Surabaya (ANTARA) - Hari Selasa (7/2) menjadi momen penting bagi Nahdlatul Ulama (NU) dan warga Nahdliyin. Organisasi masyarakat Islam terbesar di negeri ini memperingati usia 100 tahun atau satu abad.
Sejak dibentuk pada 16 Rajab 1344 H (yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926) di Kota Surabaya oleh sejumlah ulama, yakni K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah, dan K.H. Bisri Syansuri, NU menjelma menjadi ormas Islam dengan basis pengikut terbanyak. Bahkan, NU juga diklaim sebagai ormas Islam terbesar di dunia.
Pembentukan NU dipengaruhi dua kondisi luar negeri kala itu, yakni penghapusan sistem khilafah di negeri Turki modern dan berkuasanya rezim wahabi di Arab Saudi. Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, NU punya peran penting untuk menjaga bangunan keindonesian tetap utuh hingga kini.
Upaya menjaga bangunan keindonesiaan oleh NU dimulai sejak zaman kemerdekaan. Salah satunya, kala itu K.H. Hasyim Asy'ari mencetuskan Resolusi Jihad yang meminta seluruh umat Islam, khususnya Nahdliyin, mempertahankan kemerdekaan, setelah masuknya kembali Belanda ke Tanah Air. Ulama besar ini kemudian mendapatkan gelar pahlawan nasional dari negara.
Di ranah keagamaan, ulama dengan panggilan paling terhormat Hadratussyeikh atau mahaguru itu mendasarkan pemikirannya pada pandangan ahlussunnah wal jamaah.
Sementara puteranya, K.H. Wahid Hasyim, juga merupakan pahlawan nasional. Pria bernama lengkap Abdul Wahid Hasyim itu merupakan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dia juga yang berperan mengganti sila pertama dari konsep Pancasila yang sempat kontroversial dengan kalimat "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" menjadi berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Di era modern, salah satu kiai besar NU juga muncul sebagai tokoh nasional dan bapak bangsa, yakni K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus Dur yang juga putera dari KH Wahid Hasyim dan cucu dari KH Hasyim Asy'ari merupakan Presiden ke-4 Republik Indonesia. Gus Dur tersohor dengan sepak terjangnya sebagai pejuang kemanusiaan.
Saat menjabat, Gus Dur mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 era Soeharto yang melarang perayaan Imlek. Selain itu, Gus Dur konsisten membela hak-hak dari kaum minoritas di Indonesia hingga akhir hayatnya dan dijuluki sebagai pejuang kemanusiaan.
Langkah Gus Dur dalam membela hak-hak kaum tertindas, merupakan representasi dari upaya Nahdlatul Ulama untuk menjaga bangunan keindonesiaan tetap utuh.
Konsisten tolak khilafah
Dalam rangkaian Harlah Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU), PBNU juga menggelar Mukhtamar Internasional Fikih I di Surabaya, 6 Februari 2023. Dalam forum tersebut PBNU mengundang para ulama lokal maupun internasional guna membahas piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Rekomendasi yang dilahirkan forum tersebut kemudian dibacakan oleh Mustasyar PBNU K.H. Ahmad Mustofa Bisri bersama Yenny Wahid, putri almarhum K.H. Abdurrahman Wahid, di sela Puncak Resepsi Satu Abad NU di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, 7 Februari 2023.
Secara tegas, isi dari rekomendasi tersebut menolak kehadiran negara khilafah yang justru kerap memicu konflik. Pertama, umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara khilafah harus diganti dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat.
Hasil muktamar yang diinisiasi NU itu berpandangan bahwa cita-cita mendirikan kembali negara khilafah yang dianggap dapat menyatukan kembali umat Islam sedunia, namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan non-Muslim bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebuah aspirasi.
Sebagaimana terbukti akhir-akhir ini melalui upaya mendirikan negara ISIS. Usaha semacam ini niscaya akan berakhir dalam kekacauan dan justru berlawanan dengan tujuan pokok agama yang tergambar dalam lima prinsip, yakni menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga akal, menjaga keluarga, dan menjaga harta.
Usaha untuk mendirikan kembali negara khilafah nyatanya bertabrakan dengan tujuan pokok agama tersebut. Karena secara fakta usaha semacam ini menimbulkan ketidakstabilan dan merusak keteraturan sosial politik.
Lebih dari itu, jika akhirnya berhasil, usaha-usaha ini bakal menyebabkan runtuhnya sistem negara serta menyebabkan konflik berbau kekerasan yang akan menimpa sebagian besar wilayah di dunia.
Sejarah menunjukkan kekacauan akan perang pada akhirnya selalu didampingi dengan penghancuran yang luas atas rumah ibadah, hilangnya nyawa manusia, hancurnya akhlak, keluarga, dan harta benda.
Atas pernyataan berdasarkan fakta tersebut, para ulama yang tergabung dalam forum Mukhtamar Internasional mengatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia, baik muslim ataupun non-muslim serta mengakui adanya persaudaraan antaranak cucu adam.
Persoalan konflik antarumat manusia maupun negara sebetulnya sudah diatur dalam piagam PBB. Namun para ulama mengakui kalau piagam PBB juga masih mengandung masalah hingga saat ini.
Meski demikian piagam PBB yang dimaksudkan sejak awal sebagai upaya mengakhiri perang, karena itu piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi dasar paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fikih baru guna menegakkan peradaban manusia yang damai dan harmonis.
Daripada bercita-cita memadukan seluruh umat Islam dalam negara tunggal, NU memilih jalan lain, mengajak umat Islam untuk menempuh visi baru, yaitu mengembangkan wacana baru tentang fikih.
Wacana itu itu adalah fikih yang dapat mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antargolongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan antarmanusia, budaya, dan bangsa-bangsa. Selain itu juga mendukung tatanan dunia yang adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan hak-hak yang setara dan martabat setiap manusia. Visi seperti inilah yang diyakini NU justru mampu mewujudkan tujuan kokoh syariah.