Jakarta (ANTARA) - Merawat air adalah merawat kehidupan. Air bersih layak konsumsi seiring waktu semakin langka.
Di tahun 80-an penduduk dapat meminum air langsung dari mata air, sungai yang mengalir di bawahnya, atau sumur. Air bersih begitu berlimpah di zaman itu.
Pantas di masa lampau banyak penduduk desa menyediakan air minum gratis dalam kendi atau gentong di depan rumahnya bagi para pejalan kaki yang lewat. Sajian air minum di warung makan atau restoran pun selalu gratis.
Kisah 30-40 tahun silam itu bagai dongeng. Kini air menjadi semakin mahal. Penduduk di desa terpencil pun harus membeli air bersih.
Restoran dan warung makan yang menyediakan air minum gratis pun semakin sedikit. Entah nanti bagaimana 30-40 tahun ke depan penduduk Bangsa Indonesia memperoleh air bersih layak konsumsi.
Air bersih layak konsumsi semakin terbatas karena air tanah dan air permukaan tercemar sampah, limbah, serta erosi lapisan atas permukaan tanah.
Begitu beratnya pencemaran di tanah, seorang ahli kualitas air mengatakan bahwa air hujan yang ditampung dan diendapkan jauh lebih baik kualitasnya untuk manusia.
Namun, sumber air bersih dari langit itu masuk melewati lapisan tanah yang tercemar atau mengalir membawa tanah yang juga tercemar sampah dan limbah ke selokan, sungai, dan danau.
Menjaga air hujan yang bersih agar tetap bersih saat menjadi air tanah, sungai, dan danau itu relevan karena Indonesia akan menjadi tuan rumah World Water Forum (WWF) di Bali 2024 pada Mei mendatang.
Upaya mengembalikan air tanah, sungai, danau menjadi kembali layak konsumsi bukan sesuatu yang mustahil. Modernisasi dan kemajuan bangsa tidak selalu identik dengan tanah tercemar dan air kotor sebagai dampak modernisasi.
Jepang tetap kaya sumber air bersih meskipun tergolong negara maju. Bahkan ada sebuah anekdot "Jika terjadi banjir, maka selokan di kota-kota di Jepang airnya tetap bersih."
Air tanah, sungai, danau dapat kembali bersih jika tanah kembali sehat bebas dari cemaran limbah, sampah, serta tingkat erosi dapat dikendalikan.
Menyehatkan Tanah
Kunci untuk mengembalikan kualitas air yang baik adalah dengan menyehatkan tanah melalui tiga cara yang harus dilakukan paralel dan bersifat nasional.
Pertama, pengelolaan sampah dan limbah dengan memasukkannya pada sistem ekonomi sirkular yang meniadakan sampah dan limbah pada proses yang sirkular.
Kedua, pengendalian erosi dengan menggaungkan gerakan menutup tanah terbuka dengan vegetasi termasuk rumput di kawasan perkotaan dan pertanian konservasi yang rendah erosi.
Ketiga, memanen air hujan yang turun dari langit. Air hujan merupakan air bersih terutama yang turun setelah hujan pertama. Panen air hujan dapat dilakukan untuk kepentingan manusia langsung maupun untuk mengisi cadangan air tanah.
Panen air untuk kebutuhan rumah tangga atau industri dapat dibuat dengan menampung air dari atap saat hujan di tangki atau tandon.
Sementara panen air hujan untuk cadangan air tanah dan memelihara kelembapan tanah dapat dilakukan dengan membuat biopori atau cekungan-cekungan di lahan agar air meresap ke dalam tanah.
Cara ini pernah terbukti mampu menyehatkan serta menghidupkan tanah-tanah gersang di kawasan timur Indonesia. Cekungan buatan juga dapat mengurangi beban berat sungai-sungai di tanah air.
Tentu upaya itu bukan hal mudah. Saat ini sistem ekonomi sirkular berhadapan dengan sistem ekonomi linear yang masih mengabaikan pengelolaan sampah maupun limbah menjadi produk bernilai ekonomis.
Sistem ekonomi sirkular menerapkan prinsip 5R yang terdiri dari lima unsur yakni: Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), Recycle (mendaur ulang), Refurbish (memperpanjang umur pakai), dan Renew (bahan ramah lingkungan).
Sistem ekonomi sirkular dapat melibatkan asosiasi dan pekerja yang telah bergelut secara informal mendaur ulang sampah sebagai bahan baku.
Saat ini ketika pemerintah berhadapan dengan persoalan timbulan sampah, para asosiasi justeru kekurangan bahan baku asal sampah sehingga terkadang harus mengimpor.
Musababnya bahan baku tercampur dengan sampah organik sehingga tidak layak, demikian pula status sampah di tempat penampungan sampah (TPS) milik pemerintah tidak serta merta dapat dimanfaatkan oleh asosiasi atau pihak swasta.
Pemilahan sampah sejak dari rumah tangga harus didukung oleh pemerintah beserta armada pengangkutannya. Penjadwalan pengangkutan berdasarkan jenis sampah dapat dilakukan. Berikutnya regulasi kepemilikan sampah harus terang benderang agar tidak menjadi persoalan hukum.
Demikian pula pertanian konservasi masih berhadapan dengan pertanian konvensional yang dianggap lebih mudah dan praktis. Pertanian konservasi bertujuan mengurangi air permukaan dan erosi tanah pada lereng yang landai.
Praktik dapat meningkatkan hasil panen karena air tertahan di dalam tanah sehingga kelembapan tanah terjaga terutama daerah kering dan semi kering.
Hasil penelitian mengungkap pertanian konservasi berupa budidaya penanaman sepanjang garis kontur dapat mengurangi air limpasan sebesar 10 persen per tahun dibandingkan budidaya tegak lurus lereng.
Pertanian konservasi dapat mengurangi kehilangan tanah dan kehilangan air masing-masing sebesar 49,5 dan 32 persen di lahan yang curam. Selama ini air yang membawa tanah dari daerah curam ini membuat air sungai keruh.
Namun, upaya harus tetap dilakukan. Saat ini beberapa sungai di Kota Surabaya dan Kota Jakarta yang dahulu hitam dan bau mulai bersih tanpa bau berkat pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dan badan sungai yang membaik.
Semoga sukses-sukses di beberapa sungai tersebut diperluas ke sungai-sungai lain.
Model panen hujan juga tidak dapat diterapkan seragam di setiap lokasi. Pembuatan biopori misalnya hanya cocok di lokasi dengan tanah yang belum jenuh air di daerah dataran sedang dan tinggi.
Sementara, di dataran rendah yang sudah jenuh air biopori tidak lagi cocok karena langsung terisi air dari bawah meskipun tidak hujan.
Mari merawat air dengan menyehatkan tanah dan mengurangi beban sungai. Selamat atas penyelenggaraan World Water Forum di Bali 2024.
*) Penulis adalah Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, BRIN.