Karangasem (ANTARA) - Berbicara soal Bali, tak akan luput dari upacara keagamaan yang identik dengan tradisi dan budaya kearifan lokal.
Di sebuah desa bernama Jungutan di Kabupaten Karangasem, Bali, terdapat sebuah museum yang menampilkan rangkaian upacara yang dijalani manusia Hindu Bali dari dalam kandungan hingga meninggal dunia.
Selain itu, di museum dihadirkan kehidupan nyata dan segala kegiatan sehari-hari masyarakat Bali.
Staf operasional Museum Samsara Ida Bagus Wisnawa mengatakan selain sebagai tempat konservasi budaya, mereka juga ingin menjelaskan alasan logis mengapa semua upacara dalam siklus kehidupan itu harus dilakukan oleh masyarakat Hindu di Pulau Dewata itu.
Ketika wisatawan tiba di lokasi itu, pertama mereka akan diberikan kain beserta selendang dan jamu sebagai minuman selamat datang.
Kemudian pengunjung akan melihat proses ngoncang atau menumbuk padi secara tradisional yang dilakukan oleh ibu-ibu sekitar. Setelah itu, pengunjung didampingi oleh pemandu yang akan menjelaskan isi museum dan apa yang ada di sekitarnya.
Objek wisata dan edukasi ini terbentang di areal seluas 80 are atau 8.000 meter persegi, berisi ruang hijau terbuka dan beberapa bangunan tradisional, salah satunya gedung museum yang menjabarkan 14 tahapan upacara pada siklus hidup manusia Bali.
14 tahapan upacara
Tahap pertama dari upacara manusia Bali adalah Ngrujak, yang diberikan kepada wanita yang sedang hamil muda, dengan tujuan memperkuat kehamilan ibu dan mengurangi risiko keguguran.
Beragam buah dicampurkan untuk dikonsumsi pada tahap ini, seperti pisang, delima, pepaya, mangga, belimbing, badung, kecubung, gula aren, dan madu.
Tahap kedua, Magedong-gedongan, yaitu upacara untuk wanita dengan usia kehamilan 3-6 bulan yang bertujuan memurnikan dan menjaga keselamatan janin dan ibu, agar nantinya sang anak lahir menjadi orang yang baik.
Ketiga, setelah bayi lahir dilakukan Nanem Ari-ari, dengan tujuan memohon perlindungan, umur panjang serta keselamatan bagi si bayi, di mana ari-ari dicuci sampai bersih, dibungkus dengan kain kasa, diisi rempah-rempah, dimasukkan ke dalam kelapa lalu dikuburkan.
Selanjutnya Kepus Wedel, yaitu ritual khusus ketika plasenta terlepas dari pusar bayi, biasanya 5-15 hari setelah bayi lahir.
Kelima, Mapag Rare, yaitu penyambutan kepada bayi yang berusia 12 hari sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan.
Keenam, Ngeles Kekambuh, upacara yang dilakukan kepada bayi setelah berusia satu bulan tujuh hari atau 42 hari.
Pada saat bayi berusia tiga bulan atau 105 hari digelar upacara Nelu Bulanin, kemudian pada usia enam bulan digelar Ngenem Bulanin, di mana bayi diizinkan menginjak tanah untuk pertama kalinya.
Tahap kesembilan yaitu Mekutang Rambut, yaitu penanda bahwa bayi telah menjadi manusia sempurna dan pada tahap ini dilakukan upacara pemotongan rambut.
Selanjutnya Semayut Meketus lan Menek Kelih, yaitu upacara yang diberikan untuk anak yang kehilangan gigi pertamanya dan ketika anak menginjak remaja.
Setelah menginjak remaja, anak dapat melakukan upacara Metatah atau dikenal potong gigi, selanjutnya Pawiwahan atau menikah.
Ketika meninggal dunia, manusia Hindu Bali akan dibuatkan upacara Ngaben, dan tahap terakhir dalam siklus hidup adalah Atma Wedana, yaitu upacara untuk menyatukan kembali kepada Sang Pencipta.
Setelah diberi edukasi soal tahapan hidup yang bercermin dari kearifan Desa Jungutan, wisatawan akan diperlihatkan nama-nama dalam pohon keluarga yang menunjukkan bahwa umat Hindu di Bali selalu mencatat asal dan siapa leluhurnya.
Kehidupan masyarakat
Setelah keluar dari gedung, pengunjung akan diajak beraktivitas sambil menyaksikan kehidupan langsung masyarakat yang tinggal di dalam museum.
Dari total 100 orang warga lokal atau 30-40 kepala keluarga yang terlibat, beberapa di antaranya tinggal dan melakukan segala aktivitas di museum itu.
Setelah mendengar proses upacara selama hidup tadi, pengunjung akan dibawa ke dapur khas Bali yang identik dengan ukuran rendah, sehingga harus jongkok atau duduk ketika memasak, dan untuk menyalakan api diperlukan kayu.
Di sana, pemandu akan menjelaskan proses pembuatan arak Bali, mulai dari masyarakat yang mengambil kelapa dengan memanjat pohon langsung, menirakan, proses penyulingan, hingga pengemasan, bahkan pengunjung dapat mencicipi arak produksi Samsara.
“Kalau ingin memasak kami ada kelas memasak dengan membuat tiga resep autentik di Desa Jungutan. Kami tidak menampilkan yang lain karena ingin mengenalkan produk asli seperti sayur liklik, timbungan, dan sate lilit,” ujar Wisnawa, kepada ANTARA.
Untuk memasak penganan tersebut, pengunjung diminta langsung memanen bahan di kebun di areal museum, di mana tanaman sayur dan tanaman upakara tumbuh subur.
Selain itu, banyak lagi aktivitas masyarakat di dalam sana, seperti yoga, menyurat aksara Bali, dan bermain musik khas Bali.
Kegiatan-kegiatan ini juga melibatkan komunitas sekitar, sehingga banyak orang terlibat dan terdampak secara sosial maupun ekonomi.
Rata-rata dalam satu bulan 500 orang berkunjung ke museum itu, di mana 70 persen di antaranya adalah wisawatan mancanegara dan 30 persennya domestik dan lokal.
Museum yang jaraknya sekitar 8 kilometer dari Gunung Agung ini dibuka setiap hari dari pukul 9.00 Wita-16.00 Wita, untuk warga Desa Jungutan tak dikenai biaya
Masyarakat yang beraktivitas di Museum Kehidupan Samsara Bali di Karangasem, Minggu (25/6/2023). ANTARA/Ni Putu Putri Muliantari
masuk, sementara untuk warga Bali dikenakan harga khusus.
Di sebuah desa bernama Jungutan di Kabupaten Karangasem, Bali, terdapat sebuah museum yang menampilkan rangkaian upacara yang dijalani manusia Hindu Bali dari dalam kandungan hingga meninggal dunia.
Selain itu, di museum dihadirkan kehidupan nyata dan segala kegiatan sehari-hari masyarakat Bali.
Staf operasional Museum Samsara Ida Bagus Wisnawa mengatakan selain sebagai tempat konservasi budaya, mereka juga ingin menjelaskan alasan logis mengapa semua upacara dalam siklus kehidupan itu harus dilakukan oleh masyarakat Hindu di Pulau Dewata itu.
Ketika wisatawan tiba di lokasi itu, pertama mereka akan diberikan kain beserta selendang dan jamu sebagai minuman selamat datang.
Kemudian pengunjung akan melihat proses ngoncang atau menumbuk padi secara tradisional yang dilakukan oleh ibu-ibu sekitar. Setelah itu, pengunjung didampingi oleh pemandu yang akan menjelaskan isi museum dan apa yang ada di sekitarnya.
Objek wisata dan edukasi ini terbentang di areal seluas 80 are atau 8.000 meter persegi, berisi ruang hijau terbuka dan beberapa bangunan tradisional, salah satunya gedung museum yang menjabarkan 14 tahapan upacara pada siklus hidup manusia Bali.
14 tahapan upacara
Tahap pertama dari upacara manusia Bali adalah Ngrujak, yang diberikan kepada wanita yang sedang hamil muda, dengan tujuan memperkuat kehamilan ibu dan mengurangi risiko keguguran.
Beragam buah dicampurkan untuk dikonsumsi pada tahap ini, seperti pisang, delima, pepaya, mangga, belimbing, badung, kecubung, gula aren, dan madu.
Tahap kedua, Magedong-gedongan, yaitu upacara untuk wanita dengan usia kehamilan 3-6 bulan yang bertujuan memurnikan dan menjaga keselamatan janin dan ibu, agar nantinya sang anak lahir menjadi orang yang baik.
Ketiga, setelah bayi lahir dilakukan Nanem Ari-ari, dengan tujuan memohon perlindungan, umur panjang serta keselamatan bagi si bayi, di mana ari-ari dicuci sampai bersih, dibungkus dengan kain kasa, diisi rempah-rempah, dimasukkan ke dalam kelapa lalu dikuburkan.
Selanjutnya Kepus Wedel, yaitu ritual khusus ketika plasenta terlepas dari pusar bayi, biasanya 5-15 hari setelah bayi lahir.
Kelima, Mapag Rare, yaitu penyambutan kepada bayi yang berusia 12 hari sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan.
Keenam, Ngeles Kekambuh, upacara yang dilakukan kepada bayi setelah berusia satu bulan tujuh hari atau 42 hari.
Pada saat bayi berusia tiga bulan atau 105 hari digelar upacara Nelu Bulanin, kemudian pada usia enam bulan digelar Ngenem Bulanin, di mana bayi diizinkan menginjak tanah untuk pertama kalinya.
Tahap kesembilan yaitu Mekutang Rambut, yaitu penanda bahwa bayi telah menjadi manusia sempurna dan pada tahap ini dilakukan upacara pemotongan rambut.
Selanjutnya Semayut Meketus lan Menek Kelih, yaitu upacara yang diberikan untuk anak yang kehilangan gigi pertamanya dan ketika anak menginjak remaja.
Setelah menginjak remaja, anak dapat melakukan upacara Metatah atau dikenal potong gigi, selanjutnya Pawiwahan atau menikah.
Ketika meninggal dunia, manusia Hindu Bali akan dibuatkan upacara Ngaben, dan tahap terakhir dalam siklus hidup adalah Atma Wedana, yaitu upacara untuk menyatukan kembali kepada Sang Pencipta.
Setelah diberi edukasi soal tahapan hidup yang bercermin dari kearifan Desa Jungutan, wisatawan akan diperlihatkan nama-nama dalam pohon keluarga yang menunjukkan bahwa umat Hindu di Bali selalu mencatat asal dan siapa leluhurnya.
Kehidupan masyarakat
Setelah keluar dari gedung, pengunjung akan diajak beraktivitas sambil menyaksikan kehidupan langsung masyarakat yang tinggal di dalam museum.
Dari total 100 orang warga lokal atau 30-40 kepala keluarga yang terlibat, beberapa di antaranya tinggal dan melakukan segala aktivitas di museum itu.
Setelah mendengar proses upacara selama hidup tadi, pengunjung akan dibawa ke dapur khas Bali yang identik dengan ukuran rendah, sehingga harus jongkok atau duduk ketika memasak, dan untuk menyalakan api diperlukan kayu.
Di sana, pemandu akan menjelaskan proses pembuatan arak Bali, mulai dari masyarakat yang mengambil kelapa dengan memanjat pohon langsung, menirakan, proses penyulingan, hingga pengemasan, bahkan pengunjung dapat mencicipi arak produksi Samsara.
“Kalau ingin memasak kami ada kelas memasak dengan membuat tiga resep autentik di Desa Jungutan. Kami tidak menampilkan yang lain karena ingin mengenalkan produk asli seperti sayur liklik, timbungan, dan sate lilit,” ujar Wisnawa, kepada ANTARA.
Untuk memasak penganan tersebut, pengunjung diminta langsung memanen bahan di kebun di areal museum, di mana tanaman sayur dan tanaman upakara tumbuh subur.
Selain itu, banyak lagi aktivitas masyarakat di dalam sana, seperti yoga, menyurat aksara Bali, dan bermain musik khas Bali.
Kegiatan-kegiatan ini juga melibatkan komunitas sekitar, sehingga banyak orang terlibat dan terdampak secara sosial maupun ekonomi.
Rata-rata dalam satu bulan 500 orang berkunjung ke museum itu, di mana 70 persen di antaranya adalah wisawatan mancanegara dan 30 persennya domestik dan lokal.
Museum yang jaraknya sekitar 8 kilometer dari Gunung Agung ini dibuka setiap hari dari pukul 9.00 Wita-16.00 Wita, untuk warga Desa Jungutan tak dikenai biaya
masuk, sementara untuk warga Bali dikenakan harga khusus.