Pemprov Sulteng urai benang kusut klaim lahan dan dorong proses HGU perusahaan sawit PT ANA

id Sawit, perkebunan sawit, PT ANA, konflik agraria, sulteng

Pemprov Sulteng urai benang kusut klaim lahan dan dorong proses HGU perusahaan sawit PT ANA

Dokumentasi - Perkebunan kelapa sawit. ((FOTO ANTARA))

Kolonodale, Sulteng (ANTARA) - Benang kusut tumpang tindih lahan di perusahaan perkebunan sawit PT Agro Nusa Abadi (ANA) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah telah merugikan berbagai pihak, karena kompleksitas masalahnya tak kunjung selesai.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah (Sulteng) pun turun tangan berupaya mengurai menggunakan skema win-win solution bagi seluruh pemangku kepentingan.

“Mediasi adalah jalan yang baik untuk memastikan hak-hak pemilik lahan,” kata Ridha Saleh, tokoh di Sulawesi Tengah yang terlibat aktif dalam proses penyelesaian lahan PT ANA, beberapa waktu lalu.

Berdasar surat rekomendasi Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 590/412/SEKDAPROV tanggal 28 November 2022 untuk fasilitasi sengketa lahan perkebunan antara masyarakat dan pihak perusahaan, Pemprov menindaklanjuti dengan pembentukan tim verifikasi dan validasi pada izin lokasi PT ANA bersama dengan Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, dan Desa.

Ketika itu tim dipimpin oleh Tenaga Ahli Bidang Kemasyarakatan dan HAM Ridha Saleh. Tim verifikasi dan validasi ini mendapatkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah untuk segera mencapai resolusi konflik yang diharapkan oleh seluruh pihak.

Sejumlah tantangan besar dihadapi tim verifikasi mengingat kesulitan dalam melakukan validasi kepemilikan dokumen lahan.

Sementara di lapangan, oknum-oknum masyarakat yang mengaku memiliki lahan (klaimer), terus melakukan tindakan sesuai dengan jalan pikirannya, mereka mencoba menguasai lahan, memaksa panen buah sawit dari pohon yang ditanam perusahaan.

Bahkan, oknum klaimer yang tidak segan menggunakan kekerasan itu juga makin meresahkan para petani plasma. Selain menguasai blok-blok yang dikelola perusahaan, seolah tidak mengindahkan rekomendasi dan langkah Pemprov Sulteng, mereka masuk ke kebun-kebun plasma.

Seperti diketahui, PT ANA membangun kebun plasma yang diperuntukkan demi kesejahteraan masyarakat setempat.

Salah satu pimpinan petani plasma yang juga menjadi Ketua Koperasi Bunga Sawit Desa Bunta, Seprianus Nggaluku mengatakan bahwa klaimer tidak berhak atas lahan tersebut. Apalagi, menurut Seprianus, petani plasma bisa menunjukkan bukti kepemilikan mereka atas lahan tersebut.

Bukti-bukti tersebut, diantaranya, SK Bupati Morowali Utara No.188.45/KEP-B.MU/0213/IX/2016.

“Pada kenyataannya, klaimer ini yang merampas hak petani plasma memanen buah sawit milik petani plasma yang diberikan oleh PT ANA ke petani plasma Desa Bunta,” katanya.

Di luar kebun-kebun plasma yang sudah dibangun PT ANA itu pun, Pemprov merekomendasikan pelepasan sebagian lahan yang tengah dikelola PT ANA.

Camat Petasia Timur Mustatin mengatakan PT ANA akan melepaskan lahan mereka untuk diberikan kepada petani plasma. Dengan begitu resolusi atas konflik dapat segera terselesaikan.

“Melalui kesepakatan bersama, PT ANA menyetujui pelepasan lahan 659 hektar di kecamatan Petasia Timur,” ujar Mustatin.

Namun menurutnya, proses ini tentu sangat memerlukan pengawalan ketat dari kepolisian dan pihak terkait. Tujuannya untuk menjamin stabilitas keamanan di Desa yang sering disusupi oleh masyarakat dari luar yang ingin melakukan pemaksaan dalam menguasai lahan dan memanen sawit dari pohon yang ditanam perusahaan.

Senada dengan hal tersebut, Kepala Desa Bungintimbe Kecamatan Petasia Timur Musniati juga menyampaikan agar tidak gegabah dalam melakukan verifikasi dan validasi. Sebab, banyak penggugat yang mengklaim di atas lahan yang sama sehingga menciptakan konflik horizontal antar sesama masyarakat.

Itu sebabnya, Kepala Desa Bungintimbe Musniati dan Kepala Desa Bunta Christo Lolo sepakat untuk mengajukan permohonan pengamanan kepada kepolisian setempat hingga proses pelepasan lahan dilakukan dan tercapai kesepakatan bersama terkait pengelolaan plasma.

Mediasi jalan terbaik

Ridha Saleh mengungkapkan bahwa eskalasi konflik di PT ANA semakin agresif akibat kehadiran kawasan industri.

Pria yang intens mengawal proses resolusi di Morowali Utara itu menyebutkan bahwa kawasan industri juga tumpang tindih dengan areal konsesi perusahaan kelapa sawit sehingga persoalan semakin rumit. Kondisi ini diperparah dengan tindakan oknum spekulan tanah yang mengakibatkan harga tanah melambung tinggi.

“Eskalasi konflik (di Morowali Utara) semakin agresif juga ada faktor kehadiran kawasan industri,” ucapnya.

Dalam hal lahan dan masyarakat, menurut Ridha PT ANA tentu saja memiliki kewajiban membangun perkebunan plasma bagi masyarakat, namun luasan di masing-masing desa akan bervariasi sesuai dengan kesepakatan bersama.

Menurutnya, upaya yang telah dilakukan bersama telah berjalan dengan baik karena penyelesaian dilakukan dari bawah ke atas, kemudian mediasi harus terus dilakukan.

“Petani plasma bisa aktif kembali, serta buruh bisa produksi lagi dan jalan seperti biasa. Prosesnya saat ini terus berjalan. Pada rapat terakhir, BPN menginformasikan HGU tahap pertama kemungkinan akan disetujui,” katanya.

Secara berkesinambungan telah mengikuti tahapan-tahapan yang berlaku dan patuh pada peraturan yang telah ditetapkan gubernur.

Berdasarkan laporan verifikasi Econusantara (ENS), awal kehadiran PT ANA di Sulteng bermula dari undangan pemerintah daerah. PT ANA menerima undangan investasi dari Pemerintah Kabupaten Morowali pada awal tahun 2006. Sebagai tindak lanjutnya, perusahaan melakukan pengurusan HGU pertama kali dimulai sejak tahun 2007. Saat ini masih berproses menunggu terbitnya Risalah Panitia B dan Rekomendasi Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulawesi Tengah atas penerbitan Surat Keputusan HGU.

Pada tahun 2011, PT ANA telah mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP). Hasil investigasi ENS, PT ANA belum memiliki HGU akibat sengketa tanah yang belum terselesaikan. Kompleksitas masalah ini juga tampak dari hasil validasi dan verifikasi objek lahan yang berbeda-beda setiap kali dilakukan serta kurangnya kejelasan mengenai batas dan penanda batas lahan.

Pakar Hukum Kehutanan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Hotman Sitorus menegaskan bahwa penerbitan sertifikat HGU memang melalui sebuah proses yang panjang. Setelah diterbitkannya ijin lokasi (Ilok) lalu dilanjutkan dengan proses penerbitan IUP maka berdasarkan aturan semua pihak yang sebelumnya memiliki lahan tersebut sudah tidak memiliki hak lagi, dan hak tersebut telah beralih pada pemilik IUP.

"UU Perkebunan 39/2014 pasal 42 secara tegas mengatur syarat berkebun adalah mempunyai IUP atau HGU kemudian diubah putusan MK No. 138/2015 menjadi mempunyai IUP dan HGU. Tetapi harus dipahami bahwa putusan MK ini hanya berlaku perusahaan yang IUP-nya terbit setelah putusan MK tahun 2015 sedangkan bagi perusahaan yang IUP-nya terbit sebelum putusan MK tahun 2015 syaratnya adalah cukup mempunyai IUP,” tegasnya.

Lebih lanjut Hotman juga menyoroti berbagai kasus konflik agraria yang disebabkan oleh kisruh akibat banyaknya Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang dimiliki masyarakat.

Menurutnya, SKT yang dikeluarkan oleh pemerintah desa tersebut harus ditertibkan. Tidak hanya berimplikasi pada semakin lamanya proses alih fungsi lahan, dikhawatirkan juga memicu terjadinya konflik antar masyarakat.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Ekologi Nusantara Lestari (EKONESIA) Azmi Sirajudin pun menyampaikan bahwa masalah klaim lahan yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit PT ANA di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah harus dilihat secara holistik.

Hal ini terkait dengan berbagai aspek dan unsur yang saling bersinggungan, baik dari sisi perusahaan, masyarakat, petani, dan pemerintah daerah.

Oleh karena itu diharapkan, rekomendasi dari Pemprov Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Morowali Utara mengenai distribusi lahan sekitar 659 hektare di Desa Bungintimbe dan 282 hektare di Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur dapat segera dilaksanakan.

"Kami berharap dengan adanya komunikasi dan penyelesaian yang melibatkan semua pihak, konflik agraria di Morowali Utara dapat diselesaikan secara damai dan berkeadilan," katanya.

Memang, perbedaan kepentingan sangat mungkin terjadi. Kendati demikian, semua pihak, baik masyarakat, LSM, juga perusahaan diharapkan berpikir dan bersikap konstruktif sehingga proses penyelesaian lahan berjalan lancar serta menemukan solusi terbaik.