Kota Palu (ANTARA) - PT Poso Energy mengakui pihaknya belum menyelesaikan urusan ganti rugi lahan milik para petani di Desa Meko karena masih dalam proses, kata Public Relation Irma di Palu, Selasa.
Namun, dia memastikan penanganan jangka pendek area yang terdampak pengembangan bendungan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) telah selesai 100 persen.
"Terkecuali ganti rugi lahan dari petani-petani Desa Meko itu memang belum selesai karena masih berproses dalam penyaluran dan penerimaan biaya ganti rugi,” kata Irma melalui sambungan telepon dari Palu, Selasa.
Dia menjelaskan penanganan jangka pendek terhadap dampak pembangunan PLTA tersebut telah sesuai dengan beberapa hal menyangkut dasar ganti rugi lahan, yakni analisis data hidrologi dan klimatologi danau dan sungai di Poso tahun 1972 sampai 2019, studi peta topografi, peta tata guna lahan, serta peta batimetri Danau Poso.
Selanjutnya, pihaknya juga telah melakukan wawancara terhadap warga yang bermukim dan menggarap lahan di sepanjang Danau Poso, katanya. Selain itu, dokumentasi menggunakan pesawat tanpa awak (drone) dan pantauan citra satelit resolusi 50cm 2019-2022 juga telah dilakukan.
"Itu adalah data 79 warga Desa Meko yang saat ini dalam proses menerima biaya ganti rugi lahan akibat dampak dari bendungan itu; dan kalau ada data-data lain yang tersebar, kami tidak dapat memastikan sumber data itu," katanya.
Selain itu, Irma menambahkan pihaknya memastikan sejauh ini tidak ada dampak dari pengembangan bendungan PLTA 1 di Desa Tonusu, Kabupaten Poso, sebagaimana yang disampaikan para pengunjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Selasa.
"Desa Tonusu, berdasarkan data kami, tidak ada area yang terdampak karena kami tetap mengacu pada lima butir poin yang di atas, untuk memastikan bahwa area itu betul-betul terdampak; dan pengunjuk rasa itu adalah petani Desa Tonusu di sana yang tidak terdampak," katanya.
Hingga kini, menurut dia, PT Poso Energi sedang dalam tahap penyelesaian jangka panjang, sehingga kehadiran PLTA akan berdampak positif bagi kelangsungan hidup masyarakat setempat.
"Jadi, semua yang terselesaikan itu berdasarkan data serta warga yang bisa meyakinkan kami bahwa lahan mereka betul terdampak, bukan hanya pengakuan sepihak saja. Tim kami bukan jalan sendiri tapi ada PPL; ada aparat desa, aparat kecamatan, dan tripika," ujarnya.
Namun, dia memastikan penanganan jangka pendek area yang terdampak pengembangan bendungan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) telah selesai 100 persen.
"Terkecuali ganti rugi lahan dari petani-petani Desa Meko itu memang belum selesai karena masih berproses dalam penyaluran dan penerimaan biaya ganti rugi,” kata Irma melalui sambungan telepon dari Palu, Selasa.
Dia menjelaskan penanganan jangka pendek terhadap dampak pembangunan PLTA tersebut telah sesuai dengan beberapa hal menyangkut dasar ganti rugi lahan, yakni analisis data hidrologi dan klimatologi danau dan sungai di Poso tahun 1972 sampai 2019, studi peta topografi, peta tata guna lahan, serta peta batimetri Danau Poso.
Selanjutnya, pihaknya juga telah melakukan wawancara terhadap warga yang bermukim dan menggarap lahan di sepanjang Danau Poso, katanya. Selain itu, dokumentasi menggunakan pesawat tanpa awak (drone) dan pantauan citra satelit resolusi 50cm 2019-2022 juga telah dilakukan.
"Itu adalah data 79 warga Desa Meko yang saat ini dalam proses menerima biaya ganti rugi lahan akibat dampak dari bendungan itu; dan kalau ada data-data lain yang tersebar, kami tidak dapat memastikan sumber data itu," katanya.
Selain itu, Irma menambahkan pihaknya memastikan sejauh ini tidak ada dampak dari pengembangan bendungan PLTA 1 di Desa Tonusu, Kabupaten Poso, sebagaimana yang disampaikan para pengunjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Selasa.
"Desa Tonusu, berdasarkan data kami, tidak ada area yang terdampak karena kami tetap mengacu pada lima butir poin yang di atas, untuk memastikan bahwa area itu betul-betul terdampak; dan pengunjuk rasa itu adalah petani Desa Tonusu di sana yang tidak terdampak," katanya.
Hingga kini, menurut dia, PT Poso Energi sedang dalam tahap penyelesaian jangka panjang, sehingga kehadiran PLTA akan berdampak positif bagi kelangsungan hidup masyarakat setempat.
"Jadi, semua yang terselesaikan itu berdasarkan data serta warga yang bisa meyakinkan kami bahwa lahan mereka betul terdampak, bukan hanya pengakuan sepihak saja. Tim kami bukan jalan sendiri tapi ada PPL; ada aparat desa, aparat kecamatan, dan tripika," ujarnya.