New York (antarasulteng.com) - Para kritikus penerbangan menuntut otoritas penerbangan global untuk menjelaskan bagaimana mungkin AirAsia QZ8150 yang membawa 162 orang bisa hilang di masa ketika satelit dan webcam dengan mudah mengawasi pergerakkan manusia setiap waktu.

"Semestinya mustahil sebuah pesawat terbang bisa hilang di era ketika orang bisa melacak ponsel dan mobil mereka sampai jarak beberapa kaki," kata Paul Hudson, Presiden Flyersrights.org dan anggota komite penasehat Otoritas Penerbangan Federal AS (FAA) seperti dikutip Reuters.

Selama dua hari tim pencari tidak mampu menemukan lokasi jatuhan AirAsia QZ8501, yakni sebuah Airbus A320 yang dibuat pada 2008 dan terakhir kali beroperasi November, yang sepertinya tidak mungkin hilang dari pantauan radar.

Teknologi satelit dan webcam jauh lebih bisa melacak lokasi pesawat pada momen-momen penerbangan setelah pesawat itu hilang dari layar radar, kata para pakar pelacak pesawat. Mereka juga mengatakan kedua teknologi juga bisa menyempitkan pencarian di area Laut Jawa. Namun kedua teknologi itu tidak penuh digelarkan.

Sistem pengawasan lalu lintas udara global telah berusaha meningkatkan peralatan sistem monitongnya, dari radar sampai GPS dan navigasi satelit di tengah ketidaksepakatan antara pihak maskapai, pemerintah dan lembaga-lembaga regulasi mengenai standard, harga dan tenggat waktu implementasi yang telah direkomendasikan.

Hudson cs mengeluhkan terlalu banyak rekomendasi dihasilkan selama satu dekade terakhir, tetapi terlalu sedikit perubahan dalam bagaimana semestinya pesawat diawasi. Hudson cs ingin pihak pembuat regulasi mensyaratkan pelacakan pesawat yang lebih baik lagi dari yang sudah ada.

Kevin Mitchell, pendiri dan ketua Business Travel Coalition, mengatakan ketidakmampuan melacak pesawat dengan cepat, telah merugikan penumpang pesawat.

"Kami menuntut agar pelacakan pesawat mendapat prioritas lebih tinggi dari para regulator," kata dia.

Charles Leocha, ketua Travelers United, memprediksi kendati kesegeraan meningkat, solusi untuk masalah ini seharusnya sudah ditemukan satu dekade silam. Ini karena industri penerbangan enggan mengeluarkan beban tambahan, di samping kesulitan membuat standard perlengkapan.

Penjejakkan pesawat yang lebih baik dan sistem pengawasan data penerbangan seketika menjadi isu mendesak setelah Malaysia Airlines MH370 hilang Maret lalu beserta 239 orang di dalamnya di Samudera Hindia.

Hilangnya MH370 mendorong Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), yang merupakan salah satu badan PBB, membentuk sebuah gugus tugas pimpinan Asosiasi Angkutan Udara Internasional (IATA) untuk membuat sistem pelacakan pesawat.

Gugus tugas IATA yang terdiri dari pihak maskapai, pilot, otoritas pengawas udara, dan pembuat pesawat, sudah sepakat bahwa pesawat mesti bisa dilacak sampai mil laut terdekat.

Pada Desember lalu gugus tugas ini merekomendasikan tenggat waktu 12 bulan untuk menggelarkan sistem pelacakan pesawat yang sudah ada, namun para anggota dewan IATA tidak menyetujui kerangka waktunya dengan alasan tidak praktis. Langkah ini membuat peluang besar mengambil langkah bagus menjadi pupus.

Penerbangan AirAsia yang hilang itu sendiri memiliki sistem pelacak penerbangan yang dinamai ADS-B yang membuat laman FlightRadar24 bisa memupblikasikan jalur terbang pesawat hilang itu.

Pengawas lalu lintas penerbangan yang berbasis di darat sebenarnya mempunyai data radar yang menunjukkan pesawat itu menghilang pada pukul 6.17 pagi waktu setempat.

"Jelas telah terjadi sesuatu di mana pesawat itu hilang dari layar radar dan mereka tidak mampu memastikan lokasi terakhir pesawat itu," kata Don Thoma, kepala eksekutif Aireon, unit dari Iridium Communications yang mengembangkan sistem pelacakan berbasis satelit.

ICAO mengatakan masih terlalu dini mengomentari hilangnya pesawat AirAsia itu, namun Duta Besar Indonesia untuk Kanada dan wakil tetap Indonesia untuk ICAO, Teuku Faizasyah, menjawab Reuters mengenai apa yang seharusnya dilakukan organisasi itu.

"Itu pertanyaan yang sulit. Hal ini melibatkan perusahaan-perusahaan swasta. Mereka mungkin perlu menambahkan sejumlah instrumen yang sangat mahal," kata Faizasyah seperti dikutip Reuters.

Pewarta :
Editor : Santoso
Copyright © ANTARA 2024