Palu, (antarasulteng.com) - Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Tengah Abubakar Almahdali mengharapkan aparat penegakan hukum memperketat pengawasan angkutan pakaian bekas eks impor di pintu-pintu masuk, terutama di daerah perbatasan.
"Pengawasan dan penindakan terhadap importir pakaian bekas di pelabuhan daerah perbatasan seperti Kalimantan Utara haruys lebih ketat dan tegas untuk menghentikan peredaran pakaian bekas ini," katanya kepada Antara Palu, Senin, menanggapi penangkapan pakaian bekas oleh aparat Bea dan Cukai Pantoloan.
Aparat Bea dan Cukai Pantoloan Palu dilaporkan menangkap 2.000-an bal (paket besar) pakaian bekas yang dimuat dalam 10 kontainer, namun pihak Bea Cukai menolak memberikan keterangan rinci karena baru akan merilis hal itu pada Selasa (24/2) siang.
Menurut Abubakar, selama rantai impor tidak bisa diputus, maka perdagangan pakaian bekas yang diduga dikumpulkan dari Singapura, Korea dan Hongkong tersebut, tidak akan bisa dihentikan.
Sebab, kata Abubakar, larangan impor pakaian bekas sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang menyatakan bahwa setiap importir wajib mengimpor barang baru, termasuk pakaian.
Ia mengatakan bahwa bila tidak ada ketegasan yang terus menerus dari aparat hukum untuk menghentikan pengangkutan pakaian bekas dari luar negeri dan dari daerah ke daerah, maka perdagangan pakaian bekas ini tidak akan bisa diredakan.
"Masalahnya, perdagangan pakaian bekas sudah berlangsung puluhan tahun dan menghidupi cukup banyak orang. Banyak warga juga sudah terbiasa berbelanja cakar (pakaian bekas) ini, bahkan hampir di semua kota, ada pasar khusus untuk pakaian bekas," ujarnya.
Ia mengapresiasi ketegasan Bea dan Cukai Pantoloan yang menangkap ribuan bal pakaian bekas tersebut dan berharap ini bukan tindak pertama dan terakhir, tetapi akan terus berkelanjutan.
Disperindag Sulteng, katanya, sedang gencar untuk menyosialisasikan larangan memperdagangkan pakaian bekas ini ke seluruh kabupaten dan kota, serta mengimbau masyarakat untuk beralih membeli pakaian baru produksi dalam negeri yang juga cukup banyak beredar dengan harga yang relatif murah.
"Kami sudah mengingatkan seluruh pedagang pakaian bekas agar tidak memasok stok baru dan hanya menghabiskan stok yang ada saat ini dan kemudian pemerintah akan melakukan penegakan hukum kepada pedagang yang tidak mematuhi ketentuan yang berlaku," ujarnya.
Ia juga berharap seluruh instansi terkait di tingkat pusat seperti Kemendag, Kemenperind, Kemenhub, Bea dan Cukai, Kepolisian, Kejaksaan, dan TNI untuk membuat nota kesepahaman yang akan menjadi dasar bagi aparat di daerah untuk melakukan sinergi dalam memerangi impor pakaian bekas yang merendahkan martabat bangsa tersebut.
"Peredaran pakaian bekas ini sudah sangat luas dan hampir tidak ada kota di Indonesia yang bebas perdagangan pakaian bekas. Jadi pemberantasannya harus sinergis, simultan, tegas dan terus menerus baik aparat di pusat maupun di daerah," kata Abubakar. (skd)
"Pengawasan dan penindakan terhadap importir pakaian bekas di pelabuhan daerah perbatasan seperti Kalimantan Utara haruys lebih ketat dan tegas untuk menghentikan peredaran pakaian bekas ini," katanya kepada Antara Palu, Senin, menanggapi penangkapan pakaian bekas oleh aparat Bea dan Cukai Pantoloan.
Aparat Bea dan Cukai Pantoloan Palu dilaporkan menangkap 2.000-an bal (paket besar) pakaian bekas yang dimuat dalam 10 kontainer, namun pihak Bea Cukai menolak memberikan keterangan rinci karena baru akan merilis hal itu pada Selasa (24/2) siang.
Menurut Abubakar, selama rantai impor tidak bisa diputus, maka perdagangan pakaian bekas yang diduga dikumpulkan dari Singapura, Korea dan Hongkong tersebut, tidak akan bisa dihentikan.
Sebab, kata Abubakar, larangan impor pakaian bekas sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang menyatakan bahwa setiap importir wajib mengimpor barang baru, termasuk pakaian.
Ia mengatakan bahwa bila tidak ada ketegasan yang terus menerus dari aparat hukum untuk menghentikan pengangkutan pakaian bekas dari luar negeri dan dari daerah ke daerah, maka perdagangan pakaian bekas ini tidak akan bisa diredakan.
"Masalahnya, perdagangan pakaian bekas sudah berlangsung puluhan tahun dan menghidupi cukup banyak orang. Banyak warga juga sudah terbiasa berbelanja cakar (pakaian bekas) ini, bahkan hampir di semua kota, ada pasar khusus untuk pakaian bekas," ujarnya.
Ia mengapresiasi ketegasan Bea dan Cukai Pantoloan yang menangkap ribuan bal pakaian bekas tersebut dan berharap ini bukan tindak pertama dan terakhir, tetapi akan terus berkelanjutan.
Disperindag Sulteng, katanya, sedang gencar untuk menyosialisasikan larangan memperdagangkan pakaian bekas ini ke seluruh kabupaten dan kota, serta mengimbau masyarakat untuk beralih membeli pakaian baru produksi dalam negeri yang juga cukup banyak beredar dengan harga yang relatif murah.
"Kami sudah mengingatkan seluruh pedagang pakaian bekas agar tidak memasok stok baru dan hanya menghabiskan stok yang ada saat ini dan kemudian pemerintah akan melakukan penegakan hukum kepada pedagang yang tidak mematuhi ketentuan yang berlaku," ujarnya.
Ia juga berharap seluruh instansi terkait di tingkat pusat seperti Kemendag, Kemenperind, Kemenhub, Bea dan Cukai, Kepolisian, Kejaksaan, dan TNI untuk membuat nota kesepahaman yang akan menjadi dasar bagi aparat di daerah untuk melakukan sinergi dalam memerangi impor pakaian bekas yang merendahkan martabat bangsa tersebut.
"Peredaran pakaian bekas ini sudah sangat luas dan hampir tidak ada kota di Indonesia yang bebas perdagangan pakaian bekas. Jadi pemberantasannya harus sinergis, simultan, tegas dan terus menerus baik aparat di pusat maupun di daerah," kata Abubakar. (skd)