Palu (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Pemprov Sulteng) bertekad mencegah pernikahan usia dini secara optimal, sebagai bentuk upaya pemenuhan hak dasar anak dalam tumbuh kembang-nya.
"Salah satu hal dasar anak ialah, anak berhak memperoleh pendidikan yang layak dalam tumbuh kembangnya," ucap Asisten Bidang Administrasi Umum Setda Pemprov Sulteng M Sadly Lesnusa, di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Rabu.
Menurut Sadly, salah satu faktor yang menghambat pendidikan anak, ialah terjadinya pernikahan di usia dini. Pernikahan dini terjadi, salah satu sebabnya karena pergaulan yang tidak terkontrol.
Ia mengakui bahwa pernikahan usia dini di Sulteng cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Tahun 2022, angka perkawinan anak di Sulteng mencapai 12,65 persen.
Tingginya kasus pernikahan dini ini, membuat Sulteng menduduki peringkat ke lima secara nasional.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh BKKBN, pada tahun 2015 angka perceraian di Indonesia sebanyak 350 ribu kasus. Kemudian pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 450 ribu kasus. Sayangnya, dari dua juta lebih pasangan yang menikah dan tercatat secara resmi di pemerintah, angka perceraian di tahun 2021 melonjak menjadi 580 ribu kasus.
Perceraian JUS yang terjadi dalam keluarga, disebabkan oleh adanya sebuah hubungan toksik, di mana pasangan muda tidak dapat mencapai suatu kesepakatan bersama yang berujung pada pertengkaran.
Pertengkaran itu sendiri merupakan dampak dari tidak siapnya pasangan dalam membangun sebuah keluarga. BKKBN menyebut ketidaksiapan itu terjadi karena adanya perkawinan dini dan gangguan mental emosional (emotional mental disorder) yang diderita pada masa remaja.
Akibatnya, banyak perempuan yang terlanjut memiliki anak dan menjadi janda pada usia muda, dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, yakni berada di batas ekonomi miskin dan pendidikannya yang rendah.
Hal ini diperkuat lagi dengan data Kanwil Kemenag Sulteng yang menyebutkan lima daerah dengan angka perkawinan anak tertinggi yakni Parigi Moutong, Buol, Banggai, Tojo Una-una dan Palu.
Pemprov Sulteng meminta kepada semua pihak untuk menyosialisasikan kepada generasi muda bahwa usia ideal menikah adalah 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
"Dampak perkawinan dini sangat merugikan bagi masa depan anak itu sendiri. Di antara dampaknya ialah anak terpaksa putus sekolah, menjadi takut dan malu bergaul karena psikologinya terguncang," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Sadly, pemerintah provinsi telah berkomitmen untuk menghentikan praktek - praktek perkawinan anak dengan pendekatan multisektoral.
"Salah satu hal dasar anak ialah, anak berhak memperoleh pendidikan yang layak dalam tumbuh kembangnya," ucap Asisten Bidang Administrasi Umum Setda Pemprov Sulteng M Sadly Lesnusa, di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Rabu.
Menurut Sadly, salah satu faktor yang menghambat pendidikan anak, ialah terjadinya pernikahan di usia dini. Pernikahan dini terjadi, salah satu sebabnya karena pergaulan yang tidak terkontrol.
Ia mengakui bahwa pernikahan usia dini di Sulteng cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Tahun 2022, angka perkawinan anak di Sulteng mencapai 12,65 persen.
Tingginya kasus pernikahan dini ini, membuat Sulteng menduduki peringkat ke lima secara nasional.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh BKKBN, pada tahun 2015 angka perceraian di Indonesia sebanyak 350 ribu kasus. Kemudian pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 450 ribu kasus. Sayangnya, dari dua juta lebih pasangan yang menikah dan tercatat secara resmi di pemerintah, angka perceraian di tahun 2021 melonjak menjadi 580 ribu kasus.
Perceraian JUS yang terjadi dalam keluarga, disebabkan oleh adanya sebuah hubungan toksik, di mana pasangan muda tidak dapat mencapai suatu kesepakatan bersama yang berujung pada pertengkaran.
Pertengkaran itu sendiri merupakan dampak dari tidak siapnya pasangan dalam membangun sebuah keluarga. BKKBN menyebut ketidaksiapan itu terjadi karena adanya perkawinan dini dan gangguan mental emosional (emotional mental disorder) yang diderita pada masa remaja.
Akibatnya, banyak perempuan yang terlanjut memiliki anak dan menjadi janda pada usia muda, dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, yakni berada di batas ekonomi miskin dan pendidikannya yang rendah.
Hal ini diperkuat lagi dengan data Kanwil Kemenag Sulteng yang menyebutkan lima daerah dengan angka perkawinan anak tertinggi yakni Parigi Moutong, Buol, Banggai, Tojo Una-una dan Palu.
Pemprov Sulteng meminta kepada semua pihak untuk menyosialisasikan kepada generasi muda bahwa usia ideal menikah adalah 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
"Dampak perkawinan dini sangat merugikan bagi masa depan anak itu sendiri. Di antara dampaknya ialah anak terpaksa putus sekolah, menjadi takut dan malu bergaul karena psikologinya terguncang," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Sadly, pemerintah provinsi telah berkomitmen untuk menghentikan praktek - praktek perkawinan anak dengan pendekatan multisektoral.