Jakarta (antarasulteng.com) - Penjajahan Belanda dan perlawanan yang dilakukan oleh penduduk di berbagai pulau di kawasan antara Benua Asia dan Australia, yang mayoritas beragama Islam, telah membentuk bangsa Indonesia dan melahirkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

"Imperialisme Belanda adalah penjajahan yang menyatukan (uniting imperialism)," kata Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia Van Roijen, awal tahun 1990-an.

Apa yang dikatakan Dubes Belanda itu betul, sebab wilayah Republik Indonesia seperti tertulis dalam UUD 1945 adalah seluruh bekas jajahan pemerintah Hindia Belanda.

Perlawananan terhadap penjajah Belanda dilakukan rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim, hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tercatat dalam buku sejarah tokoh-tokoh pejuang nasional, antara lain Sultan Agung, Imam Bonjol, dan Pangeran Diponegoro.

Pejuang lain adalah Teuku Umar, Tjut Nya Dien, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, Martha Christina Tiahahu, Thomas Matulessy Pattimura dan IG Ngurah Rai.

Sesuai prosentase penduduk, mayoritas perlawanan dilakukan dan dipimpin oleh umat Islam. 

Pertempuran Surabaya November 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, juga dikobarkan Bung Tomo dengan seruan "Allahu Akbar". Orang rela mati berkat panggilan yang mengagungkan asma Allah itu. Belum lagi, jika penjajah Belanda dianggap kafir, maka berperang melawan kafir diyakini sebagai berjihad. 

"Kita mencintai bangsa kita dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita," kata HOS Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam (SI) dalam salah satu rapat akbar SI seperti diungkap buku "Jang Oetama" (Yang Utama), Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto (1882-1934), karya Aji Dedi Mulawarman.

Sementara itu, buku "HOS Tjokroaminoto, Pelopor Pejuang, Guru Bangsa dan Penggerak SI" karya HM Nasruddin Anshory Ch dan Agus Hendratno, mengungkap pendapat Tjokroaminoto bahwa Islam adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan dipersatukan sebagai dasar kebangsaan Indonesia.

Tjokroaminoto adalah guru dari sejumlah tokoh besar yang setelah Indonesia merdeka saling bertentangan, di antaranya Bung Karno, tokoh nasionalis yang kemudian menjadi Presiden pertama RI. Kemudian Musso, pentolan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang memimpin pemberontakan PKI Madiun 1948 dan SM Kartosuwiryo, pimpinan Darul Islam (DI) yang memberontak kepada pemerintah RI.

Musso tewas oleh serangan pasukan TNI dari Divisi Siliwangi. Kartosuwiryo ditangkap tahun 1962 dan dijatuhi hukuman mati sesuai keputusan pengadilan.


Jangan sakiti hati umat Islam

Hariman Siregar, pimpinan gerakan mahasiswa yang melahirkan apa yang terkenal dengan peristiwa Malari (Mala Petaka Januari), 1974, sebuah demonstrasi anti pemerintahah Presiden Soeharto, berpendapat bahwa pemerintah jangan menyakiti hati umat Islam, mayoritas penduduk Indonesia.

"Jangan sakiti hati umat Islam," kata Hariman dalam sambutannya pada peluncuran buku "Bertasawuf Di Zaman Edan" karya Bambang Wiwoho di Jakarta pada 22 November 2016. 

Hariman mengaku pengetahuannya tentang Islam baru sedikit, belajar dari mertuanya, Prof. Sarbini Sumawinta, ekonom UI, orang Sunda yang lahir di Madiun, beraliran Sosialis (PSI) dan pernah menjadi ketua tim ahli politik Jendral Suharto di awal Orde Baru .

Pembangunan, lanjut Hariman, jangan lebih berfokus untuk kepentingan golongan tertentu yang sudah kaya, melainkan untuk kepentingan rakyat, yang mayoritas beragama Islam.

Orang boleh berdebat, suara Islam tidak satu, tapi terbagi dalam berbagai aliran, mahzab dan organisasi. Tapi, bila keyakinan akan tauhid (keesaan Tuhan), kesucian Nabi Muhammad SAW dan kebenaran Al-Quran dilecehkan, maka mayoritas umat Islam, terlepas perbedaan aliran, mahzab dan organisasi, akan bangkit bersatu.

Tjokroaminoto, guru para tokoh pergerakan nasionalis, komunis dan Islam sekaligus, pun segera bangkit membentuk dan memimpin Tentara Kanjeng Nabi Muhammad SAW (TKNM) gara-gara Rasulullah Saw dilecehkan oleh sebuah tulisan di majalah "Jawi Hisworo" yang terbit di Solo awal tahun 1918.

Artikel tersebut membuat umat Islam marah, menyulut reaksi keras dengan pembentukan TKNM tanggal 17 Februari 1918. TKNM berdiri hampir di seluruh Jawa, kecuali Semarang dan Yogyakarta, serta sebagian Sumatera. Gerakan TKNM berhasil menghimpun aksi massa yang melibatkan sekitar 175 ribu orang.

Pak Tjokro, yang tercatat lahir di desa Bakur, kecamatan Sawahan Madiun adalah tokoh Islam terpelajar pada jamannya. Anggota SI disebut mencapai 2,5 juta orang, jumlah terbesar yang pernah dapat diraih sebuah organisasi waktu itu. Karena besarnya jumlah pengikutnya, ia digelari "Raja Jawa Tanpa Mahkota". 

Sebagai jago pidato atau orator ulung yang dapat memukau pendengarnya selama beberapa jam, Pak Tjokro mendapat gelar "Singa Podium". Kemampuan serupa dimiliki oleh sang murid, Bung Karno, yang berani menilai pidato sang guru kurang berwarna alias monoton. 

Orang boleh menyebut tingkat pendidikan mayoritas rakyat Indonesia belum tinggi dan menjadi Muslim karena sangat dipengaruhi emosi (perasaan). Tentang peranan perasaaan, ada pendapat bahwa keimanan penganut agama dan keyakinan apa pun dipengaruhi oleh perasaan. 

Dalam politik praktis, kondisi umat Islam yang mayoritas dianggap masih kurang terpelajar dan belum sejahtera adalah sebuah realitas politik (real politik) yang harus diperhatikan secara seksama oleh para politisi dan penguasa.

Alasannya, mereka adalah sumber suara mayoritas. Jika mau sukses meraih dan mempertahankan kekuasan, umat Islam harus didekati, dirangkul dan diajak berdialog.

Generasi muda penerus Eyang Tjokro sekarang sudah jauh lebih maju. Sudah banyak yang menempuh pendidikan di negara Barat dengan menggondol gelar S3. Generasi "Y" Muslim kini juga menguasai teknologi muthakir dan sanggup menandingi serbuan "Buzzer" yang dianggap merugikan kepentingan umat Islam.

Tentang cinta Tanah Air dan bela negara, di kalangan umat Islam ada semboyan: "Hubbul Wathan Minal Iman" (Mencintai Tanah Air adalah bagian dari Iman). 


*Penulis adalah Wartawan senior, Inisiator/Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa dan Penulis "Jurnalisme Profetik".

Pewarta : Parni Hadi*
Editor : Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2024