Jakarta (ANTARA) - Pengusaha Andi Irfan Jaya didakwa membantu Djoko Tjandra menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,28 miliar) sekaligus melakukan permufakatan jahat untuk memberikan uang kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung sebesar 10 juta dolar AS (sekitar Rp145,6 miliar).
"Terdakwa Andi Irfan Jaya memberi bantuan kepada Pinangki Sirna Malasari untuk menerima uang sebesar 500 ribu dolar AS dari yang dijanjikan 1 juta dolar AS dari Djoko Soegiarto Tjandra untuk mengurus fatwa Mahakamah Agung melalui Kejaksaan Agung," kata jaksa Kejaksaan Agung Eko Cahyono di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Tujuan pemberian suap itu adalah agar pidana penjara 2 tahun yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra Putusan PK Nomor 12 pada 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
Dalam dakwaan disebutkan Andi Irfan dihubungi Pinangki Sirna Malasari pada 22 November 2019 untuk bertemu Djoko Tjandra pada 25 November di Kuala Lumpur, Malaysia. Selain keduanya, ada juga advokat Anita Kolopaking.
Sesampai-nya di Kuala Lumpur, ketiganya bertemu Djoko Tjandra di kantornya, The Exchange 106 dan dalam pertemuan itu Pinangki memperkenalkan Andi Irfan sebagai sebagai konsultan yang akan meredam pemberitaan di media massa apabila Djoko Tjandra kembali ke Indonesia.
Andi Irfan, Pinangki dan Anita Kolopaking lalu menyerahkan "action plan" kepada Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung.
"Action plan" tersebut terdiri dari 10 tahap pelaksanaan dan mencantumkan inisial "BR" yaitu Jaksa Agung ST Burhanuddin dan "HA" selaku Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali, termasuk harga "fee" yang harus dibayarkan Djoko Tjandra di setiap tahapan-nya.
"Proposal 'action plan' yang ditawarkan berisi rencana tindakan dan biaya untuk mengurus Fatwa MA melalui Kejaksaan Agung tersebut sebesar 100 juta dolar AS, namun Djoko Tjandra hanya menyetujui dan menjanjikan seluruh pembiayaan yang dituangkan dalam 'action plan' sebesar 10 juta dolar AS," tutur jaksa.
Untuk memastikan Joko Tjandra memberikan uang, Pinangki meminta Anita Kolopaking membuat draf surat kuasa menjual aset dari Joko Tjandra kepada Andi Irfan Jaya sebagai jaminan bila kesepakatan pembayaran 10 juta dolar AS dan uang muka yang dijanjikan Djoko Tjandra tidak dibayar.
Pada 26 November 2019, Djoko Tjandra melalui adik iparnya, Herriyadi Angga Kusuma (almarhum), memberikan uang 500 ribu dolar AS kepada Andi Irfan Jaya di sekitar mal Senayan City.
Andi Irfan lalu memberikannya kepada Pinangki yang lalu menyerahkan sebesar 50 ribu dolar AS (sekitar Rp740 juta) kepada Anita Kolopaking dengan mengatakan bahwa Pinangki baru menerima 150 ribu dolar AS dan akan memberikan kekurangannya setelah Djoko Tjandra memberikan uang yang dijanjikan.
Atas perbuatannya, Andi Irfan didakwa berdasarkan 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu mengenai bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dapat dipidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.
Dalam dakwaan kedua, Andi Irfan Jaya didakwa melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra.
"Terdakwa Andi Irfan Jaya melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Soegiarto Tjandra untuk melakukan memberi atau menjanjikan sesuatu pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung yaitu uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung," ucap jaksa menambahkan.
Tujuannya adalah agar pejabat di Kejaksaan Agung dan di MA memberikan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung sehingga pidana penjara kepada Djoko Tjandra berdasarkan Putusan PK Nomor 12 tertanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi dan Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
Cara-cara yang dilakukan Djoko Tjandra adalah sama seperti diuraikan dalam dakwaan pertama yaitu perbuatan pemberian uang kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Atas perbuatannya, Andi Irfan didakwa berdasarkan pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur soal "Setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14" dengan ancaman penjara paling singkat 1 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara.
Terkait dakwaan tersebut, Andi Irfan akan mengajukan eksepsi (nota keberatan).
"Setelah mendengarkan dakwaan yang dibacakan rekan JPU kami ingin menggunakan hak untuk mengajukan eksepsi," kata penasihat hukum Andi Irfan.
Sidang akan dilanjutkan pada Senin, 9 November 2020 dengan agenda pembacaan nota keberatan (eksepsi).
"Terdakwa Andi Irfan Jaya memberi bantuan kepada Pinangki Sirna Malasari untuk menerima uang sebesar 500 ribu dolar AS dari yang dijanjikan 1 juta dolar AS dari Djoko Soegiarto Tjandra untuk mengurus fatwa Mahakamah Agung melalui Kejaksaan Agung," kata jaksa Kejaksaan Agung Eko Cahyono di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Tujuan pemberian suap itu adalah agar pidana penjara 2 tahun yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra Putusan PK Nomor 12 pada 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
Dalam dakwaan disebutkan Andi Irfan dihubungi Pinangki Sirna Malasari pada 22 November 2019 untuk bertemu Djoko Tjandra pada 25 November di Kuala Lumpur, Malaysia. Selain keduanya, ada juga advokat Anita Kolopaking.
Sesampai-nya di Kuala Lumpur, ketiganya bertemu Djoko Tjandra di kantornya, The Exchange 106 dan dalam pertemuan itu Pinangki memperkenalkan Andi Irfan sebagai sebagai konsultan yang akan meredam pemberitaan di media massa apabila Djoko Tjandra kembali ke Indonesia.
Andi Irfan, Pinangki dan Anita Kolopaking lalu menyerahkan "action plan" kepada Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung.
"Action plan" tersebut terdiri dari 10 tahap pelaksanaan dan mencantumkan inisial "BR" yaitu Jaksa Agung ST Burhanuddin dan "HA" selaku Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali, termasuk harga "fee" yang harus dibayarkan Djoko Tjandra di setiap tahapan-nya.
"Proposal 'action plan' yang ditawarkan berisi rencana tindakan dan biaya untuk mengurus Fatwa MA melalui Kejaksaan Agung tersebut sebesar 100 juta dolar AS, namun Djoko Tjandra hanya menyetujui dan menjanjikan seluruh pembiayaan yang dituangkan dalam 'action plan' sebesar 10 juta dolar AS," tutur jaksa.
Untuk memastikan Joko Tjandra memberikan uang, Pinangki meminta Anita Kolopaking membuat draf surat kuasa menjual aset dari Joko Tjandra kepada Andi Irfan Jaya sebagai jaminan bila kesepakatan pembayaran 10 juta dolar AS dan uang muka yang dijanjikan Djoko Tjandra tidak dibayar.
Pada 26 November 2019, Djoko Tjandra melalui adik iparnya, Herriyadi Angga Kusuma (almarhum), memberikan uang 500 ribu dolar AS kepada Andi Irfan Jaya di sekitar mal Senayan City.
Andi Irfan lalu memberikannya kepada Pinangki yang lalu menyerahkan sebesar 50 ribu dolar AS (sekitar Rp740 juta) kepada Anita Kolopaking dengan mengatakan bahwa Pinangki baru menerima 150 ribu dolar AS dan akan memberikan kekurangannya setelah Djoko Tjandra memberikan uang yang dijanjikan.
Atas perbuatannya, Andi Irfan didakwa berdasarkan 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu mengenai bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dapat dipidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.
Dalam dakwaan kedua, Andi Irfan Jaya didakwa melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra.
"Terdakwa Andi Irfan Jaya melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Soegiarto Tjandra untuk melakukan memberi atau menjanjikan sesuatu pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung yaitu uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung," ucap jaksa menambahkan.
Tujuannya adalah agar pejabat di Kejaksaan Agung dan di MA memberikan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung sehingga pidana penjara kepada Djoko Tjandra berdasarkan Putusan PK Nomor 12 tertanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi dan Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
Cara-cara yang dilakukan Djoko Tjandra adalah sama seperti diuraikan dalam dakwaan pertama yaitu perbuatan pemberian uang kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Atas perbuatannya, Andi Irfan didakwa berdasarkan pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur soal "Setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14" dengan ancaman penjara paling singkat 1 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara.
Terkait dakwaan tersebut, Andi Irfan akan mengajukan eksepsi (nota keberatan).
"Setelah mendengarkan dakwaan yang dibacakan rekan JPU kami ingin menggunakan hak untuk mengajukan eksepsi," kata penasihat hukum Andi Irfan.
Sidang akan dilanjutkan pada Senin, 9 November 2020 dengan agenda pembacaan nota keberatan (eksepsi).