Washington (ANTARA) - Amerika Serikat menuntut tiga ahli program komputer asal Korea Utara atas kasus peretasan dan pencurian uang digital (cryptocurrency) senilai 1,3 miliar dolar AS (sekitar Rp18,2 triliun) yang merugikan bank serta studio produksi film di Hollywood, kata Departemen Kehakiman, Rabu (17/2).

Dakwaan itu ditujukan kepada Jon Chang Hyok, 31, Kim Il, 27, dan Park Jin Hyok, 36, terlibat kasus pencurian itu saat mereka bekerja di badan intelijen militer Korea Utara.

AS pernah menuntut Park untuk sebuah kasus hukum pada 2018.

Departemen Kehakiman AS mengatakan para peretas itu bertanggung jawab atas rangkaian kasus pidana dan peretasan tingkat tinggi, termasuk di antaranya serangan balasan terhadap Sony Pictures Entertainment pada 2014.

Sony Pictures Entertainment merupakan produser film "The Interview" yang menceritakan kisah pembunuhan pemimpin di Korea Utara.

Kelompok peretas itu juga dicurigai menargetkan para pekerja AMC Theatres dan meretas komputer milik Mammoth Screen, rumah produksi film di Inggris yang membuat film seri tentang Korea Utara.

Departemen Kehakiman juga menuduh tiga peretas Korut itu terlibat dalam pembuatan WannaCry 2.0 ransomware-- perangkat lunak yang merusak sistem komputer. Ransomware buatan Korut itu menyerang jaringan komputer Badan Kesehatan Nasional Inggris pada 2017.

AS turut menyalahkan trio peretas itu karena menerobos masuk dalam sistem komputer sejumlah bank di Asia Selatan, Asia Tenggara, Meksiko, dan Afrika dengan cara merusak protokol SWIFT untuk mencuri uang.

Para peretas itu juga diyakini telah menyebarkan aplikasi berbahaya yang menargetkan para pengguna uang digital mulai Maret 2018 sampai September 2020.

Jumlah uang yang berhasil dicuri oleh para peretas belum jelas sampai saat ini karena ada beberapa aset yang berhasil dipulihkan atau dikembalikan. Namun, jumlahnya masih cukup besar.

Dalam sebuah kasus peretasan yang terjad di Bangladesh Bank pada 2016, pelaku diyakini berhasil kabur membawa uang senilai 81 juta dolar AS (sekitar Rp1,13 triliun).

"Intelijen Korea Utara menggunakan keyboard daripada senjata, mencuri uang digital daripada uang fisik, dan mereka adalah para pencuri bank abad ke-21 paling terdepan di dunia," kata Asisten Jaksa Agung AS, John Demers, saat jumpa pers.

Sementara itu, Asisten Direktur Biro Investigasi Federal (FBI) di Los Angeles, Kristi Johnson, mengatakan trio peretas itu diyakini ada di Korea Utara.

Beberapa pejabat di pemerintahan menduga para peretas Korut juga ada di China dan Rusia.

Perwakilan Korea Utara untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York belum menanggapi pertanyaan terkait kasus tersebut. Kedutaan besar China dan Rusia di Washington juga belum menjawab pertanyaan terkait keberadaan peretas Korut di negara mereka.

Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price saat jumpa pers, Rabu, mengatakan aktivitas berbahaya Korea Utara di Internet mengancam Amerika Serikat dan negara-negara sekutu. Isu itu akan jadi bahan evaluasi kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.

Korea Utara diprediksi telah mengumpulkan dua miliar dolar AS (sekitar Rp28,02 triliun) dari aksi peretasan digital "yang luas dan canggih" terhadap bank serta pasar mata uang digital, demikian isi laporan PBB yang disusun oleh para pengawas implementasi sanksi terhadap Korea Utara.

Laporan itu terbit pada 2019.

"Menurut salah satu negara anggota, total aset yang berhasil dicuri DPRK, dari 2019 sampai November 2020, kurang lebih sebanyak 316,4 juta dolar AS (sekitar Rp4,43 triliun)," kata para pengawas sebagaimana dikutip dari laporannya.

Sumber: Reuters

Pewarta : Genta Tenri Mawangi
Uploader : Sukardi
Copyright © ANTARA 2024