Jakarta (ANTARA) - Pada pertengahan Juni 2020, salah seorang drummer asal Bali bernama I Gede Ary Astina atau yang akrab disapa Jerinx menyebut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai "kacung" Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam postingan yang diunggah dalam Instagram pribadinya.
Postingan itu merupakan bentuk kritik Jerinx setelah membaca berita tentang ibu hamil yang wajib rapid test sebelum mendapatkan pelayanan di rumah sakit.
Namun, ungkapan tersebut kemudian berbuntut panjang hingga ke meja hijau. Jerinx dilaporkan oleh IDI hingga divonis terbukti melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kelompok masyarakat tertentu.
Jauh pada tahun 2017, musisi Ahmad Dhani juga pernah terseret kasus serupa. Dia menjadi tersangka kasus ujaran kebencian akibat sejumlah postingannya dalam akun Twitter. Dia kemudian divonis bersalah dan mendapat hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.
Kasus keduanya tak jauh berbeda. Tak hanya itu, Undang-Undang yang dilanggar pun sama yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kedua kasus itu menjadi contoh bahwa kini, media sosial bisa membahayakan tuannya jika tak berhati-hati. Kritik bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik dan informasi yang terlalu cepat disebar tanpa pemeriksaan ulang bisa disebut sebagai penyebaran hoaks.
"Polisi" yang menilai tiap postingan itu bernama UU ITE. Sebuah UU yang dibuat salah satunya untuk menjaga ruang digital tetap beretika. Namun belakangan, muncul anggapan bahwa "polisi" ini justru mengekang kebebasan berpendapat masyarakat.
Presiden Joko Widodo pun merespon keresahan tersebut. Dia meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama pemerintah merevisi UU ITE apabila UU itu tidak memberikan keadilan bagi masyarakat.
Wacana revisi UU ITE ini mendapat dukungan dari berbagai pihak. Direktur Drone Emprit Ismail Fahmi berpendapat perlu ada revisi karena UU tersebut memberi rasa takut kepada publik.
Hal serupa disampaikan oleh anggota DPR Komisi I Sukamta yang setuju dengan wacana revisi UU ITE demi menjaga ruang digital tetap bersih dan beretika sambil tetap menjaga kebebasan berpendapat.
Namun, urgensi revisi UU ITE ini juga dipertanyakan salah satunya oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf.
Menurut dia, sebelum melakukan revisi UU ITE, perlu pengkajian terlebih dahulu tentang tahapan mana yang bermasalah hingga mengundang kritikan publik.
Bisa jadi, yang bermasalah bukan produk hukumnya melainkan penyelenggara yang salah menafsirkan dan salah menerapkan. Hal tersebut perlu ditelaah lebih jauh sebagai dasar revisi UU ITE jika jadi dilakukan.
"Jadi kalau ini ada masalah soal keadilan maka di hulunya yang kita perbaiki," ujar dia.
Pengkajian itulah yang saat ini tengah dilakukan pemerintah. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan bahwa pemerintah saat ini masih membahas dan mendengarkan pendapat publik (public hearing) terkait UU ITE tersebut.
Tim kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih terus mengundang praktisi media sosial, kalangan aktivis, dan pihak terkait lainnya untuk menghimpun data dan masukan terkait UU itu sebelum diputuskan diajukan ke DPR untuk direvisi.
Etika berpendapat di ruang digital
Meski demikian, menjaga kesehatan ruang digital tidak hanya dengan cara merevisi UU ITE.
Ismail Fahmi sepakat agar UU ITE tak dianggap sebagai perenggut kebebasan berpendapat. Perlu ada edukasi terus menerus di masyarakat untuk menciptakan dunia maya yang sehat.
Masyarakat harus mengetahui unggahan seperti apa yang berpotensi melanggar hukum. Founder dan Penggagas aplikasi Drone Emprit ini berpendapat polisi sebagai aparat penegak hukum tak perlu langsung reaktif menangkap pembuat unggahan yang berpotensi melanggar UU ITE.
Perlu ada tahapan edukasi terlebih dahulu sebelum dilakukan eksekusi.
”Itu salah satu edukasi melalui aparat kepolisian. Dari situ kemudian orang-orang yang mengikuti akun-akun milik Polri ini 'kan kemudian akan belajar. 'Oh, ternyata yang seperti ini yang melanggar’. Dari situ saja sebenarnya termasuk dalam proses belajar langsung, jadi penegak hukum mengedukasi masyarakat,” kata Ismail Fahmi di Jakarta.
Pada akhirnya, perlu ada peningkatan literasi digital masyarakat Indonesia. Direktur Informasi dan Komunikasi Perekonomian dan Kemaritiman, Kementerian Komunikasi dan Informatika Septriana Tangkary, mengatakan laju perkembangan teknologi komunikasi yang terjadi saat ini berjalan beriringan dengan meningkatnya potensi timbulnya hoaks.
Kesalahan informasi ini harus dicegah di seluruh lapisan masyarakat karena dapat berdampak pada kesalahan persepsi hingga tindakan yang merugikan seperti pencemaran nama baik hingga pelanggaran pidana lain.
Dengan memperbaiki tingkat literasi digital ini, UU ITE pun tak akan sering-sering dipakai sebagai senjata. Sebab masyarakat memiliki kesadaran pribadi mengenai apa yang melanggar dan apa yang tidak, tanpa harus mengorbankan kebebasan berpendapatnya.
Komite Etika Berinternet
Seolah menjadi penengah di tengah wacana revisi UU ITE, Kementerian Komunikasi dan Informatika pun membentuk Komite Etika Berinternet untuk menjaga ruang digital yang bersih, sehat, beretika dan produktif.
Komite ini diharap dapat merumuskan panduan praktis mengenai budaya dan etika menggunakan internet dan media sosial, yang berlandaskan asas kejujuran, penghargaan, kebajikan, kesantunan dan menghormati privasi, individu serta data pribadi orang lain.
Panduan praktis itu diharapkan bisa mendorong peningkatan literasi digital masyarakat, yang berkaitan dengan kecapakan menggunakan instrumen digital dan kemampuan merespons arus informasi.
Komite Etika Berinternet ini muncul setelah Indonesia berada di peringkat rendah di kawasan Asia Pasifik dalam tingkat keberadaban ruang digital, menurut survei salah satu raksasa teknologi.
Dalam survei tersebut, Indonesia berada di peringkat 29 dari 32 negara yang menjadi subjek studi.
Skor keberadaban ruang digital ini dipengaruhi oleh, antara lain, tingkat penyebaran hoaks, perundungan siber dan ujaran kebencian.
Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, sopan santun, produktif dan mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Arahan ini sudah sepatutnya dipatuhi dan dijalankan oleh segenap pemangku kepentingan guna mendorong peningkatan literasi digital masyarakat, yang berkaitan dengan kecapakan menggunakan instrumen digital dan kemampuan merespons arus informasi.
Postingan itu merupakan bentuk kritik Jerinx setelah membaca berita tentang ibu hamil yang wajib rapid test sebelum mendapatkan pelayanan di rumah sakit.
Namun, ungkapan tersebut kemudian berbuntut panjang hingga ke meja hijau. Jerinx dilaporkan oleh IDI hingga divonis terbukti melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kelompok masyarakat tertentu.
Jauh pada tahun 2017, musisi Ahmad Dhani juga pernah terseret kasus serupa. Dia menjadi tersangka kasus ujaran kebencian akibat sejumlah postingannya dalam akun Twitter. Dia kemudian divonis bersalah dan mendapat hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.
Kasus keduanya tak jauh berbeda. Tak hanya itu, Undang-Undang yang dilanggar pun sama yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kedua kasus itu menjadi contoh bahwa kini, media sosial bisa membahayakan tuannya jika tak berhati-hati. Kritik bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik dan informasi yang terlalu cepat disebar tanpa pemeriksaan ulang bisa disebut sebagai penyebaran hoaks.
"Polisi" yang menilai tiap postingan itu bernama UU ITE. Sebuah UU yang dibuat salah satunya untuk menjaga ruang digital tetap beretika. Namun belakangan, muncul anggapan bahwa "polisi" ini justru mengekang kebebasan berpendapat masyarakat.
Presiden Joko Widodo pun merespon keresahan tersebut. Dia meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama pemerintah merevisi UU ITE apabila UU itu tidak memberikan keadilan bagi masyarakat.
Wacana revisi UU ITE ini mendapat dukungan dari berbagai pihak. Direktur Drone Emprit Ismail Fahmi berpendapat perlu ada revisi karena UU tersebut memberi rasa takut kepada publik.
Hal serupa disampaikan oleh anggota DPR Komisi I Sukamta yang setuju dengan wacana revisi UU ITE demi menjaga ruang digital tetap bersih dan beretika sambil tetap menjaga kebebasan berpendapat.
Namun, urgensi revisi UU ITE ini juga dipertanyakan salah satunya oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf.
Menurut dia, sebelum melakukan revisi UU ITE, perlu pengkajian terlebih dahulu tentang tahapan mana yang bermasalah hingga mengundang kritikan publik.
Bisa jadi, yang bermasalah bukan produk hukumnya melainkan penyelenggara yang salah menafsirkan dan salah menerapkan. Hal tersebut perlu ditelaah lebih jauh sebagai dasar revisi UU ITE jika jadi dilakukan.
"Jadi kalau ini ada masalah soal keadilan maka di hulunya yang kita perbaiki," ujar dia.
Pengkajian itulah yang saat ini tengah dilakukan pemerintah. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan bahwa pemerintah saat ini masih membahas dan mendengarkan pendapat publik (public hearing) terkait UU ITE tersebut.
Tim kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih terus mengundang praktisi media sosial, kalangan aktivis, dan pihak terkait lainnya untuk menghimpun data dan masukan terkait UU itu sebelum diputuskan diajukan ke DPR untuk direvisi.
Etika berpendapat di ruang digital
Meski demikian, menjaga kesehatan ruang digital tidak hanya dengan cara merevisi UU ITE.
Ismail Fahmi sepakat agar UU ITE tak dianggap sebagai perenggut kebebasan berpendapat. Perlu ada edukasi terus menerus di masyarakat untuk menciptakan dunia maya yang sehat.
Masyarakat harus mengetahui unggahan seperti apa yang berpotensi melanggar hukum. Founder dan Penggagas aplikasi Drone Emprit ini berpendapat polisi sebagai aparat penegak hukum tak perlu langsung reaktif menangkap pembuat unggahan yang berpotensi melanggar UU ITE.
Perlu ada tahapan edukasi terlebih dahulu sebelum dilakukan eksekusi.
”Itu salah satu edukasi melalui aparat kepolisian. Dari situ kemudian orang-orang yang mengikuti akun-akun milik Polri ini 'kan kemudian akan belajar. 'Oh, ternyata yang seperti ini yang melanggar’. Dari situ saja sebenarnya termasuk dalam proses belajar langsung, jadi penegak hukum mengedukasi masyarakat,” kata Ismail Fahmi di Jakarta.
Pada akhirnya, perlu ada peningkatan literasi digital masyarakat Indonesia. Direktur Informasi dan Komunikasi Perekonomian dan Kemaritiman, Kementerian Komunikasi dan Informatika Septriana Tangkary, mengatakan laju perkembangan teknologi komunikasi yang terjadi saat ini berjalan beriringan dengan meningkatnya potensi timbulnya hoaks.
Kesalahan informasi ini harus dicegah di seluruh lapisan masyarakat karena dapat berdampak pada kesalahan persepsi hingga tindakan yang merugikan seperti pencemaran nama baik hingga pelanggaran pidana lain.
Dengan memperbaiki tingkat literasi digital ini, UU ITE pun tak akan sering-sering dipakai sebagai senjata. Sebab masyarakat memiliki kesadaran pribadi mengenai apa yang melanggar dan apa yang tidak, tanpa harus mengorbankan kebebasan berpendapatnya.
Komite Etika Berinternet
Seolah menjadi penengah di tengah wacana revisi UU ITE, Kementerian Komunikasi dan Informatika pun membentuk Komite Etika Berinternet untuk menjaga ruang digital yang bersih, sehat, beretika dan produktif.
Komite ini diharap dapat merumuskan panduan praktis mengenai budaya dan etika menggunakan internet dan media sosial, yang berlandaskan asas kejujuran, penghargaan, kebajikan, kesantunan dan menghormati privasi, individu serta data pribadi orang lain.
Panduan praktis itu diharapkan bisa mendorong peningkatan literasi digital masyarakat, yang berkaitan dengan kecapakan menggunakan instrumen digital dan kemampuan merespons arus informasi.
Komite Etika Berinternet ini muncul setelah Indonesia berada di peringkat rendah di kawasan Asia Pasifik dalam tingkat keberadaban ruang digital, menurut survei salah satu raksasa teknologi.
Dalam survei tersebut, Indonesia berada di peringkat 29 dari 32 negara yang menjadi subjek studi.
Skor keberadaban ruang digital ini dipengaruhi oleh, antara lain, tingkat penyebaran hoaks, perundungan siber dan ujaran kebencian.
Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, sopan santun, produktif dan mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Arahan ini sudah sepatutnya dipatuhi dan dijalankan oleh segenap pemangku kepentingan guna mendorong peningkatan literasi digital masyarakat, yang berkaitan dengan kecapakan menggunakan instrumen digital dan kemampuan merespons arus informasi.