Jakarta (ANTARA) - Serangkaian perkembangan pembawa harapan mewarnai hari-hari terakhir 2020 dalam penanganan pandemi COVID-19, penyakit akibat virus corona SARS-CoV-2 yang merusak banyak aspek kehidupan.
Hingga 31 Desember, COVID-19 secara global telah antara lain menjatuhkan lebih dari 1,8 juta korban jiwa, menulari lebih dari 83 juta orang, serta merusak perekonomian negara-negara.
Vaksinasi COVID-19 akhirnya mulai bisa terwujud di beberapa belahan dunia usai penantian berbulan-bulan, yang dipenuhi dengan ketidaksabaran masyarakat untuk keluar dari berbagai bentuk dan tingkat pembatasan sosial yang diterapkan pemerintah masing-masing dalam upaya mengekang penyebaran virus corona.
Hanya beberapa hari sebelum tahun 2020 tutup buku, sudah mulai banyak negara --di benua Asia, Eropa, dan Amerika, yang bisa memvaksinasi penduduk mereka, kebanyakan dengan vaksin buatan Pfizer/BioNTech.
Pada 30 Desember, Singapura menyuntikkan vaksin Pfizer pada kalangan petugas medis dan menjadikannya salah satu negara di Asia Tenggara yang sudah mulai melakukan vaksinasi massal.
Eropa, kawasan berpenduduk sekitar 450 juta orang, pada 27 Desember meluncurkan program penyuntikan besar-besaran di beberapa negara, termasuk Italia, Prancis, dan Jerman, dengan vaksin Pfizer/BioNTech.
Ketiga negara tersebut merupakan yang termasuk terdampak paling parah di Eropa --dan dunia-- dalam hal infeksi dan kematian akibat virus corona.
Eropa menyusul Amerika Serikat dan Kanada yang sudah terlebih dahulu memulai gerakan inokulasi pada pertengahan Desember --dengan vaksin Pfizer, serta Inggris. AS kemudian juga menggunakan Moderna untuk mengimunasi penduduknya.
Inggris sendiri menjadi negara pertama di dunia yang menggunakan vaksin Pfizer, yaitu pada awal Desember, namun bukan negara pertama yang menggelar vaksinasi massal pada penduduknya.
Jauh sebelum itu, China --negara pertama yang melaporkan kemunculan penyakit virus corona pada Desember 2019, juga menjadi negara pertama di dunia yang menyuntikkan vaksin.
China telah melakukan inokulasi vaksin COVID pada kalangan petugas medis dan pegawai perusahaan negara sejak Juli --di bawah ketentuan penggunaan darurat.
Vaksinasi itu pun berlangsung sebulan setelah pemerintah China mulai memberikan vaksin eksperimental pada para anggota militernya.
Tidak jelas soal vaksin apa yang digunakan, namun China memiliki lima kandidat vaksin dalam pengujian klinis tahap ketiga, termasuk yang dikembangkan oleh Sinovac Biotech dan Sinopharm.
Setelah China, Rusia awal Agustus menyetujui penggunaan vaksin buatannya, Sputnik V, kendati baru menyelesaikan fase I dan II uji coba pada manusia.
Di tengah kritik dari berbagai kalangan di dalam dan luar negeri, Rusia menyatakan Sputnik V aman digunakan dan mampu menghasilkan antibodi yang diperlukan dalam melindungi manusia dari virus corona.
Tak lama setelah persetujuan itu keluar, negara pimpinan Presiden Vladimir Putin itu mulai memberikan vaksin pada orang-orang yang berisiko tinggi. Pada saat yang sama, Rusia meluncurkan uji coba tahap akhir secara luas di ibu kotanya, Moskow.
Di kawasan Timur Tengah, Bahrain, Arab Saudi, dan Israel menjadi negara-negara pertama yang memulai vaksinasi massal, masing-masing pada 16 Desember, 17 Desember, dan 20 Desember. Semuanya juga menggunakan Pfizer.
Bayang-bayang Keraguan dan Kecemasan
Ketersediaan vaksin oleh sebagian kalangan tidak disambut sebagai pembawa harapan bagi masyarakat dunia untuk kembali ke kehidupan normal.
Beberapa pertanyaan utama yang umum melintas di kepala banyak individu antara lain menyangkut apakah vaksin aman digunakan, apakah efektif untuk mencegah terkena virus corona, bagaimana tingkat kemanjurannya.
Sejumlah warga Singapura mengkhawatirkan kemungkinan kemunculan efek samping vaksin anti corona. Mereka berpendapat risiko seperti itu, sekecil apa pun, tidak perlu diambil mengingat negara kota itu termasuk berhasil mengekang wabah pandemi. Jumlah kematian pun akibat virus corona di Singapura merupakan yang terkecil di dunia.
Hingga akhir 2020, Singapura telah melaporkan total 58,599 COVID-19 dengan 29 kematian.
"Singapura baik-baik saja, saya ragu bahwa vaksin akan membantu," kata Aishwarya Kris seperti dikutip Reuters. Warga berusia 40 tahun itu menyatakan dirinya tidak mau divaksinasi anti COVID.
Media Singapura The Straits Times pada awal Desember, dari jajak pendapat yang dibuatnya, menyodorkan kecenderungan bahwa 48 persen responden mengatakan mereka mau disuntik begitu vaksin tersedia. Sebesar 34 persen lainnya akan menunggu dulu sampai enam bulan hingga setahun sebelum akan divaksin.
Gambaran serupa antara lain juga muncul di Brazil. Hasil jajak pendapat yang diterbitkan sebuah lembaga survei di Brazil pada 12 Desember menunjukkan bahwa warga yang menolak vaksin COVID-19 buatan China naik menjadi 22 persen. Sebelumnya, angka tersebut tercatat hanya sembilan persen.
Survei itu menunjukkan 73 persen responden berencana ikut vaksinasi, lima persen belum membuat keputusan. Pada Agustus, responden yang bersedia ikut vaksinasi mencapai 89 persen, tiga persen menyatakan masih ragu.
Peningkatan penolakan warga terhadap vaksin buatan China diduga dipengaruhi oleh sikap Presiden Brazil Jair Bolsonaro, yang skeptis terhadap anti virus COVID-19.
Bolsonaro, yang sudah menyatakan tidak akan divaksinasi anti corona, secara spesifik menyampaikan keraguan terhadap vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi asal China Sinovac bersama Butantan Institute, lembaga riset di bawah naungan Negara Bagian Sao Paulo, Brazil.
Secercah Harapan
Betapa pun masih begitu banyak pertanyaan menyangkut vaksinasi, ketersediaan vaksin dianggap banyak masyarakat dunia sebagai berkah dan harapan untuk kembali dapat menjalankan kehidupan normal seperti sebelum COVID-19 melanda.
Eropa, ketika pada 27 Desember para pensiunan dan tenaga medis mengantre untuk mulai mendapatkan suntikan pertama vaksin COVID-19, menganggap vaksin sebagai "senjata" dalam melawan pandemi tersebut.
Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang bulan ini dinyatakan positif terpapar virus corona sehingga harus mendekam di karantina pada Malam Natal, mencuit di Twitter, "Sekarang kita punya senjata untuk melawan virus itu: vaksin."
"Kita tahu bahwa pandemi ini tidak akan hilang saat ini juga, tapi vaksin adalah awal dari kemenangan atas pandemi ini," kata Kanselir Austria Sebastian Kurz.
Para pemimpin di berbagai negara menjadi orang-orang pertama yang telah disuntik untuk memupus keraguan akan penggunaan vaksin anti corona.
Mereka antara lain adalah Raja Bahrain Syekh Hamad bin Isa al-Khalifah, Presiden terpilih AS Joe Biden, Perdana Menteri Ceko Andrej Babis, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, serta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Sejumlah pemimpin lainnya, termasuk Presiden RI Joko Widodo, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, juga telah menjanjikan menjadi yang pertama disuntik vaksin anti corona.
Sementara itu, dengan kemunculan varian baru virus corona di Inggris dan Afrika Selatan yang juga belakangan telah ditemukan di beberapa negara, pekerjaan rumah penanganan COVID-19 sudah tentu semakin panjang.
Namun setidaknya bagi banyak orang seperti George Dyer, warga berusia 90 tahun di antara orang-orang pertama di Inggris yang disuntik vaksin Pfizer pada 8 Desember, vaksinasi berarti ia sudah bisa keluar rumah lagi setelah berbulan-bulan menjalani pembatasan sosial.
"Saya rindu orang-orang... dengan terkurung di rumah sendiri, kita tidak bisa bertemu orang," katanya kepada Sky News setelah menerima suntikan di London.
Di Italia, negara pertama di Eropa yang terdampak sangat parah oleh COVID-19, perawat bernama Claudia Alivernini seperti dilaporkan Reuters menjadi salah satu petugas medis yang pertama mendapat suntikan vaksin COVID.
"Ini adalah awal dari mencapai akhir... momen yang menggembirakan, bersejarah," tuturnya.
Kendati vaksin mulai tersedia, kalangan ahli memperingatkan masih panjang jalan untuk mengakhiri pandemi COVID-19.
Karena itu, protokol dasar tetap diingatkan sebagai andalan dalam memerangi pandemi: pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan.
Hingga 31 Desember, COVID-19 secara global telah antara lain menjatuhkan lebih dari 1,8 juta korban jiwa, menulari lebih dari 83 juta orang, serta merusak perekonomian negara-negara.
Vaksinasi COVID-19 akhirnya mulai bisa terwujud di beberapa belahan dunia usai penantian berbulan-bulan, yang dipenuhi dengan ketidaksabaran masyarakat untuk keluar dari berbagai bentuk dan tingkat pembatasan sosial yang diterapkan pemerintah masing-masing dalam upaya mengekang penyebaran virus corona.
Hanya beberapa hari sebelum tahun 2020 tutup buku, sudah mulai banyak negara --di benua Asia, Eropa, dan Amerika, yang bisa memvaksinasi penduduk mereka, kebanyakan dengan vaksin buatan Pfizer/BioNTech.
Pada 30 Desember, Singapura menyuntikkan vaksin Pfizer pada kalangan petugas medis dan menjadikannya salah satu negara di Asia Tenggara yang sudah mulai melakukan vaksinasi massal.
Eropa, kawasan berpenduduk sekitar 450 juta orang, pada 27 Desember meluncurkan program penyuntikan besar-besaran di beberapa negara, termasuk Italia, Prancis, dan Jerman, dengan vaksin Pfizer/BioNTech.
Ketiga negara tersebut merupakan yang termasuk terdampak paling parah di Eropa --dan dunia-- dalam hal infeksi dan kematian akibat virus corona.
Eropa menyusul Amerika Serikat dan Kanada yang sudah terlebih dahulu memulai gerakan inokulasi pada pertengahan Desember --dengan vaksin Pfizer, serta Inggris. AS kemudian juga menggunakan Moderna untuk mengimunasi penduduknya.
Inggris sendiri menjadi negara pertama di dunia yang menggunakan vaksin Pfizer, yaitu pada awal Desember, namun bukan negara pertama yang menggelar vaksinasi massal pada penduduknya.
Jauh sebelum itu, China --negara pertama yang melaporkan kemunculan penyakit virus corona pada Desember 2019, juga menjadi negara pertama di dunia yang menyuntikkan vaksin.
China telah melakukan inokulasi vaksin COVID pada kalangan petugas medis dan pegawai perusahaan negara sejak Juli --di bawah ketentuan penggunaan darurat.
Vaksinasi itu pun berlangsung sebulan setelah pemerintah China mulai memberikan vaksin eksperimental pada para anggota militernya.
Tidak jelas soal vaksin apa yang digunakan, namun China memiliki lima kandidat vaksin dalam pengujian klinis tahap ketiga, termasuk yang dikembangkan oleh Sinovac Biotech dan Sinopharm.
Setelah China, Rusia awal Agustus menyetujui penggunaan vaksin buatannya, Sputnik V, kendati baru menyelesaikan fase I dan II uji coba pada manusia.
Di tengah kritik dari berbagai kalangan di dalam dan luar negeri, Rusia menyatakan Sputnik V aman digunakan dan mampu menghasilkan antibodi yang diperlukan dalam melindungi manusia dari virus corona.
Tak lama setelah persetujuan itu keluar, negara pimpinan Presiden Vladimir Putin itu mulai memberikan vaksin pada orang-orang yang berisiko tinggi. Pada saat yang sama, Rusia meluncurkan uji coba tahap akhir secara luas di ibu kotanya, Moskow.
Di kawasan Timur Tengah, Bahrain, Arab Saudi, dan Israel menjadi negara-negara pertama yang memulai vaksinasi massal, masing-masing pada 16 Desember, 17 Desember, dan 20 Desember. Semuanya juga menggunakan Pfizer.
Bayang-bayang Keraguan dan Kecemasan
Ketersediaan vaksin oleh sebagian kalangan tidak disambut sebagai pembawa harapan bagi masyarakat dunia untuk kembali ke kehidupan normal.
Beberapa pertanyaan utama yang umum melintas di kepala banyak individu antara lain menyangkut apakah vaksin aman digunakan, apakah efektif untuk mencegah terkena virus corona, bagaimana tingkat kemanjurannya.
Sejumlah warga Singapura mengkhawatirkan kemungkinan kemunculan efek samping vaksin anti corona. Mereka berpendapat risiko seperti itu, sekecil apa pun, tidak perlu diambil mengingat negara kota itu termasuk berhasil mengekang wabah pandemi. Jumlah kematian pun akibat virus corona di Singapura merupakan yang terkecil di dunia.
Hingga akhir 2020, Singapura telah melaporkan total 58,599 COVID-19 dengan 29 kematian.
"Singapura baik-baik saja, saya ragu bahwa vaksin akan membantu," kata Aishwarya Kris seperti dikutip Reuters. Warga berusia 40 tahun itu menyatakan dirinya tidak mau divaksinasi anti COVID.
Media Singapura The Straits Times pada awal Desember, dari jajak pendapat yang dibuatnya, menyodorkan kecenderungan bahwa 48 persen responden mengatakan mereka mau disuntik begitu vaksin tersedia. Sebesar 34 persen lainnya akan menunggu dulu sampai enam bulan hingga setahun sebelum akan divaksin.
Gambaran serupa antara lain juga muncul di Brazil. Hasil jajak pendapat yang diterbitkan sebuah lembaga survei di Brazil pada 12 Desember menunjukkan bahwa warga yang menolak vaksin COVID-19 buatan China naik menjadi 22 persen. Sebelumnya, angka tersebut tercatat hanya sembilan persen.
Survei itu menunjukkan 73 persen responden berencana ikut vaksinasi, lima persen belum membuat keputusan. Pada Agustus, responden yang bersedia ikut vaksinasi mencapai 89 persen, tiga persen menyatakan masih ragu.
Peningkatan penolakan warga terhadap vaksin buatan China diduga dipengaruhi oleh sikap Presiden Brazil Jair Bolsonaro, yang skeptis terhadap anti virus COVID-19.
Bolsonaro, yang sudah menyatakan tidak akan divaksinasi anti corona, secara spesifik menyampaikan keraguan terhadap vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi asal China Sinovac bersama Butantan Institute, lembaga riset di bawah naungan Negara Bagian Sao Paulo, Brazil.
Secercah Harapan
Betapa pun masih begitu banyak pertanyaan menyangkut vaksinasi, ketersediaan vaksin dianggap banyak masyarakat dunia sebagai berkah dan harapan untuk kembali dapat menjalankan kehidupan normal seperti sebelum COVID-19 melanda.
Eropa, ketika pada 27 Desember para pensiunan dan tenaga medis mengantre untuk mulai mendapatkan suntikan pertama vaksin COVID-19, menganggap vaksin sebagai "senjata" dalam melawan pandemi tersebut.
Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang bulan ini dinyatakan positif terpapar virus corona sehingga harus mendekam di karantina pada Malam Natal, mencuit di Twitter, "Sekarang kita punya senjata untuk melawan virus itu: vaksin."
"Kita tahu bahwa pandemi ini tidak akan hilang saat ini juga, tapi vaksin adalah awal dari kemenangan atas pandemi ini," kata Kanselir Austria Sebastian Kurz.
Para pemimpin di berbagai negara menjadi orang-orang pertama yang telah disuntik untuk memupus keraguan akan penggunaan vaksin anti corona.
Mereka antara lain adalah Raja Bahrain Syekh Hamad bin Isa al-Khalifah, Presiden terpilih AS Joe Biden, Perdana Menteri Ceko Andrej Babis, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, serta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Sejumlah pemimpin lainnya, termasuk Presiden RI Joko Widodo, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, juga telah menjanjikan menjadi yang pertama disuntik vaksin anti corona.
Sementara itu, dengan kemunculan varian baru virus corona di Inggris dan Afrika Selatan yang juga belakangan telah ditemukan di beberapa negara, pekerjaan rumah penanganan COVID-19 sudah tentu semakin panjang.
Namun setidaknya bagi banyak orang seperti George Dyer, warga berusia 90 tahun di antara orang-orang pertama di Inggris yang disuntik vaksin Pfizer pada 8 Desember, vaksinasi berarti ia sudah bisa keluar rumah lagi setelah berbulan-bulan menjalani pembatasan sosial.
"Saya rindu orang-orang... dengan terkurung di rumah sendiri, kita tidak bisa bertemu orang," katanya kepada Sky News setelah menerima suntikan di London.
Di Italia, negara pertama di Eropa yang terdampak sangat parah oleh COVID-19, perawat bernama Claudia Alivernini seperti dilaporkan Reuters menjadi salah satu petugas medis yang pertama mendapat suntikan vaksin COVID.
"Ini adalah awal dari mencapai akhir... momen yang menggembirakan, bersejarah," tuturnya.
Kendati vaksin mulai tersedia, kalangan ahli memperingatkan masih panjang jalan untuk mengakhiri pandemi COVID-19.
Karena itu, protokol dasar tetap diingatkan sebagai andalan dalam memerangi pandemi: pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan.