Purwokerto (ANTARA) - Ahli mikrobiologi klinik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dr. Nia Krisniawati, Sp.MK. mengingatkan mutasi virus berlangsung terus-menerus karena merupakan siklus alamiah virus.

Nia Krisniawati di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis, mengatakan hingga saat ini COVID-19 masih menjadi pandemi seiring dengan adanya mutasi virus yang menyebabkan munculnya varian-varian baru dari COVID-19 yang lebih cepat menular.

"Mutasi virus berlangsung terus-menerus dan merupakan siklus alamiah virus. Oleh karena pandemi COVID-19 belum berakhir sekalipun kasus global mulai menurun dan COVID-19 diprediksi akan terus ada. Untuk itu informasi yang benar dan faktual terkait COVID-19, termasuk varian Omicron, penting dalam pengendalian pandemi dan pencegahan penularan virus," kata anggota Tim Laboratorium COVID-19 dan Laboratorium Riset Terpadu Unsoed itu.

Terkait maraknya virus Corona terutama dengan munculnya varian Omicron, dia mengatakan kegiatan menjaga kebersihan harus lebih ditekankan dan upaya pencegahan penularan COVID-19 perlu ditingkatkan hingga level terkecil masyarakat melalui penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro di desa/kelurahan.

Selain itu, kata dia, pemerintah daerah juga perlu kembali menegakkan protokol kesehatan sesuai dengan level PPKM di daerah masing-masing demi menekan laju kasus positif COVID-19.

Lebih lanjut, Nia memaparkan lima dampak varian Omicron yang terdiri atas dampak terhadap insiden penyakit, dampak terhadap transmisi atau penularan, dampak pada keparahan penyakit, dampak pada infeksi berulang, dan dampak pada vaksinasi.

"Dalam kaitannya dengan dampak terhadap insiden penyakit, berdasarkan data Omicron terus menyebar secara global dan telah diidentifikasi di sebagian besar negara di enam wilayah WHO (World Health Organization/Organisasi Kesehatan Dunia)," katanya

Secara global selama satu pekan atau tanggal 14-20 Februari 2022, kata dia, jumlah kasus baru COVID-19 turun 21 persen dibandingkan dengan minggu sebelumnya dan jumlah kasus kematian juga menunjukkan tren menurun yang tercatat sebesar 8 persen.

"Penting untuk dicatat bahwa tren ini mungkin disebabkan karena penurunan tes diagnostik COVID-19 secara keseluruhan yang dipengaruhi oleh perubahan kebijakan di tiap negara," kata dia yang juga anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI).

Terkait dengan dampak terhadap transmisi atau penularan, dia mengatakan sesuai analisis berdasarkan metode yang digunakan oleh Campbell et al dan yang berfokus pada negara-negara dengan data genom sekuensing yang diunggah ke GISAID (Global Initiative on Sharing Avian Influenza Data) pada tanggal 18 Februari 2022, menemukan keunggulan tingkat replikasi atau pertumbuhan Omicron dibandingkan varian Delta di semua negara.
 
Menurut dia, tingkat reinfeksi (infeksi berulang, red.) dilaporkan lebih tinggi pada Omicron dibandingkan dengan Delta, yakni 13,6 persen versus 10,1 persen di United Kingdom dan 31 persen versus 21 persen di Denmark.

"Peneliti di China, Hong Kong SAR menemukan bahwa Omicron memiliki tropisme yang lebih tinggi di jaringan bronkus dibandingkan dengan paru-paru. Di United Kingdom, Omicron ditemukan lebih cepat menginfeksi saluran pernapasan bagian atas dari pada Delta dan menghasilkan titer sekitar 100 kali lipat lebih tinggi," katanya.

Tropisme adalah sifat infeksi dari sebagian patogen yang hanya spesifik menyerang inang dan jaringan inang tertentu.

Dia mengatakan dua penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan melaporkan Omicron mampu menghindari kekebalan yang diperoleh dari vaksin maupun kekebalan dari infeksi sebelumnya.

Menurut dia, hal itu juga bisa menjadi faktor yang berkontribusi pada tingkat pertumbuhan Omicron yang lebih tinggi dibandingkan dengan Delta.

"Sementara dampak pada keparahan penyakit, berdasarkan hasil analisis dari konsultasi medis dan rawat inap baru-baru ini, Omicron secara konsisten ditemukan terkait dengan tingkat beratnya penyakit lebih ringan dibandingkan dengan Delta di seluruh studi yang dilakukan di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Afrika Selatan," katanya.
 
Terkait dengan dampak pada infeksi berulang, Nia mengatakan data awal Omicron pada individu yang sebelumnya terinfeksi SARS-CoV-2 sejak awal pandemi menunjukkan peningkatan jumlah infeksi berulang di Denmark dan Israel.

"Risiko infeksi berulang lebih tinggi pada Omicron dibandingkan dengan varian SARS-CoV-2 lainnya dengan risiko yang bahkan lebih tinggi, dari data yang dilaporkan di seluruh Inggris," katanya.

Sementara untuk dampak pada vaksinasi, dia mengatakan hasil studi efektivitas vaksin (VE) sulit untuk ditafsirkan, dan perkiraan bervariasi tergantung dengan jenis vaksin yang diberikan, jumlah dosis, serta penjadwalan pemberian berurutan dari vaksin yang berbeda.

Menurut dia, studi yang dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat melaporkan efektivitas vaksin mencapai 60 persen hingga 75 persen terhadap infeksi simptomatik (bergejala, red.) dengan Omicron. 


Pewarta : Sumarwoto
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024