Leader melakukan pendakian ke Gunung Semeru di Jawa Timur.
Sayangnya tidak semua berhasil mencapai puncak. Irawan, salah seorang teman terpaksa harus menunggu kami di Pos Kalimati karena mengalami cendera kaki.
Semeru setinggi 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl) menjadi gunung berapi tertinggi di Indonesia setelah Gunung Kerinci (3.805 mdpl) di Jambi dan Gunung Rinjani (3.762 mdpl) di Nusa Tenggara Barat. Semeru yang terletak di antara Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang di Provinsi Jawa Timur merupakan Gunung tertinggi di Pulau Jawa disusul Gunung Slamet (3.428 mdpl) dan Gunung Sumbing (3.371 mdpl) yang berada di Provinsi Jawa Tengah (Sumber data : Wikipedia.org).
Persiapan pendakian ke gunung Semeru ini kami lakukan dengan sangat matang. Setelah berdiskusi, kami memilih Mas Niko sebagai leader yang memang kenyang pengalaman dan memiliki pengetahuan mumpuni di bidang adventure.
Semeru selalu menjadi magnet bagi para pendaki. Bagi anda yang berencana melakukan pendakian ke gunung Semeru, lakukan persiapan dengan matang, utamanya fisik dan juga mental. Karena ini bukan piknik, maka logistik yang dibawa cukup untuk selama waktu perjalanan. Beras, mie instan dan sarden menjadi logistik favorit selama pendakian.
Dari Yogyakarta ke Jawa Timur, kami menumpang Kereta Api Kelas Ekonomi. Tidak seperti saat ini, di zaman itu kondisi Kereta Api Indonesia sangat memprihatinkan. Pelayanannya buruk. Setiap kali mampir di stasiun, pedagang asongan bebas hilir mudik berjualan di atas gerbong sehingga membuat penumpamg tak nyaman. Tidak hanya itu, toiletnya bau pesing karena sering tidak dibersihkan. Belum lagi, suhu udara di dalam gerbong yang begitu panas, membuat image Kereta Api kelas ekonomi semakin buruk. Tapi kondisi seperti itu tidak lagi kita jumpai saat ini. Hampir seluruh gerbong kereta api kelas ekonomi sudah memiliki pendingin ruangan. Pelayanannya pun makin membaik.
Perjalanan ke puncak Semeru 3.676 mdpl (ANTARA/HO-Dokumen Jeprin S.Paudy)
Setelah tiba di Kabupaten Lumajang Jawa Timur, dengan diantar Mas Heri (kini telah almarhum), kami melanjutkan perjalanan menuju ke Desa Tumpang dengan menumpang mobil minibus. Sesampainya di Desa Tumpang, kami lalu menyewa mobil hardtop pick up menuju Kecamatan Sinduro, lalu terus ke desa Ranu Pani.
Ranu Pani adalah desa terakhir sebelum menuju puncak Semeru. Sebelum memulai pendakian kami mengecek kembali semua persiapan pendakian di tempat ini. Selain makanan, di pintu gerbang masuk rute menuju gunung Semeru ini juga terdapat beberapa tempat penjualan dan penyewaan perlengkapan pendakian.
Tidak hanya danaunya yang eksotik, di desa Ranu Pani ini para pendaki bisa menjumpai warga Suku Tengger yang identik dengan sarung melingkar di tubuhnya. Mereka sangat ramah dan bersahabat.
Dari Ranu Pani ke Pos 1 memakan waktu sekitar 1 hingga 2 jam. Kondisi jalan yang dilalui berbatu dan belum begitu menanjak. Tapi saat begitu menuju ke Pos 2 dan 3 pendaki akan melewati jalur jalanan tanah dengan lebar sekitar setengah meter. Rutenya cukup panjang disisi kiri dan kanan terdapat jurang.
Setelah menempuh perjalananan berjam jam melewati jalur menanjak yang cukup berat dari Pos 3, rasa lelah terbayar saat tiba di Ranu Kumbolo. Di Pos 4 inilah kami membangun tenda dan menginap semalam.
Ranu Kumbolo merupakan satu dari tiga danau yang terdapat di desa Ranu Pani. Danau ini menjadi tempat favorit bagi para pendaki beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Semeru.
Suasana keakraban antarpendaki begitu terasa di tepian danau itu. Tak ada jarak yang harus membatasi kami untuk saling bertegur sapa. Semua membaur untuk satu tujuan menaklukkan puncak Semeru.
Belasan tenda pendaki berdiri di tepian danau itu. Selain kami, para pendaki itu datang dari berbagai daerah di Pulau Jawa, Sumatra dan Bali. Setiap tenda diisi oleh 2-4 pendaki tergantung ukuran tendanya.
Dulu, kami masih bisa membangun tenda persis di tepian danau itu. Namun kabarnya saat ini sudah dipasang garis batas pendirian tenda. Semua pendaki harus mendirikan tenda 15 meter dari tepian danau. Hal itu dilakukan untuk menjaga agar danau itu tidak tercemar.
Selepas makan malam kami lalu beristirahat. Namun, suhu dingin di danau itu membuat saya dan beberapa teman sulit tidur. Keesokan harinya, setelah sarapan, kami kembali mempersiapkan diri melanjutkan perjalanan. Sebagian teman ada yang mencoba mandi di tepian danau itu. Saya memilih tetap berada ditenda sembari melakukan packing.
Tanjakan cinta
Kira kira sekitar jam 11 siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos selanjutnya di Kalimati. Sebelumnya kami harus melewati Cemoro Kandang yang disuguhi beberapa spot menarik. Salah satunya adalah tanjakan cinta dengan kemiringan 45 derajat. Tanjakan cinta merupakan julukan dari tempat itu karena terdapat dua bukit disisi kiri kanan yang jika diamati dari kejauhan membentuk seperti simbol cinta.
Para pendaki harus melawati jalan setapak dibagian tengah dua bukit itu. Konon, beredar mitos para pendaki yang melewati jalur ini diminta untuk tidak menoleh ke belakang karena jika menoleh bisa berakibat putus cinta dengan pacarnya.
Perjalanan ke puncak Semeru 3.676 mdpl (ANTARA/HO-Dokumen Jeprin S.Paudy)
Setelah berhasil melewati tanjakan cinta, kami melewati Oro Oro Ombo sebuah area yang ditumbuhi padang rumput dan bunga berwarna keunguan. Rasa lelah selalu saja terbayar dengan indahnya pemandangan alam di sekitar Semeru.
Setelah menempuh perjalanan berjam jam menanjak dan menurun, sampailah kami di Kalimati. Di sini ada sebuah pondok yang biasa digunakan para pendaki beristirahat sebelum menuju titik puncak pendakian.
Di Kalimati sangat sulit memperoleh air. Sehingga saya dan beberapa teman harus berjalan mencari air ke Sumber Mani. Di Sumber Mani inilah kami mendapatkan air yang mengalir dari balik tebing. Bahkan, di tempat ini kami sempat mandi dan menggosok gigi.
Setelah balik ke Kalimati jelang Magrib kami langsung mempersiapkan makan malam. Susudahnya, Mas Niko sebagai leader, memberikan arahan soal persiapan pendakian menuju titik puncak Semeru.
Dari Kalimati ke puncak Mahameru membutuhkan waktu sekitar 6 hingga 7 jam. Sehingga perjalanan dari Kalimati harus dilakukan malam hari, dengan harapan tepat jam 6 pagi maksimal jam 7 pagi sudah berada di puncak Semeru, begitu kata Mas Niko.
Hal itu juga dilakukan untuk menghindari dampak erupsi gunung Semeru yang sering terjadi pada siang hari.
Seluruh barang bawaan, tas carrier, tenda kecuali peralatan pendakian yang penting harus ditinggal di Pos Kalimati. Kali ini adalah jalur terberat sehingga dibutuhkan perhitungan yang matang, dan tentu saja stamina yang prima. Kami lalu memutuskan memulai pendakian dari Kalimati tepat jam 24.00 wib.
Ketakutan
Semeru menjadi akhir perjalanan saya mendaki gunung selama lebih dari 5 tahun menjadi mahasiswa. Di Semeru inilah saya merasakan ketakutan yang luar biasa. Bahasa mendiang kakek saya yang keturunan Suku Gorontalo menyebutnya itu 'duwito' alias takut.
Ketakutan saya mulai muncul saat perjalanan dari Kalimati menuju Kelik hingga titik puncak Semeru. Ini adalah track paling menakutkan bagi saya dan mungkin juga bagi sebagian besar pendaki yang pernah ke sana karena sebelum sampai di batas akhir vegetasi kami harus melewati jalan setapak yang terdapat banyak akar pohon di sisi kiri dan kanan.
Yang paling menakutkan, di tengah malam gelap gulita itu hanya dibantu cahaya lampu senter kami harus melewati beberapa tulisan di sekitar jalur pendakian. Tulisan itu ditujukan kepada pendaki yang hilang di gunung Semeru.
"Selamat jalan kawan, istirahatlah dengan tenang". "Damailah disana" dan masih banyak lagi tulisan senada yang membuat saya ketakutan.
Konon, sebelum mencapai kelik itu para pendaki sering dirasuki roh manusia dan roh binatang. Beruntung satu pun diantara kami tidak ada yang kesurupun. Dipikiran saya saat itu hanya bagaimana bisa selamat dan segera pulang ke Yogyakarta. Saya bahkan sempat bergumam "Jauhnya saya sekolah hanya mati di gunung ini".
Perjalanan ke puncak Semeru 3.676 mdpl (ANTARA/HO-Dokumen Jeprin S.Paudy)
Mulai banyak yang singgah dipikiran. Beberapa teman mencoba menenangkan saya.
Saat menulis ini saya mencoba mengingat kembali apa yang benar-benar terjadi saat itu. Apa yang saya alami dan ini dibenarkan oleh teman yang lain karena mereka juga sempat melihat itu.
Itu terjadi saat melewati track berpasir menuju puncak Semeru. Para pendaki menyebut tempat ini sebagai blank 75 atau dead zone. Banyak pendaki yang mati di tempat ini karena terperosok ke dalam jurang atau tersapu badai pasir.
Saat itu masih gelap, saya melihat beberapa orang bersarung berlari sangat kencang disisi kiri dan kanan kami menuju ke puncak gunung itu. Saya sempat bertanya ke teman di dekat saya, "Kenapa ada orang berlari begitu cepat, apa itu pendaki juga. Tapi kenapa pakai sarung,".
Seorang teman langsung menyela pertanyaan saya "Diam, lihat saja," katanya dengan nada pelan.
Di jalur itu beberapa teman juga sempat berjumpa dengan 3 orang pendaki yang tengah berhenti karena kelelahan. Bahkan, ada yang sempat menawarkan minum. Namun, hanya berselang beberapa langkah setelah kami meninggalkan mereka ditengok ke belakang wujudnya sudah tak ada. "Saya sempat jumpa mereka dan menawarkan minum," ungkap Supri.
Pemadangan yang tak lazim itu membuat saya makin takut dan tidak ingin melanjutkan perjalanan sampai ke puncak. Tapi teman teman terus menenangkan dan menyemangati saya. "Tanggung Fink, itu bentar lagi sampai," ujar salah seorang teman mencoba menyemangati saya. Saya berusaha tegar dan terus berdoa.
Akhirnya dengan izin Allah, sekitar jam 6 lewat kami berhasil menggapai puncak Semeru 3.676 mpdl.
Hanya sekitar 15 menit berada di puncak setelah mengabadikan momentum bersejarah itu, kami langsung bergegas turun.
Kami beruntung setelah meninggalkan areal datar puncak Semeru, gunung berapi itu kembali erupsi memuntahkan asap tebal dan bebatuan dari dalam 'perutnya'.
(Penulis adalah ASN sekaligus Alumni Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi STPMD "APMD" Yogyakarta, Angkatan 1999)
Perjalanan ke puncak Semeru 3.676 mdpl (ANTARA/HO-Dokumen Jeprin S.Paudy)
Tahun 2002 saya sempat menulis kronologis pendakian ke Gunung Semeru ini, sayang arsipnya juga lenyap entah kemana. Kini saya pun baru menyadari betapa pengarsipan menjadi begitu penting. Tanpa pengarsipan kita tentu tidak akan mengetahui pelbagai peristiwa sejarah seperti kisah heroik Clara Sumarwati sebagai orang pertama yang berhasil menaklukkan puncak Everest di Pegunungan Himalaya, gunung berselimut salju setinggi 8.850 mdpl.
Selama menempuh pendidikan S1 di Yogyakarta tahun 1999 hingga 2004 saya paling senang mendaki gunung. Meski tak pernah bergabung di organisasi Mapala (Mahasiswa pecinta alam), tapi saya menyukai petualangan. Beberapa teman mahasiswa dari sejumlah daerah di Indonesia yang memiliki hobi sama selalu bersemangat jika diajak mendaki. Apalagi jika sedang dapat kiriman uang lebih dari orang tua.
Medio 2002, saya dari Sulawesi Tengah bersama 8 orang teman, Supri (Aceh) Genter (Yogyakarta), Irawan (Semarang), Hanki (Yogyakarta), Husni (Aceh), Kadafi (Aceh), Zoel (Aceh), dan Mas Niko (Yogyakarta) sebagai Leader melakukan pendakian ke Gunung Semeru di Jawa Timur.
Sayangnya tidak semua berhasil mencapai puncak. Irawan, salah seorang teman terpaksa harus menunggu kami di Pos Kalimati karena mengalami cendera kaki.
Semeru setinggi 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl) menjadi gunung berapi tertinggi di Indonesia setelah Gunung Kerinci (3.805 mdpl) di Jambi dan Gunung Rinjani (3.762 mdpl) di Nusa Tenggara Barat. Semeru yang terletak di antara Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang di Provinsi Jawa Timur merupakan Gunung tertinggi di Pulau Jawa disusul Gunung Slamet (3.428 mdpl) dan Gunung Sumbing (3.371 mdpl) yang berada di Provinsi Jawa Tengah (Sumber data : Wikipedia.org).
Persiapan pendakian ke gunung Semeru ini kami lakukan dengan sangat matang. Setelah berdiskusi, kami memilih Mas Niko sebagai leader yang memang kenyang pengalaman dan memiliki pengetahuan mumpuni di bidang adventure.
Semeru selalu menjadi magnet bagi para pendaki. Bagi anda yang berencana melakukan pendakian ke gunung Semeru, lakukan persiapan dengan matang, utamanya fisik dan juga mental. Karena ini bukan piknik, maka logistik yang dibawa cukup untuk selama waktu perjalanan. Beras, mie instan dan sarden menjadi logistik favorit selama pendakian.
Dari Yogyakarta ke Jawa Timur, kami menumpang Kereta Api Kelas Ekonomi. Tidak seperti saat ini, di zaman itu kondisi Kereta Api Indonesia sangat memprihatinkan. Pelayanannya buruk. Setiap kali mampir di stasiun, pedagang asongan bebas hilir mudik berjualan di atas gerbong sehingga membuat penumpamg tak nyaman. Tidak hanya itu, toiletnya bau pesing karena sering tidak dibersihkan. Belum lagi, suhu udara di dalam gerbong yang begitu panas, membuat image Kereta Api kelas ekonomi semakin buruk. Tapi kondisi seperti itu tidak lagi kita jumpai saat ini. Hampir seluruh gerbong kereta api kelas ekonomi sudah memiliki pendingin ruangan. Pelayanannya pun makin membaik.
Setelah tiba di Kabupaten Lumajang Jawa Timur, dengan diantar Mas Heri (kini telah almarhum), kami melanjutkan perjalanan menuju ke Desa Tumpang dengan menumpang mobil minibus. Sesampainya di Desa Tumpang, kami lalu menyewa mobil hardtop pick up menuju Kecamatan Sinduro, lalu terus ke desa Ranu Pani.
Ranu Pani adalah desa terakhir sebelum menuju puncak Semeru. Sebelum memulai pendakian kami mengecek kembali semua persiapan pendakian di tempat ini. Selain makanan, di pintu gerbang masuk rute menuju gunung Semeru ini juga terdapat beberapa tempat penjualan dan penyewaan perlengkapan pendakian.
Tidak hanya danaunya yang eksotik, di desa Ranu Pani ini para pendaki bisa menjumpai warga Suku Tengger yang identik dengan sarung melingkar di tubuhnya. Mereka sangat ramah dan bersahabat.
Dari Ranu Pani ke Pos 1 memakan waktu sekitar 1 hingga 2 jam. Kondisi jalan yang dilalui berbatu dan belum begitu menanjak. Tapi saat begitu menuju ke Pos 2 dan 3 pendaki akan melewati jalur jalanan tanah dengan lebar sekitar setengah meter. Rutenya cukup panjang disisi kiri dan kanan terdapat jurang.
Setelah menempuh perjalananan berjam jam melewati jalur menanjak yang cukup berat dari Pos 3, rasa lelah terbayar saat tiba di Ranu Kumbolo. Di Pos 4 inilah kami membangun tenda dan menginap semalam.
Ranu Kumbolo merupakan satu dari tiga danau yang terdapat di desa Ranu Pani. Danau ini menjadi tempat favorit bagi para pendaki beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Semeru.
Suasana keakraban antarpendaki begitu terasa di tepian danau itu. Tak ada jarak yang harus membatasi kami untuk saling bertegur sapa. Semua membaur untuk satu tujuan menaklukkan puncak Semeru.
Belasan tenda pendaki berdiri di tepian danau itu. Selain kami, para pendaki itu datang dari berbagai daerah di Pulau Jawa, Sumatra dan Bali. Setiap tenda diisi oleh 2-4 pendaki tergantung ukuran tendanya.
Dulu, kami masih bisa membangun tenda persis di tepian danau itu. Namun kabarnya saat ini sudah dipasang garis batas pendirian tenda. Semua pendaki harus mendirikan tenda 15 meter dari tepian danau. Hal itu dilakukan untuk menjaga agar danau itu tidak tercemar.
Selepas makan malam kami lalu beristirahat. Namun, suhu dingin di danau itu membuat saya dan beberapa teman sulit tidur. Keesokan harinya, setelah sarapan, kami kembali mempersiapkan diri melanjutkan perjalanan. Sebagian teman ada yang mencoba mandi di tepian danau itu. Saya memilih tetap berada ditenda sembari melakukan packing.
Tanjakan cinta
Kira kira sekitar jam 11 siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos selanjutnya di Kalimati. Sebelumnya kami harus melewati Cemoro Kandang yang disuguhi beberapa spot menarik. Salah satunya adalah tanjakan cinta dengan kemiringan 45 derajat. Tanjakan cinta merupakan julukan dari tempat itu karena terdapat dua bukit disisi kiri kanan yang jika diamati dari kejauhan membentuk seperti simbol cinta.
Para pendaki harus melawati jalan setapak dibagian tengah dua bukit itu. Konon, beredar mitos para pendaki yang melewati jalur ini diminta untuk tidak menoleh ke belakang karena jika menoleh bisa berakibat putus cinta dengan pacarnya.
Setelah berhasil melewati tanjakan cinta, kami melewati Oro Oro Ombo sebuah area yang ditumbuhi padang rumput dan bunga berwarna keunguan. Rasa lelah selalu saja terbayar dengan indahnya pemandangan alam di sekitar Semeru.
Setelah menempuh perjalanan berjam jam menanjak dan menurun, sampailah kami di Kalimati. Di sini ada sebuah pondok yang biasa digunakan para pendaki beristirahat sebelum menuju titik puncak pendakian.
Di Kalimati sangat sulit memperoleh air. Sehingga saya dan beberapa teman harus berjalan mencari air ke Sumber Mani. Di Sumber Mani inilah kami mendapatkan air yang mengalir dari balik tebing. Bahkan, di tempat ini kami sempat mandi dan menggosok gigi.
Setelah balik ke Kalimati jelang Magrib kami langsung mempersiapkan makan malam. Susudahnya, Mas Niko sebagai leader, memberikan arahan soal persiapan pendakian menuju titik puncak Semeru.
Dari Kalimati ke puncak Mahameru membutuhkan waktu sekitar 6 hingga 7 jam. Sehingga perjalanan dari Kalimati harus dilakukan malam hari, dengan harapan tepat jam 6 pagi maksimal jam 7 pagi sudah berada di puncak Semeru, begitu kata Mas Niko.
Hal itu juga dilakukan untuk menghindari dampak erupsi gunung Semeru yang sering terjadi pada siang hari.
Seluruh barang bawaan, tas carrier, tenda kecuali peralatan pendakian yang penting harus ditinggal di Pos Kalimati. Kali ini adalah jalur terberat sehingga dibutuhkan perhitungan yang matang, dan tentu saja stamina yang prima. Kami lalu memutuskan memulai pendakian dari Kalimati tepat jam 24.00 wib.
Ketakutan
Semeru menjadi akhir perjalanan saya mendaki gunung selama lebih dari 5 tahun menjadi mahasiswa. Di Semeru inilah saya merasakan ketakutan yang luar biasa. Bahasa mendiang kakek saya yang keturunan Suku Gorontalo menyebutnya itu 'duwito' alias takut.
Ketakutan saya mulai muncul saat perjalanan dari Kalimati menuju Kelik hingga titik puncak Semeru. Ini adalah track paling menakutkan bagi saya dan mungkin juga bagi sebagian besar pendaki yang pernah ke sana karena sebelum sampai di batas akhir vegetasi kami harus melewati jalan setapak yang terdapat banyak akar pohon di sisi kiri dan kanan.
Yang paling menakutkan, di tengah malam gelap gulita itu hanya dibantu cahaya lampu senter kami harus melewati beberapa tulisan di sekitar jalur pendakian. Tulisan itu ditujukan kepada pendaki yang hilang di gunung Semeru.
"Selamat jalan kawan, istirahatlah dengan tenang". "Damailah disana" dan masih banyak lagi tulisan senada yang membuat saya ketakutan.
Konon, sebelum mencapai kelik itu para pendaki sering dirasuki roh manusia dan roh binatang. Beruntung satu pun diantara kami tidak ada yang kesurupun. Dipikiran saya saat itu hanya bagaimana bisa selamat dan segera pulang ke Yogyakarta. Saya bahkan sempat bergumam "Jauhnya saya sekolah hanya mati di gunung ini".
Mulai banyak yang singgah dipikiran. Beberapa teman mencoba menenangkan saya.
Saat menulis ini saya mencoba mengingat kembali apa yang benar-benar terjadi saat itu. Apa yang saya alami dan ini dibenarkan oleh teman yang lain karena mereka juga sempat melihat itu.
Itu terjadi saat melewati track berpasir menuju puncak Semeru. Para pendaki menyebut tempat ini sebagai blank 75 atau dead zone. Banyak pendaki yang mati di tempat ini karena terperosok ke dalam jurang atau tersapu badai pasir.
Saat itu masih gelap, saya melihat beberapa orang bersarung berlari sangat kencang disisi kiri dan kanan kami menuju ke puncak gunung itu. Saya sempat bertanya ke teman di dekat saya, "Kenapa ada orang berlari begitu cepat, apa itu pendaki juga. Tapi kenapa pakai sarung,".
Seorang teman langsung menyela pertanyaan saya "Diam, lihat saja," katanya dengan nada pelan.
Di jalur itu beberapa teman juga sempat berjumpa dengan 3 orang pendaki yang tengah berhenti karena kelelahan. Bahkan, ada yang sempat menawarkan minum. Namun, hanya berselang beberapa langkah setelah kami meninggalkan mereka ditengok ke belakang wujudnya sudah tak ada. "Saya sempat jumpa mereka dan menawarkan minum," ungkap Supri.
Pemadangan yang tak lazim itu membuat saya makin takut dan tidak ingin melanjutkan perjalanan sampai ke puncak. Tapi teman teman terus menenangkan dan menyemangati saya. "Tanggung Fink, itu bentar lagi sampai," ujar salah seorang teman mencoba menyemangati saya. Saya berusaha tegar dan terus berdoa.
Akhirnya dengan izin Allah, sekitar jam 6 lewat kami berhasil menggapai puncak Semeru 3.676 mpdl.
Hanya sekitar 15 menit berada di puncak setelah mengabadikan momentum bersejarah itu, kami langsung bergegas turun.
Kami beruntung setelah meninggalkan areal datar puncak Semeru, gunung berapi itu kembali erupsi memuntahkan asap tebal dan bebatuan dari dalam 'perutnya'.
(Penulis adalah ASN sekaligus Alumni Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi STPMD "APMD" Yogyakarta, Angkatan 1999)