Bondowoso (ANTARA) - Di akhir 2024, tema menarik tentang relasi sosial mengenai pentingnya penerimaan, yakni "we listening, we don't judge" atau "Kita mendengarkan, kita tidak menghakimi" menjadi trending di sejumlah media.
Tema "kita mendengarkan, kita tidak menghakimi" ini menjadi hal penting dalam membangun relasi yang sehat di keluarga, terutama untuk membawa anak-anak bertumbuh dengan jiwa yang sehat.
Mendengarkan dan tidak menghakimi ini menjadi penting ketika kita menyadari bahwa tingkat pengetahuan dan perhatian pada satu isu antara anak dengan orang tua, tentu sangat jauh berbeda.
Anak dengan pengalaman hidupnya yang masih terbatas, tidak sama dengan orang tua yang sudah menjalani dan mengalami pahit getirnya hidup.
Dengan pengalaman dan tingkat pemahaman berbeda itu membawa konsekuensi adanya jarak psikologis antara anak dengan orang tua dalam menyikapi persoalan.
Bahkan, secara tidak langsung perbedaan itu bisa membawa "konflik" tersembunyi yang membahayakan perkembangan jiwa si anak.
Bagi anak, rumah adalah sekolah pertama untuk menambah pengetahuan di ranah logika maupun pengalaman psikologinya. Karena itu, tema tentang mendengarkan tanpa menghakimi ini menjadi relevan untuk menjadi pengetahuan bagi orang tua dalam membersamai anak-anaknya menapaki proses kehidupan.
Anak, dengan segala keterbatasannya selalu menganggap apa yang ada di pikirannya sebagai hal yang sangat penting, sementara orang tua beranggapan bahwa hal itu biasa saja, bahkan dinilai terlalu remeh untuk dibicarakan.
Karena itu, tidak jarang komunikasi antara anak dengan orang tua menjadi tidak nyaman, dan jika hal itu terjadi secara berulang justru menjadi masalah di kemudian hari.
Anak-anak, khususnya ketika masih usia sekolah dasar (SD) ke bawah, memerlukan perhatian mendalam dari orang tua untuk didengarkan, entah cerita si anak itu hanya mengenai perasaanya dalam berinteraksi dengan teman di sekolah atau mungkin tentang kesukaan terhadap lawan jenis di sekolah.
Bagi orang tua, cerita seperti itu sangat sepele, namun bagi anak sangat berharga untuk didengar. Jika kebiasaan mendengarkan cerita sepele dari si anak itu terus menerus dilakukan, apalagi orang tua menunjukkan sikap antusias saat mendengarkan, maka anak akan merasa nyaman.
Dengan mendengarkan itu, orang tua telah menanamkan mental di pikiran bawah sadar si anak bahwa dia begitu berharga. Harga diri si anak menjadi bertumbuh secara normal dan positif.
Dari topik "Kita mendengarkan, kita tidak menghakimi" yang trending itu kemudian diikuti dengan topik lanjutan, yakni "Kita mendengarkan, kita mengagumi".
Untuk keperluan praktis di rumah, orang tua bisa menunjukkan kekaguman pada topik cerita si anak, salah satunya dengan memberikan pujian.
Di lingkungan keluarga tradisional, pujian pada anak biasanya ditunjukkan diam-diam di belakang si anak. Alasannya agar anak tidak menjadi sosok yang sombong, sehingga tidak perlu dipuji.
Padahal pujian langsung di depan anak merupakan tindakan yang berdampak positif bagi perkembangan jiwa si anak. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang jiwanya sehat dan setiap tindakannya tidak membutuhkan validasi dari pihak lain.
Mengenai kekhawatiran si anak akan menjadi sosok yang sombong, hal itu bisa diatasi dengan orang tua berbicara kepada anak, setelah si anak tuntas menceritakan apa yang ingin diceritakan.
Ketika komunikasi dua arah yang nyaman antara anak dengan orang tua sudah terbangun, maka orang tua akan sangat mudah untuk memasukkan nilai-nilai baik ke dalam pikiran dan perasaan anak. Anak akan dengan mudah dan senang hati menerima wejangan orang tua tanpa merasa didoktrin.
Anak yang mendapatkan perlakuan penerimaan secara apa adanya dari orang tua, bahkan mendapatkan penghargaan berupa pujian, akan tumbuh menjadi sosok dengan mental yang bagus. Ia tidak akan menjadi pribadi yang rapuh dan haus perhatian dari banyak orang di luar rumah. Anak itu akan terhindar dari godaan mencari perhatian dengan perilaku menyimpang di luar rumah.
Sebaliknya, anak yang tidak terbiasa bercerita kepada orang tuanya dengan nyaman dan merasa aman, berpotensi menjadi pribadi yang rapuh dan merasa tidak diterima secara sosial.
Sosok yang saat bercerita sering mendapatkan penghakiman dari orang tua, ia akan menjadi anak atau remaja yang suka membuat ulah, baik di keluarga maupun di lingkungan sosial yang lebih luas.
Karena itu, menjadi orang tua yang membiasakan diri mendengarkan cerita atau perasaan dari anak, dengan tanpa menghakimi, harus menjadi pola hidup di dalam setiap rumah.
Kalau belum terbiasa dengan pola relasi yang membuat si anak merasa aman bercerita itu, kita bisa memulainya dari saat ini. Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik, meskipun tentu memerlukan perjuangan untuk memulai satu hal yang baru.
Tugas orang tua saat ini adalah menyiapkan generasi muda tangguh untuk mengisi semua ruang pengabdian bagi anak-anak masa kini menuju Indonesia Emas 2045.
Mari saling mendengarkan, tutup bibir rapat-rapat jika muncul keinginan untuk menghakimi.