Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia telah mengadopsi program transisi energi yang sejalan dengan tujuan Kesepakatan Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di dalam negeri sebesar 314 juta ton karbon dioksida ekuivalen pada tahun 2030.
Kebutuhan energi primer yang akan terus tumbuh seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi menjadikan gas alam sebagai jembatan transisi sebelum energi terbarukan mencapai porsi 100 persen pada pembangkit listrik.
Gas alam berfungsi sebagai bahan bakar pengganti untuk energi terbarukan yang intermiten dan pemenuhan kebutuhan domestik.
Melalui forum kerja sama multilateral G20, Pemerintah Indonesia mendorong peningkatan peran gas alam selama program transisi energi berlangsung guna mencapai keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan energi yang terus meningkat dan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan peran gas alam selama proses transisi energi sangat penting mengingat sumber daya gas alam masih sangat besar dengan infrastruktur yang sudah berkembang, permintaan meningkat, dan faktor emisi karbonnya yang lebih rendah.
Berdasarkan data The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Badan PBB untuk menilai ilmu terkait perubahan iklim, gas alam hanya menghasilkan 469 gram karbon dioksida per kilowatt jam (kWh). Angka emisi itu lebih rendah dibandingkan batu bara yang mencapai 1.001 gram karbon dioksida per kWh dan minyak bumi sebesar 840 gram karbon dioksida per kWh.
"Investasi dalam proyek gas alam perlu ditingkatkan secara global untuk mendorong penggunaan gas alam yang lebih besar," kata Tutuka dalam rangkaian acara G20 bertajuk peningkatan peran gas dalam transisi energi di Jakarta pada pertengahan Mei 2022.
Pemerintah Indonesia menyakini bahwa kerja sama internasional termasuk melalui forum G20 akan berkontribusi besar dalam meningkatkan peran gas alam untuk mendukung pencapaian target netralitas karbon.
Teknologi pengurang emisi
Indonesia secara resmi menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan G20 yang berlangsung selama setahun dari 1 Desember 2021 hingga KTT G20 pada November 2022. Terdapat tiga isu prioritas yang dibahas dalam forum G20, yakni arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, dan transformasi digital dan ekonomi.
Kementerian ESDM mengusulkan teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCUS) menjadi salah satu proyek kerja sama dalam forum G20.
Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengembangan teknologi itu merupakan salah satu strategi mengurangi emisi bagi hampir semua anggota G20. Beberapa anggota sudah memiliki kebijakan dan proyek skala besar, sedangkan beberapa anggota masih dalam proyek percontohan dan sisanya masih dalam tahap inisiasi.
Sejauh ini, Indonesia telah menjalin kerja sama dengan Jepang terkait pengembangan proyek CCUS dan akan meningkatkan kerja sama dengan negara lain yang juga telah memiliki pengalaman dalam mengembangkan teknologi tersebut, seperti Amerika Serikat dan Kanada.
Dalam Skenario Pembangunan Berkelanjutan Badan Energi Internasional, di mana emisi karbon dioksida global dari sektor energi turun menjadi nol bersih pada tahun 2070, CCUS menyumbang hampir 15 persen dari pengurangan kumulatif emisi ketimbang Stated Policies Scenario.
Bagi Indonesia, teknologi CCUS memiliki peran penting dalam mendukung target pengurangan emisi dan pada saat yang sama juga dapat meningkatkan produksi gas alam.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon dioksida sekitar 2 gigaton yang tersebar di beberapa wilayah mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Papua. Adapun potensi saline aquifer sebesar 9,68 gigaton karbon dioksida dari cekungan Jawa Barat dan Sumatera Selatan.
Beberapa studi atau proyek CCUS yang sedang berjalan, antara lain Lapangan Gundih yang saat ini dalam tahap joint study dengan Jepang. CCUS Gundih ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2024 ataupun 2025 dan berpotensi menyerap lebih kurang 3 juta ton karbon dioksida selama 10 tahun serta dapat meningkatkan produksi gas alam lebih kurang 36 BSCF dan kondensat lebih kurang 382,7 MSTB.
Selanjutnya, ada proyek Tangguh yang ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2026 dan berpotensi menyerap lebih kurang 25 juta ton karbon dioksida selama 10 tahun serta dapat meningkatkan produksi gas alam lebih kurang 300 BSCF.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan dari sekian banyak cekungan yang ada di Indonesia terutama wilayah timur, mayoritasnya adalah cekungan gas alam yang berpotensi mendorong produksi hingga 12 BSCFD pada tahun 2030.
Saat ini, rata-rata 70 persen plan of development berupa pengembangan lapangan gas bumi karena lebih dari 50 persen penemuan sumur eksplorasi yang terjadi dalam satu dekade terakhir lebih banyak gas alam.
"Sekarang orang sudah melakukan uji coba untuk membawa karbon dalam bentuk liquefied untuk dibawa ke suatu tempat, lalu dimasukkan ke dalam CCUS..., Indonesia punya banyak reservoir yang bisa dimanfaatkan dunia untuk menyimpan karbon dioksida," kata Dwi.
Potensi Indonesia
Sejak pertama kali diproduksi pada tahun 1965, gas alam untuk keperluan rumah tangga di Indonesia terus meningkat seiring perjalanan waktu.
Sebelumnya, gas lebih banyak digunakan untuk tujuan ekspor. Namun, saat ini lebih dari 60 persen produksi gas Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kementerian ESDM mencatat konsumen gas terbesar di Indonesia adalah industri, listrik, dan pupuk. Sementara itu, sekitar 22,57 persen diekspor dalam bentuk gas alam cair atau LNG, dan 13,13 persen diekspor melalui pipa. Total konsumsi gas mencapai 5.734,43 BBUTD.
Pada 2020, bauran gas alam pada pembangkit listrik tercatat sebesar 21,2 persen dengan volume mencapai 6.557 MMSCFD. Jumlah itu diproyeksikan bertambah menjadi 21,8 persen dengan volume sebesar 11.728 MMSCFD pada 2030.
Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional, porsi gas alam ditargetkan mencapai 24 persen dalam bauran energi pada tahun 2050. Cadangan yang melimpah menjadi alasan Pemerintah Indonesia meningkatkan pemanfaatan gas alam.
Total cadangan gas alam sebesar 62,39 TSCF tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.
Pemerintah Indonesia mengundang semua calon investor untuk berkontribusi dalam mengembangkan cadangan tersebut mengingat transisi energi harus dilakukan secara komprehensif dalam berbagai tahapan dengan mempertimbangkan daya saing, biaya, ketersediaan, dan keberlanjutan untuk memastikan transisi berjalan lancar dan ketahanan energi tidak terganggu.
Kebutuhan energi primer yang akan terus tumbuh seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi menjadikan gas alam sebagai jembatan transisi sebelum energi terbarukan mencapai porsi 100 persen pada pembangkit listrik.
Gas alam berfungsi sebagai bahan bakar pengganti untuk energi terbarukan yang intermiten dan pemenuhan kebutuhan domestik.
Melalui forum kerja sama multilateral G20, Pemerintah Indonesia mendorong peningkatan peran gas alam selama program transisi energi berlangsung guna mencapai keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan energi yang terus meningkat dan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan peran gas alam selama proses transisi energi sangat penting mengingat sumber daya gas alam masih sangat besar dengan infrastruktur yang sudah berkembang, permintaan meningkat, dan faktor emisi karbonnya yang lebih rendah.
Berdasarkan data The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Badan PBB untuk menilai ilmu terkait perubahan iklim, gas alam hanya menghasilkan 469 gram karbon dioksida per kilowatt jam (kWh). Angka emisi itu lebih rendah dibandingkan batu bara yang mencapai 1.001 gram karbon dioksida per kWh dan minyak bumi sebesar 840 gram karbon dioksida per kWh.
"Investasi dalam proyek gas alam perlu ditingkatkan secara global untuk mendorong penggunaan gas alam yang lebih besar," kata Tutuka dalam rangkaian acara G20 bertajuk peningkatan peran gas dalam transisi energi di Jakarta pada pertengahan Mei 2022.
Pemerintah Indonesia menyakini bahwa kerja sama internasional termasuk melalui forum G20 akan berkontribusi besar dalam meningkatkan peran gas alam untuk mendukung pencapaian target netralitas karbon.
Teknologi pengurang emisi
Indonesia secara resmi menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan G20 yang berlangsung selama setahun dari 1 Desember 2021 hingga KTT G20 pada November 2022. Terdapat tiga isu prioritas yang dibahas dalam forum G20, yakni arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, dan transformasi digital dan ekonomi.
Kementerian ESDM mengusulkan teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCUS) menjadi salah satu proyek kerja sama dalam forum G20.
Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengembangan teknologi itu merupakan salah satu strategi mengurangi emisi bagi hampir semua anggota G20. Beberapa anggota sudah memiliki kebijakan dan proyek skala besar, sedangkan beberapa anggota masih dalam proyek percontohan dan sisanya masih dalam tahap inisiasi.
Sejauh ini, Indonesia telah menjalin kerja sama dengan Jepang terkait pengembangan proyek CCUS dan akan meningkatkan kerja sama dengan negara lain yang juga telah memiliki pengalaman dalam mengembangkan teknologi tersebut, seperti Amerika Serikat dan Kanada.
Dalam Skenario Pembangunan Berkelanjutan Badan Energi Internasional, di mana emisi karbon dioksida global dari sektor energi turun menjadi nol bersih pada tahun 2070, CCUS menyumbang hampir 15 persen dari pengurangan kumulatif emisi ketimbang Stated Policies Scenario.
Bagi Indonesia, teknologi CCUS memiliki peran penting dalam mendukung target pengurangan emisi dan pada saat yang sama juga dapat meningkatkan produksi gas alam.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon dioksida sekitar 2 gigaton yang tersebar di beberapa wilayah mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Papua. Adapun potensi saline aquifer sebesar 9,68 gigaton karbon dioksida dari cekungan Jawa Barat dan Sumatera Selatan.
Beberapa studi atau proyek CCUS yang sedang berjalan, antara lain Lapangan Gundih yang saat ini dalam tahap joint study dengan Jepang. CCUS Gundih ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2024 ataupun 2025 dan berpotensi menyerap lebih kurang 3 juta ton karbon dioksida selama 10 tahun serta dapat meningkatkan produksi gas alam lebih kurang 36 BSCF dan kondensat lebih kurang 382,7 MSTB.
Selanjutnya, ada proyek Tangguh yang ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2026 dan berpotensi menyerap lebih kurang 25 juta ton karbon dioksida selama 10 tahun serta dapat meningkatkan produksi gas alam lebih kurang 300 BSCF.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan dari sekian banyak cekungan yang ada di Indonesia terutama wilayah timur, mayoritasnya adalah cekungan gas alam yang berpotensi mendorong produksi hingga 12 BSCFD pada tahun 2030.
Saat ini, rata-rata 70 persen plan of development berupa pengembangan lapangan gas bumi karena lebih dari 50 persen penemuan sumur eksplorasi yang terjadi dalam satu dekade terakhir lebih banyak gas alam.
"Sekarang orang sudah melakukan uji coba untuk membawa karbon dalam bentuk liquefied untuk dibawa ke suatu tempat, lalu dimasukkan ke dalam CCUS..., Indonesia punya banyak reservoir yang bisa dimanfaatkan dunia untuk menyimpan karbon dioksida," kata Dwi.
Potensi Indonesia
Sejak pertama kali diproduksi pada tahun 1965, gas alam untuk keperluan rumah tangga di Indonesia terus meningkat seiring perjalanan waktu.
Sebelumnya, gas lebih banyak digunakan untuk tujuan ekspor. Namun, saat ini lebih dari 60 persen produksi gas Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kementerian ESDM mencatat konsumen gas terbesar di Indonesia adalah industri, listrik, dan pupuk. Sementara itu, sekitar 22,57 persen diekspor dalam bentuk gas alam cair atau LNG, dan 13,13 persen diekspor melalui pipa. Total konsumsi gas mencapai 5.734,43 BBUTD.
Pada 2020, bauran gas alam pada pembangkit listrik tercatat sebesar 21,2 persen dengan volume mencapai 6.557 MMSCFD. Jumlah itu diproyeksikan bertambah menjadi 21,8 persen dengan volume sebesar 11.728 MMSCFD pada 2030.
Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional, porsi gas alam ditargetkan mencapai 24 persen dalam bauran energi pada tahun 2050. Cadangan yang melimpah menjadi alasan Pemerintah Indonesia meningkatkan pemanfaatan gas alam.
Total cadangan gas alam sebesar 62,39 TSCF tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.
Pemerintah Indonesia mengundang semua calon investor untuk berkontribusi dalam mengembangkan cadangan tersebut mengingat transisi energi harus dilakukan secara komprehensif dalam berbagai tahapan dengan mempertimbangkan daya saing, biaya, ketersediaan, dan keberlanjutan untuk memastikan transisi berjalan lancar dan ketahanan energi tidak terganggu.