Kotabaru (ANTARA) - Pandemi COVID-19 yang melanda bangsa-bangsa di dunia secara langsung ataupun tidak langsung telah mengubah sendi-sendi kehidupan umat manusia sejagad raya.

Indonesia menjadi salah satu negara yang merasakan dampak dari mewabahnya COVID-19, tidak terkecuali 13 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan.

Dari sekitar 8.000 UMKM di Kabupaten Kotabaru, Kalsel hanya sekitar 2.000 UMKM yang mampu bertahan di tengah-tengah perekonomian nasional sedang guncang.

Sisanya sekitar 6.000 usaha yang sebagian besar produksi makanan olahan itu "gulung tikar" tidak bisa beroperasi karena terdampak lesunya ekonomi di Kotabaru.

Kepala Dinas Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Kotabaru Khairil Fajri menjelaskan, hanya sekitar 2.000 UMKM yang bisa bertahan dari gempuran pandemi itu.

"Pasar mereka terbatas, sehingga produk-produk yang diolah tidak bisa diserap pasar, lama kelamaan mereka merugi," ujarnya.

Pasar menjadi salah satu faktor yang utama bagi pelaku usaha produksi pangan olahan.

Pelaku usaha mikro kecil dan menengah yang masih bisa bertahan adalah mereka mampu menyesuaikan dengan kondisi pasar, salah satunya dengan menawarkan produk melalui internet atau online.

Sementara pelaku usaha yang melek dengan teknologi digital jumlahnya sedikit hanya sekitar 20 persen saja dari 2.000 UMKM, sisanya masih gagap teknologi.

Kondisi itulah yang saat ini menjadi fokus Dinas Perdagangan Industri dan Koperasi Kotabaru, yang menargetkan pada 2024 semua pelaku usaha di Kotabaru masuk dalam transformasi digital.

Di mana semua jenis transaksi, mulai dari mencari bahan baku, kemasan hingga menjual hasil produksinya bisa dilakukan melalui digital.

Membantu mewujudkan keinginan tersebut, sejumlah program strategis mulai dilakukan di antaranya, pelatihan keterampilan, membangun komunitas menggunakan aplikasi serta menyiapkan portal atau aplikasi khusus untuk UMKM guna memasarkan barang produksinya.

Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam merealisasikan program tersebut, di antaranya mental pelaku usaha yang masih "mengharapkan bantuan" dari pemerintah.

"Saat kami melakukan pendataan, pelaku usaha selalu menanyakan bantuan, dan hal itu membuat kami kurang nyaman sehingga kami tidak berani ke lapangan," katanya.

Pelaku usaha diharapkan bisa memanfaatkan program yang disiapkan pemerintah melalui program pemulihan ekonomi nasional, di antaranya penyediaan modal usaha oleh lembaga keuangan atau perbankan untuk menggerakkan perekonomian mereka.

Namun tidak semua pelaku usaha mikro kecil dan menengah mampu mengakses program tersebut. Alasannya banyak faktor, di antaranya sumber daya manusia, keterampilan dan minimnya kemampuan teknologi.


Transformasi digital

Kepala Bank Kalsel Cabang Batulicin Aziz Nurhakim menuturkan, pihaknya terus berupaya meningkatkan pelayanan kepada nasabah atau pelaku usaha dengan program akselerasi transformasi digital melalui "core banking".

Dengan sistem core banking yang lebih bagus akan memudahkan untuk mengikuti dan menyesuaikan permintaan pasar.

Pada layanan tersebut terdapat menu kliring atau Lalu Lintas Giro (LLG) sistem nasional. Di mana transfer di bawah Rp500 juta dapat menggunakan kliring dengan biaya cukup murah sekitar Rp2.900 melalui aplikasi mobile banking.

Pembayaran-pembayaran lainnya juga sudah dilayani oleh Bank Kalsel melalui digital seperti pembayaran tagihan PDAM, listrik, pembayaran tagihan Indihome, BPJS bahkan pembayaran SPP sekolah juga dapat dilayani melalui sistem digital.

"Kita selalu menyesuaikan permintaan nasabah terkait transformasi digital menuju industri 4.0," terang Aziz.

Pakar Ekonomi Syariah Dr Arif Budiman menjelaskan, pelaku usaha dari kalangan milenial lebih siap dan paling mudah beradaptasi dibandingkan pelaku usaha kelompok tua dalam menggerakkan ekonomi melalui transformasi digital.

"Selain kelompok milenial, mereka (kaum berumur) sulit merespon urusan digital dalam melakukan transaksi hingga memasarkan produknya," ujar dia.

Mereka umumnya dari sisi literisasi sangat rendah dan tidak bisa mengikuti, kecuali dibantu keluarga atau anaknya.

Sedangkan UMKM dari kelompok usia muda akan lebih cepat merespon, dan mayoritas startup dari mahasiswa dan atau sarjana lebih cepat merespon sistem digitalisasi.

Namun demikian, pemerintah tetap harus membina kelompok yang sulit untuk merespon sistem digitalisasi tersebut, melalui banyak cara, misalnya pendampingan atau menginisiasi pelatihan dan program lainnya.

Dari segi aturan atau regulasi, sesuai dengan tugasnya pemerintah harus tetap melindungi dan lebih banyak keberpihakan kepada pengusaha kecil, kalau pengusaha besar mereka akan tumbuh dan berkembang sendiri.

Keberpihakan tersebut bisa dilakukan dengan memberikan kemudahan regulasi dan memberikan penjaminan UMKM dalam mengajukan permodalan.

Mungkin mereka tidak punya cukup aset dan pemerintah bisa membantu menjadi penjamin atau afalis agar mereka bisa mendapatkan suntikan modal untuk mengembangkan usahanya.

Memberikan kelonggaran dengan catatan, bila pelaku usaha tersebut mengalami masalah keuangan pemerintah bisa menalangi UMKM yang mengalami masalah atau gagal bayar yang bukan karena "moral hazard", tetapi yang memang sudah bekerja sungguh-sungguh tetapi karena faktor pasar atau ekonomi sehingga mereka masih gagal.

Menurut dosen Politeknik Banjarmasin tersebut, pemerintah bisa membantu sebagai bagian dari tanggungjawab dalam melindungi usaha kecil dengan cara.

Mulai dari RT, lurah atau kepala desa bisa membantu dan memantau warganya bisa memberikan jaminan dan pengawasan.


Pasar rakyat

Penyediaan tempat dan sarana pendukung serta promosi bisa menjadi alternatif yang dilakukan pemerintah dalam mendorong pelaku usaha bisa masuk dalam era digitalisasi ini.

Pasar fisik tetap masih diperlukan, selain menyiapkan mereka untuk masuk dalam era transformasi digital, misalkan, membuat marketplace (lokapasar).

"Kita bisa menggandeng lembaga swadaya masyarakat, atau kelompok lain yang bisa diajak kerjasama membangun marketplace yang sifatnya tidak mengejar keuntungan," tambahnya.

Pemerintah sebenarnya punya banyak peluang untuk membangun kolaborasi di kalangan warga masyarakat, jadi tugasnya membangun kolaborasi dan bisa memainkan peran untuk menghubungi perguruan tinggi, asosiasi-asosiasi atau para pengusaha besar untuk membina usaha kecil.

Ini seharusnya yang bisa dijalankan oleh pemerintah daerah.

Di era digitalisasi memang terjadi transformasi di bidang ketenagakerjaan, ada disrupsi atau ada pekerja yang kehilangan lahan karena tidak diperlukan lagi.

Misalnya penjaga pintu tol, kasir di lembaga keuangan atau outlet digantikan mesin.

Ada pekerja yang sudah tidak dipakai lagi, tetapi sebaliknya saat ini banyak lapangan pekerjaan baru yang dulu tidak dibutuhkan yang terjadi pergeseran tenaga kerja.

Sebelumnya pelayanan langsung masih sangat dibutuhkan, tetapi kini era digital tidak lagi dibutuhkan, namun membutuhkan keahlian lebih banyak diperlukan terkait teknologi.

Ada kelompok usaha tertentu lebih mengandalkan teknologi termasuk di dunia hiburan, seperti youtuber dan konten-konten game atau yang lainnya yang memerlukan skill tinggi.

Semuanya itu diperlukan talenta digital. Dari sisi lembaga pendidikan perlu lebih banyak membuka program studi yang relevan dengan era digital saat ini.

Bahkan sudah banyak kampus membuka prodi baru, sains digital, dan macam-macam terkait digital.

Lembaga pendidikan harus banyak membuka program baru untuk mendidik calon tenaga kerja yang sesuai dengan eranya, siap menghadapi era disrupsi.

Pemerintah juga perlu terus mendorong agar semua lembaga yang melayani masyarakat meningkatkan layanannya di era digital sehingga membuka lapangan pekerjaan.

Semua layanan harus serba digital guna membuka lapangan usaha baru, dan masalah SDM nya yang menyiapkan adalah tugas lembaga pendidikan atau perguruan tinggi.

Sedangkan masyarakat tugasnya adalah meningkatkan literasi di era teknologi, semua harus siap menerima di era baru dan harus siap karena kalau tidak akan tergilas.

 

Pewarta : Imam Hanafi
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024