Palu (ANTARA) -
Maraknya aksi klaimer yang mengaku sebagai pemiliki lahan dan turut memanen di lahan Perkebunan PT Agro Nusa Abadi (ANA) menjadi salah satu faktor berlarutnya proses pengurusan HGU.
 
“Perilaku para klaimer dengan memanen buah dari pohon yang ditanam PT ANA di wilayah operasionalnya merupakan salah satu tindakan ilegal karena hal tersebut diatur dalam pasal 107 UU Perkebunan huruf D yang menyatakan bahwa setiap orang yang secara tidak sah memanen dan/atau memungut hasil perkebunan yang bukan menjadi haknya dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp4 miliar,” kata Dr Sadino, Pakar hukum kehutanan dan perkebunan.
 
Menilik fakta yang ada di lapangan, bahwa PT ANA sudah beroperasi dan mempunyai IUP sebelum tahun 2015. 
 
Maka dari itu, Sadino menjelaskan bahwa PT ANA secara hukum legal untuk beroperasi dan melakukan kegiatan operasionalnya meskipun saat ini proses penyelesaian HGU sedang berlangsung.
 
Sebaliknya menurut pakar hukum ini, apa yang dilakukan para klaimer dengan memanen buah di wilayah operasional PT ANA adalah tindakan yang ilegal.
 
Sebelumnya, mengutip dari salah satu media online di Sulawesi, mengacu pada surat edaran no: 300/714/setdaprov tentang ketertiban dan keamanan wilayah perkebunan PT ANA, seorang klaimer mengatakan bahwa seharusnya kebijakan tersebut berlaku juga untuk PT ANA yang notabene tidak memiliki HGU sebagai landasan berjalannya aktivitas perkebunan sebagaimana putusan MK No 138 tahun 2015 dan mendesak pemerintah untuk menghentikan seluruh kegiatan operasional PT ANA, karena sertifikat HGU memang keharusan.
 
“Tetapi perlu diketahui bahwa UU tidak berlaku surut,” tegas Sadino, sekaligus dosen yang masih aktif mengajar di kampus-kampus dan seminar ini menyampaikan bahwa semua pihak harus mengingat bahwa ketentuan tentang HGU itu mengalami perkembangan. 
 
Menurutnya, semula syarat usaha perkebunan harus mempunyai Ijin Usaha Perkebunan (IUP) dan atau hak atas tanah (HGU). 
 
Ketentuan ini merujuk pada UU Perkebunan Nomor 39 tahun 2014, terutama pasal 42 namun kemudian diubah putusan Mahkamah Konstitusi No. 138 tahun 2015 menjadi mempunyai IUP dan HGU. 
 
"Putusan MK ini berlaku untuk perusahaan yang IUP-nya terbit setelah keputusan MK itu keluar. Bagi perusahaan yang IUP-nya terbit sebelum putusan MK tahun 2016, jika telah memiliki IUP, sudah cukup dan dapat melakukan aktivitas perkebunan," tegasnya lagi. 
 
Ia menambahkan, kebijakan tersebut berlaku bagi setiap perusahaan, tidak terkecuali PT ANA. 
 
Community Development Area Manager Group Astra Agro Area Sulawesi Tengah, Oka Arimbawa sepakat dan menegaskan bahwa PT ANA berkomitmen dengan ketentuan yang berlaku. 
 
Itu sebabnya, menurut Oka, PT ANA sangat serius mengurus sertifikat HGU, dan prosesnya masih terus berlangsung.
 
Ia juga menjelaskan, bahwa PT ANA masuk ke Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah sejak tahun 2006 silam. 
 
“Saat itu Bupati Morowali datang langsung ke kantor kami di Jakarta. Bupati mengundang kami untuk berinvestasi di Morowali,” katanya. 
 
Ia mengemukakan, izin-izin sebagai persyaratan beroperasi seperti ilok (ijin lokasi), ijin usaha perkebunan (IUP), izin pembukaan lahan, bahkan Amdal sudah diperoleh PT ANA. 
 
Perusahaan melakukan pembukaan lahan, areal hutan berawa disulap menjadi hamparan lahan yang siap tanam. Tepatnya tahun 2010 setelah lahan dibersihkan dan ditanam kelapa sawit, lahan yang tadinya berupa rawa belukar, berubah menjadi hamparan tanah lapang yang sudah ditanami sawit.
 
“Kondisi lahan kala itu berupa rawa belukar, yang tak seorang pun datang mengklaim bahwa hutan rawa belukar itu adalah miliknya,” jelas Oka. (*)

Pewarta : -
Editor : Mohamad Ridwan
Copyright © ANTARA 2024