Jakarta (ANTARA) - Irak yang menjadi lawan Indonesia dalam perebutan tempat ketiga Piala Asia U23 2024 di Stadion Abdullah bin Khalifa, Kamis malam esok, sepertinya tidak sekuat Uzbekistan yang kini jelas menjadi calon terkuat menjuarai turnamen yang keenam kali diselenggakarakan ini.
Sama dengan Garuda Muda, Irak sudah kalah dua kali, menjaringkan tujuh gol dan tujuh kali kebobolan.
Kedua tim terlihat seimbang, sehingga untuk itu, kedua semifinalis yang gagal masuk final tersebut memiliki kemungkinan untuk menang dan kalah yang sama besarnya.
Salah satu yang bisa dipelajari tim asuhan Shin Tae-yong adalah bagaimana Irak kalah dua kali dalam turnamen ini.
Kekalahan pertama Irak terjadi dalam fase grup melawan Thailand, yang menang 2-0. Waktu itu Irak menjadi tim yang dominan, baik dalam penciptaan peluang, penguasaan bola, maupun akurasi umpan.
Tetapi, Thailand lebih klinis. Mereka menciptakan 3 peluang tepat sasaran yang dua di antaranya menjadi gol, dari total 7 tembakan ke arah gawang.
Jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan Irak yang membuat 23 tembakan yang 5 di antaranya tepat sasaran.
Dari situ terlihat, tim pertahanan Thailand lebih efektif ketimbang ketajaman tim serang Irak.
Sebaliknya, saat kalah 0-2 dari Jepang dalam semifinal, Irak menjadi tim yang kalah dalam segala ukuran.
Irak kalah dalam menciptakan peluang, penguasaan bola dan akurasi umpan. Mereka lebih wajar kalah dari pada saat menghadapi Thailand ketika mereka menjadi tim yang kurang beruntung.
Dua kekalahan itu terjadi ketika Irak memasang dua formasi berbeda.
Dalam soal formasi bermain, Irak sering bongkar pasang pemain tidak seperti Indonesia dan Uzbekistan yang setia pada formasi yang sama selama turnamen di Qatar ini berlangsung.
Selama fase grup, Irak memang loyal kepada pola 4-2-3-1, tapi begitu masuk fase gugur mengubahnya menjadi 4-4-2 sewaktu mengalahkan Vietnam dalam perempat final, dan 3-4-3 ketika menyerah kepada Jepang dalam semifinal.
Australia yang tampil dominan saat dijungkalkan 0-1 oleh Garuda Muda pada fase grup, juga memanfaatkan lebar lapangan yang tercipta karena formasi yang dipasang Indonesia.
Untungnya Australia tak berhasil, khususnya karena kecemerlangan kiper Ernando Ari. Sebaliknya Uzbekistan berhasil, walau sepanjang babak pertama kesulitan merobek pertahanan Garuda Muda.
Uniknya, Irak U23 juga tim yang lebih sering bermanuver dari sayap.
Enam dari tujuh gol yang mereka ciptakan selama turnamen ini juga berawal dari manuver di sayap, termasuk dua penalti yang dipicu oleh pergerakan kedua sayap mereka yang memaksa pemain bertahan lawan membuat pelanggaran di dalam kotak penalti.
Dalam soal ini, Ali Jasim yang menempati sektor kiri serangan Irak, sebagaimana Marselo Ferdinan dalam skuad Garuda Muda, menjadi ancaman terbesar yang dihadapi skuad Indonesia U23.
Halaman berikut: Mengantisipasi kemungkinan Irak tiru Uzbekistan
Keberhasilan Uzbekistan dalam memaksimalkan formasi 4-2-3-1 sehingga menjinakkan Indonesia dalam semifinal menjadi referensi penting bagi Irak.
Dan jika referensi itu dipakai pelatih Radhi Shenaishil untuk skuad Irak U23, maka bukan tak mungkin Shin Tae-yong beralih kepada formasi lain, termasuk pola bermain Thailand ketika menaklukkan Irak 2-0 dalam fase grup.
Walau sama-sama menggunakan 4-2-3-1, lini pertahanan Thailand lebih tangguh ketimbang Irak, sementara unit serangnya lebih klinis dari pada Irak. Dalam beberapa hal, Thailand mirip dengan Indonesia.
Jika formasi Thailand itu yang ditiru, maka Rafael Struick menjadi ujung tombak tunggal di depan seorang penyerang kedua yang berdiri paralel dengan Marselino di sayap kiri dan Witan Sulaeman di sayap kanan, sedangkan Nathan Tjoe-A-On dan Ivar Jenner menjadi jangkar di tengah.
Namun cara Jepang mengalahkan Irak dalam partai semifinal tak kalah menggoda, bahkan mungkin lebih sesuai untuk Indonesia.
Jepang memasang formasi 4-4-2 ketika mengalahkan Irak. Formasi ini membuat pertahanan menjadi kuat di seluruh lini, selain menciptakan keseimbangan dan perlindungan dari tekanan lawan baik, mulai dari tengah maupun di daerah pertahanan.
Formasi ini juga menghadirkan keseimbangan sehingga tim bisa cepat bertransisi, khususnya ketika harus melancarkan serangan balik.
Jika ini yang dipilih Shin Tae-yong, maka Struick bisa diduetkan dengan Ramadhan Sananta sebagai ujung tombak kembar di belakang empat gelandang; Nathan dan Ivar di tengah, dan Marselino-Witan di sayap.
Tentu saja ini cuma hitung-hitungan di atas kertas.
Shin Tae-yong pastinya jauh lebih tahu formula apa yang harus disuntikkan kepada skuadnya, apalagi pemain-pemainnya kini sudah berpengalaman banyak dalam menghadapi berbagai tim kuat dengan corak bermain berbeda-beda.
Garuda Muda sudah mengalahkan tiga tim yang berperingkat lebih tinggi dari mereka, yang dua di antaranya juga di atas Irak (Australia dan Korea Selatan) dan sebuah tim Timur Tengah (Yordania) seperti halnya Irak.
Ini membantu skuad Garuda menjadi kian kaya wawasan sehingga laga perebutan tempat ketiga guna meraih tiket otomatis lolos Olimpiade Paris 2024, bisa didekati dengan formula tepat agar hasil yang didapat positif untuk Indonesia.
Halaman berikut: Kemungkinan timnas Indonesia mengbah formasi Ubah formasi?
Formasi 4-2-3-1 pun tak selalu membuahkan hasil, karena Thailand yang memasang formasi sama saat fase grup malah sukses mengatasi Irak, walau menjadi tim yang lebih tertekan.
Keuntungan formasi ini adalah pemain berkesempatan bermanuver ke dalam pertahanan lawan dan leluasa bergerak dalam lebar lapangan dengan lebih sering, dan membuat transisi serangan dan bertahan berjalan dengan cepat, selain membuat lini tengah stabil.
Apakah Indonesia yang setia pada formasi 3-4-3 perlu meniru Thailand guna melumpuhkan Irak? Terlebih Shin Tae-yong kehilangan Rizky Ridho yang merupakan stabilisator trio bek tengah bersama Justin Hubner dan Muhammad Ferari.
Komang Teguh bisa membuat Shin tak memiliki alasan mengganti formasi tiga bek tengah itu.
Masalahnya, bagaimana jika Irak belajar dari Uzbekistan dalam membongkar struktur permainan seperti itu?
Dalam skenario ini, Irak bisa kembali mengadopsi pola 4-2-3-1 seperti dalam tiga pertandingan fase grup dan seperti selama ini digunakan Uzbekistan yang sukses menghentikan perjalanan Indonesia.
Salah satu kekurangan formasi 3-4-3 adalah terciptanya ruang besar di lebar lapangan. Kondisi ini rentan terekspos ketika menghadapi tim yang menaruh lima gelandang dalam formasi 4-2-3-1 dan variasi-variasinya.
Dominasi Uzbekistan dalam semifinal lawan Garuda Muda adalah bukti sempurna untuk hal ini. Mereka merajalela di kedua sisi lapangan, bahkan gol pertama Uzbekistan ke gawang Indonesia berawal dari pergerakan sayap akibat ruang besar di sisi lapangan.
Sama dengan Garuda Muda, Irak sudah kalah dua kali, menjaringkan tujuh gol dan tujuh kali kebobolan.
Kedua tim terlihat seimbang, sehingga untuk itu, kedua semifinalis yang gagal masuk final tersebut memiliki kemungkinan untuk menang dan kalah yang sama besarnya.
Salah satu yang bisa dipelajari tim asuhan Shin Tae-yong adalah bagaimana Irak kalah dua kali dalam turnamen ini.
Kekalahan pertama Irak terjadi dalam fase grup melawan Thailand, yang menang 2-0. Waktu itu Irak menjadi tim yang dominan, baik dalam penciptaan peluang, penguasaan bola, maupun akurasi umpan.
Tetapi, Thailand lebih klinis. Mereka menciptakan 3 peluang tepat sasaran yang dua di antaranya menjadi gol, dari total 7 tembakan ke arah gawang.
Jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan Irak yang membuat 23 tembakan yang 5 di antaranya tepat sasaran.
Dari situ terlihat, tim pertahanan Thailand lebih efektif ketimbang ketajaman tim serang Irak.
Sebaliknya, saat kalah 0-2 dari Jepang dalam semifinal, Irak menjadi tim yang kalah dalam segala ukuran.
Irak kalah dalam menciptakan peluang, penguasaan bola dan akurasi umpan. Mereka lebih wajar kalah dari pada saat menghadapi Thailand ketika mereka menjadi tim yang kurang beruntung.
Dua kekalahan itu terjadi ketika Irak memasang dua formasi berbeda.
Dalam soal formasi bermain, Irak sering bongkar pasang pemain tidak seperti Indonesia dan Uzbekistan yang setia pada formasi yang sama selama turnamen di Qatar ini berlangsung.
Selama fase grup, Irak memang loyal kepada pola 4-2-3-1, tapi begitu masuk fase gugur mengubahnya menjadi 4-4-2 sewaktu mengalahkan Vietnam dalam perempat final, dan 3-4-3 ketika menyerah kepada Jepang dalam semifinal.
Australia yang tampil dominan saat dijungkalkan 0-1 oleh Garuda Muda pada fase grup, juga memanfaatkan lebar lapangan yang tercipta karena formasi yang dipasang Indonesia.
Untungnya Australia tak berhasil, khususnya karena kecemerlangan kiper Ernando Ari. Sebaliknya Uzbekistan berhasil, walau sepanjang babak pertama kesulitan merobek pertahanan Garuda Muda.
Uniknya, Irak U23 juga tim yang lebih sering bermanuver dari sayap.
Enam dari tujuh gol yang mereka ciptakan selama turnamen ini juga berawal dari manuver di sayap, termasuk dua penalti yang dipicu oleh pergerakan kedua sayap mereka yang memaksa pemain bertahan lawan membuat pelanggaran di dalam kotak penalti.
Dalam soal ini, Ali Jasim yang menempati sektor kiri serangan Irak, sebagaimana Marselo Ferdinan dalam skuad Garuda Muda, menjadi ancaman terbesar yang dihadapi skuad Indonesia U23.
Halaman berikut: Mengantisipasi kemungkinan Irak tiru Uzbekistan
Keberhasilan Uzbekistan dalam memaksimalkan formasi 4-2-3-1 sehingga menjinakkan Indonesia dalam semifinal menjadi referensi penting bagi Irak.
Dan jika referensi itu dipakai pelatih Radhi Shenaishil untuk skuad Irak U23, maka bukan tak mungkin Shin Tae-yong beralih kepada formasi lain, termasuk pola bermain Thailand ketika menaklukkan Irak 2-0 dalam fase grup.
Walau sama-sama menggunakan 4-2-3-1, lini pertahanan Thailand lebih tangguh ketimbang Irak, sementara unit serangnya lebih klinis dari pada Irak. Dalam beberapa hal, Thailand mirip dengan Indonesia.
Jika formasi Thailand itu yang ditiru, maka Rafael Struick menjadi ujung tombak tunggal di depan seorang penyerang kedua yang berdiri paralel dengan Marselino di sayap kiri dan Witan Sulaeman di sayap kanan, sedangkan Nathan Tjoe-A-On dan Ivar Jenner menjadi jangkar di tengah.
Namun cara Jepang mengalahkan Irak dalam partai semifinal tak kalah menggoda, bahkan mungkin lebih sesuai untuk Indonesia.
Jepang memasang formasi 4-4-2 ketika mengalahkan Irak. Formasi ini membuat pertahanan menjadi kuat di seluruh lini, selain menciptakan keseimbangan dan perlindungan dari tekanan lawan baik, mulai dari tengah maupun di daerah pertahanan.
Formasi ini juga menghadirkan keseimbangan sehingga tim bisa cepat bertransisi, khususnya ketika harus melancarkan serangan balik.
Jika ini yang dipilih Shin Tae-yong, maka Struick bisa diduetkan dengan Ramadhan Sananta sebagai ujung tombak kembar di belakang empat gelandang; Nathan dan Ivar di tengah, dan Marselino-Witan di sayap.
Tentu saja ini cuma hitung-hitungan di atas kertas.
Shin Tae-yong pastinya jauh lebih tahu formula apa yang harus disuntikkan kepada skuadnya, apalagi pemain-pemainnya kini sudah berpengalaman banyak dalam menghadapi berbagai tim kuat dengan corak bermain berbeda-beda.
Garuda Muda sudah mengalahkan tiga tim yang berperingkat lebih tinggi dari mereka, yang dua di antaranya juga di atas Irak (Australia dan Korea Selatan) dan sebuah tim Timur Tengah (Yordania) seperti halnya Irak.
Ini membantu skuad Garuda menjadi kian kaya wawasan sehingga laga perebutan tempat ketiga guna meraih tiket otomatis lolos Olimpiade Paris 2024, bisa didekati dengan formula tepat agar hasil yang didapat positif untuk Indonesia.
Halaman berikut: Kemungkinan timnas Indonesia mengbah formasi Ubah formasi?
Formasi 4-2-3-1 pun tak selalu membuahkan hasil, karena Thailand yang memasang formasi sama saat fase grup malah sukses mengatasi Irak, walau menjadi tim yang lebih tertekan.
Keuntungan formasi ini adalah pemain berkesempatan bermanuver ke dalam pertahanan lawan dan leluasa bergerak dalam lebar lapangan dengan lebih sering, dan membuat transisi serangan dan bertahan berjalan dengan cepat, selain membuat lini tengah stabil.
Apakah Indonesia yang setia pada formasi 3-4-3 perlu meniru Thailand guna melumpuhkan Irak? Terlebih Shin Tae-yong kehilangan Rizky Ridho yang merupakan stabilisator trio bek tengah bersama Justin Hubner dan Muhammad Ferari.
Komang Teguh bisa membuat Shin tak memiliki alasan mengganti formasi tiga bek tengah itu.
Masalahnya, bagaimana jika Irak belajar dari Uzbekistan dalam membongkar struktur permainan seperti itu?
Dalam skenario ini, Irak bisa kembali mengadopsi pola 4-2-3-1 seperti dalam tiga pertandingan fase grup dan seperti selama ini digunakan Uzbekistan yang sukses menghentikan perjalanan Indonesia.
Salah satu kekurangan formasi 3-4-3 adalah terciptanya ruang besar di lebar lapangan. Kondisi ini rentan terekspos ketika menghadapi tim yang menaruh lima gelandang dalam formasi 4-2-3-1 dan variasi-variasinya.
Dominasi Uzbekistan dalam semifinal lawan Garuda Muda adalah bukti sempurna untuk hal ini. Mereka merajalela di kedua sisi lapangan, bahkan gol pertama Uzbekistan ke gawang Indonesia berawal dari pergerakan sayap akibat ruang besar di sisi lapangan.