Jakarta (ANTARA) - Beberapa hari belakangan ini Jakarta masuk ke dalam peringkat 50 besar kota dengan udara buruk di dunia yang tentunya menjadi keprihatinan bagi warga DKI Jakarta untuk lebih peduli terhadap kondisi lingkungan.
Indeks Kualitas Udara (AQI) pada Sabtu (15/6) misalnya, mencatat kualitas udara Jakarta berada pada poin 106 dengan tingkat konsentrasi polutan PM 2,5 sebesar 40,4 mikrogram per meter kubik atau 8,1 kali lebih tinggi nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Banyak faktor yang memengaruhi kualitas udara di Jakarta sehingga belum memperlihatkan kondisi membaik. Salah satunya adalah fenomena alam berupa arah angin dari timur yang membawa udara kering. Fenomena alam ini memang kerap terjadi pada bulan Juni hingga Agustus.
Kemudian faktor lain yang tidak kalah penting dalam memberikan kontribusi pencemaran udara adalah emisi kendaraan bermotor dan bangunan gedung yang boros energi. Gedung yang boros energi (listrik) secara tidak langsung menyumbang emisi karena pembangkit di Indonesia masih berbahan bakar batubara (fosil).
Dengan demikian, apabila Jakarta ingin menjadi kota yang memiliki udara bersih maka tiga faktor penyebab ini secara bertahap harus dibenahi. Sebagai contoh untuk fenomena alam, maka langkah terbaik adalah dengan memperbaiki lingkungan yakni dengan memperbanyak pohon dan memperluas area hutan bakau (mangrove) di kawasan pesisir.
Lantas untuk menekan emisi kendaraan bermotor, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus segera memperbanyak jaringan transportasi publik. Ketersediaan transportasi publik ini harus mampu mengejar laju pertumbuhan penduduk terutama di daerah penyangga.
Seperti diketahui kepadatan lalu lintas yang kerap menghiasi pada jam kerja disebabkan pergerakan penduduk yang bertempat tinggal di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) menuju Ibu Kota. Dengan kian banyaknya warga yang bekerja dan bersekolah di Jakarta, praktis perlu kebijakan di bidang transportasi agar persoalan kemacetan dapat diatasi.
Terakhir untuk bangunan gedung, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus gencar menyosialisasikan kepada pemilik untuk menerapkan bahan bangunan yang lebih ramah lingkungan sehingga tidak lagi "boros" dalam mengkonsumsi energi.
Dari tiga solusi ini tentunya tidak semuanya menjadi tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta. Peran stakeholders (badan usaha, perguruan tinggi, tokoh masyarakat) menjadi sangat krusial untuk melakukan perubahan sehingga kebijakan penanganan kualitas udara dapat berjalan mulus.
Akhir-akhir ini sudah banyak pihak yang ingin membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai bentuk kepedulian untuk mengatasi kualitas udara. Seperti TNI dan Polri yang pernah berkolaborasi dengan pemerintah administrasi di DKI Jakarta untuk memanfaatkan lahan kosong dan pekarangan rumah untuk ditanam aneka tumbuhan termasuk pepohonan.
Beberapa perusahaan juga ikut berkolaborasi dengan Pemprov DKI Jakarta untuk menghijaukan Jakarta. Beberapa bahkan peduli untuk ikut serta menghiasi Ruang Terbuka Hijau Ramah Anak (RPTRA) yang berada di sudut-sudut kota.
Pemanfaatan lahan menjadi taman menjadi salah satu solusi untuk mengurangi emisi dari bangunan. ANTARA/ Ganet
Dalam upaya menanggulangi udara kotor pemerintah sendiri sudah memiliki pedoman yang tertuang di dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di dalam peraturan itu secara jelas mengatur soal sanksi tegas kepada pihak-pihak yang sudah berkontribusi terhadap pencemaran udara yang diukur memakai baku mutu emisi.
Tak hanya itu juga diatur soal kewajiban di bidang pencegahan, penanggulangan hingga pemulihan dampak dari pencemaran udara termasuk batas waktu untuk mengatasi pencemaran udara yakni tidak boleh lebih dari 24 jam.
Penanganan juga diatur secara berjenjang mulai dari tingkat bupati/ wali kota, gubernur, hingga menteri apabila persoalan pencemaran udara itu sudah lintas wilayah bahkan pemerintah bisa menunjuk pihak ketiga apabila penanganan pencemaran udara tidak kunjung dapat diselesaikan.
Peran bangunan gedung
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement pada 2016 yang menyepakati untuk ikut berkontribusi untuk mencegah perubahan iklim di dunia. Terkait hal itu Indonesia menyatakan komitmennya untuk mencapai emisi nol bersih (net zero carbon) pada 2060 yang artinya seluruh kegiatan pembangunan termasuk infrastruktur harus berwawasan lingkungan.
Dalam upaya memenuhi target emisi nol persen tersebut, pemerintah telah menaikkan target penurunan emisi dari semula 31,89 persen menjadi 43,20 persen. Artinya, seluruh masyarakat termasuk dunia usaha diminta untuk melakukan penghematan energi demi tercapainya target tersebut.
Seiring dengan kebijakan itu pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menurunkan emisi mulai dari peningkatan kepatuhan terhadap tata ruang, perencanaan kota berbasis transportasi publik ramah lingkungan, bursa karbon bagi perusahaan publik yang bisnisnya sudah mengadopsi standar zero karbon, dan mendorong pembangunan termasuk infrastruktur berwawasan lingkungan.
Kontribusi bangunan gedung terhadap pencemaran udara sangat signifikan mencapai 38 persen di tingkat global. Hal ini sangat dimungkinkan karena penggunaan bahan bangunan yang produksinya kebanyakan belum ramah lingkungan baik itu semen, batu bata, bata ringan, besi, atap, dan lain-lain.
Berangkat dari keprihatinan itu, International Finance Corporation (IFC) sebagai organisasi bagian dari Bank Dunia (World Bank) yang didirikan untuk mendukung sektor swasta di beberapa negara berkembang menerbitkan sertifikat EDGE (Excellence in Design for Greater Efficiencises) atau desain terbaik untuk efisiensi tertinggi bagi bangunan-bangunan yang sudah mengadopsi standar bangunan ramah lingkungan (green building).
Sampai saat ini sertifikat EDGE sudah diserahkan di 103 negara yang mencakup 95 ribu proyek. Sedangkan emisi yang dihemat sudah setara 1,7 juta ton CO2 sejak 2015. Sayangnya untuk Indonesia sejauh ini jumlahnya belum terlalu banyak. Salah satu yang menjadi kendala karena sumber energi dari bangunan gedung di Indonesia berasal dari pembangkit batu bara.
Meski demikian, pelaku usaha masih bisa menurunkan emisi melalui carbon offset yakni dengan mengkompensasikan dengan penurunan atau penghematan emisi. Dengan skema ini pemilik gedung tetap berpeluang mendapat status sebagai bangunan ramah lingkungan.
Audit
IFC sendiri terus mendorong perusahaan-perusahaan di berbagai negara termasuk Indonesia untuk menerapkan kebijakan zero karbon. Perusahaan yang ingin mendapat sertifikasi sebagai bangunan ramah lingkungan (green building) tentunya harus lolos verifikasi dari auditor independen sebelumnya.
Sertifikat ini penting karena sejumlah negara menggunakannya untuk mendapatkan insentif (pengurangan) pajak, kemudian seiring dengan kepedulian terhadap lingkungan banyak penghuni bangunan baik perorangan maupun badan usaha yang mensyaratkan adanya sertifikasi ramah lingkungan karena bisa meringankan biaya operasional dan pemeliharaan untuk jangka panjang.
Ada kekhawatiran pemilik bangunan yang ingin menyematkan teknologi ramah lingkungan membutuhkan biaya yang tidak kecil. Pemerintah Indonesia sendiri memastikan seluruh produk bangunan yang sudah mengantongi SNI berarti sudah lolos uji ramah lingkungan.
Sebagai contoh teknologi kaca ganda (double glass) yang mampu mengoptimalkan pencahayaan sinar matahari tetapi juga menangkal sinar UV sehingga bisa mengurangi pengguna mesin pendingin dan lampu.Teknologi ini ternyata sudah banyak diproduksi di Indonesia sehingga pemilik bangunan tidak bakal kesulitan untuk mengaplikasikannya.
Dengan mengadopsi bahan bangunan ramah lingkungan, bangunan minimal bisa mereduksi energi lebih dari 40 persen, tak hanya itu dengan teknologi sekarang ini sangat dimungkinkan untuk menghemat penggunaan air hingga 25 persen.
Lewat upaya penghematan ini, selain bisa mengurangi jejak karbonnya artinya juga ikut berkontribusi pada upaya global untuk memerangi perubahan iklim serta mempromosikan lingkungan yang lebih sehat.
Apabila seluruh bangunan pencakar langit di DKI Jakarta sudah mengadopsi teknologi rendah karbon, tidak tertutup kemungkinan peringkat Indonesia yang kerap di peringkat teratas udara buruk bisa ditekan.
Apalagi kalau bangunan-bangunan tersebut juga mengakomodasi kebijakan pemerintah agar seluruh penghuni menggunakan transportasi publik dalam artian menyediakan fasilitas yang lebih nyaman terhadap pejalan kaki dan membatasi kendaraan pribadi melalui ketersediaan lahan parkir.
Indeks Kualitas Udara (AQI) pada Sabtu (15/6) misalnya, mencatat kualitas udara Jakarta berada pada poin 106 dengan tingkat konsentrasi polutan PM 2,5 sebesar 40,4 mikrogram per meter kubik atau 8,1 kali lebih tinggi nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Banyak faktor yang memengaruhi kualitas udara di Jakarta sehingga belum memperlihatkan kondisi membaik. Salah satunya adalah fenomena alam berupa arah angin dari timur yang membawa udara kering. Fenomena alam ini memang kerap terjadi pada bulan Juni hingga Agustus.
Kemudian faktor lain yang tidak kalah penting dalam memberikan kontribusi pencemaran udara adalah emisi kendaraan bermotor dan bangunan gedung yang boros energi. Gedung yang boros energi (listrik) secara tidak langsung menyumbang emisi karena pembangkit di Indonesia masih berbahan bakar batubara (fosil).
Dengan demikian, apabila Jakarta ingin menjadi kota yang memiliki udara bersih maka tiga faktor penyebab ini secara bertahap harus dibenahi. Sebagai contoh untuk fenomena alam, maka langkah terbaik adalah dengan memperbaiki lingkungan yakni dengan memperbanyak pohon dan memperluas area hutan bakau (mangrove) di kawasan pesisir.
Lantas untuk menekan emisi kendaraan bermotor, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus segera memperbanyak jaringan transportasi publik. Ketersediaan transportasi publik ini harus mampu mengejar laju pertumbuhan penduduk terutama di daerah penyangga.
Seperti diketahui kepadatan lalu lintas yang kerap menghiasi pada jam kerja disebabkan pergerakan penduduk yang bertempat tinggal di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) menuju Ibu Kota. Dengan kian banyaknya warga yang bekerja dan bersekolah di Jakarta, praktis perlu kebijakan di bidang transportasi agar persoalan kemacetan dapat diatasi.
Terakhir untuk bangunan gedung, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus gencar menyosialisasikan kepada pemilik untuk menerapkan bahan bangunan yang lebih ramah lingkungan sehingga tidak lagi "boros" dalam mengkonsumsi energi.
Dari tiga solusi ini tentunya tidak semuanya menjadi tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta. Peran stakeholders (badan usaha, perguruan tinggi, tokoh masyarakat) menjadi sangat krusial untuk melakukan perubahan sehingga kebijakan penanganan kualitas udara dapat berjalan mulus.
Akhir-akhir ini sudah banyak pihak yang ingin membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai bentuk kepedulian untuk mengatasi kualitas udara. Seperti TNI dan Polri yang pernah berkolaborasi dengan pemerintah administrasi di DKI Jakarta untuk memanfaatkan lahan kosong dan pekarangan rumah untuk ditanam aneka tumbuhan termasuk pepohonan.
Beberapa perusahaan juga ikut berkolaborasi dengan Pemprov DKI Jakarta untuk menghijaukan Jakarta. Beberapa bahkan peduli untuk ikut serta menghiasi Ruang Terbuka Hijau Ramah Anak (RPTRA) yang berada di sudut-sudut kota.
Dalam upaya menanggulangi udara kotor pemerintah sendiri sudah memiliki pedoman yang tertuang di dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di dalam peraturan itu secara jelas mengatur soal sanksi tegas kepada pihak-pihak yang sudah berkontribusi terhadap pencemaran udara yang diukur memakai baku mutu emisi.
Tak hanya itu juga diatur soal kewajiban di bidang pencegahan, penanggulangan hingga pemulihan dampak dari pencemaran udara termasuk batas waktu untuk mengatasi pencemaran udara yakni tidak boleh lebih dari 24 jam.
Penanganan juga diatur secara berjenjang mulai dari tingkat bupati/ wali kota, gubernur, hingga menteri apabila persoalan pencemaran udara itu sudah lintas wilayah bahkan pemerintah bisa menunjuk pihak ketiga apabila penanganan pencemaran udara tidak kunjung dapat diselesaikan.
Peran bangunan gedung
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement pada 2016 yang menyepakati untuk ikut berkontribusi untuk mencegah perubahan iklim di dunia. Terkait hal itu Indonesia menyatakan komitmennya untuk mencapai emisi nol bersih (net zero carbon) pada 2060 yang artinya seluruh kegiatan pembangunan termasuk infrastruktur harus berwawasan lingkungan.
Dalam upaya memenuhi target emisi nol persen tersebut, pemerintah telah menaikkan target penurunan emisi dari semula 31,89 persen menjadi 43,20 persen. Artinya, seluruh masyarakat termasuk dunia usaha diminta untuk melakukan penghematan energi demi tercapainya target tersebut.
Seiring dengan kebijakan itu pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menurunkan emisi mulai dari peningkatan kepatuhan terhadap tata ruang, perencanaan kota berbasis transportasi publik ramah lingkungan, bursa karbon bagi perusahaan publik yang bisnisnya sudah mengadopsi standar zero karbon, dan mendorong pembangunan termasuk infrastruktur berwawasan lingkungan.
Kontribusi bangunan gedung terhadap pencemaran udara sangat signifikan mencapai 38 persen di tingkat global. Hal ini sangat dimungkinkan karena penggunaan bahan bangunan yang produksinya kebanyakan belum ramah lingkungan baik itu semen, batu bata, bata ringan, besi, atap, dan lain-lain.
Berangkat dari keprihatinan itu, International Finance Corporation (IFC) sebagai organisasi bagian dari Bank Dunia (World Bank) yang didirikan untuk mendukung sektor swasta di beberapa negara berkembang menerbitkan sertifikat EDGE (Excellence in Design for Greater Efficiencises) atau desain terbaik untuk efisiensi tertinggi bagi bangunan-bangunan yang sudah mengadopsi standar bangunan ramah lingkungan (green building).
Sampai saat ini sertifikat EDGE sudah diserahkan di 103 negara yang mencakup 95 ribu proyek. Sedangkan emisi yang dihemat sudah setara 1,7 juta ton CO2 sejak 2015. Sayangnya untuk Indonesia sejauh ini jumlahnya belum terlalu banyak. Salah satu yang menjadi kendala karena sumber energi dari bangunan gedung di Indonesia berasal dari pembangkit batu bara.
Meski demikian, pelaku usaha masih bisa menurunkan emisi melalui carbon offset yakni dengan mengkompensasikan dengan penurunan atau penghematan emisi. Dengan skema ini pemilik gedung tetap berpeluang mendapat status sebagai bangunan ramah lingkungan.
Audit
IFC sendiri terus mendorong perusahaan-perusahaan di berbagai negara termasuk Indonesia untuk menerapkan kebijakan zero karbon. Perusahaan yang ingin mendapat sertifikasi sebagai bangunan ramah lingkungan (green building) tentunya harus lolos verifikasi dari auditor independen sebelumnya.
Sertifikat ini penting karena sejumlah negara menggunakannya untuk mendapatkan insentif (pengurangan) pajak, kemudian seiring dengan kepedulian terhadap lingkungan banyak penghuni bangunan baik perorangan maupun badan usaha yang mensyaratkan adanya sertifikasi ramah lingkungan karena bisa meringankan biaya operasional dan pemeliharaan untuk jangka panjang.
Ada kekhawatiran pemilik bangunan yang ingin menyematkan teknologi ramah lingkungan membutuhkan biaya yang tidak kecil. Pemerintah Indonesia sendiri memastikan seluruh produk bangunan yang sudah mengantongi SNI berarti sudah lolos uji ramah lingkungan.
Sebagai contoh teknologi kaca ganda (double glass) yang mampu mengoptimalkan pencahayaan sinar matahari tetapi juga menangkal sinar UV sehingga bisa mengurangi pengguna mesin pendingin dan lampu.Teknologi ini ternyata sudah banyak diproduksi di Indonesia sehingga pemilik bangunan tidak bakal kesulitan untuk mengaplikasikannya.
Dengan mengadopsi bahan bangunan ramah lingkungan, bangunan minimal bisa mereduksi energi lebih dari 40 persen, tak hanya itu dengan teknologi sekarang ini sangat dimungkinkan untuk menghemat penggunaan air hingga 25 persen.
Lewat upaya penghematan ini, selain bisa mengurangi jejak karbonnya artinya juga ikut berkontribusi pada upaya global untuk memerangi perubahan iklim serta mempromosikan lingkungan yang lebih sehat.
Apabila seluruh bangunan pencakar langit di DKI Jakarta sudah mengadopsi teknologi rendah karbon, tidak tertutup kemungkinan peringkat Indonesia yang kerap di peringkat teratas udara buruk bisa ditekan.
Apalagi kalau bangunan-bangunan tersebut juga mengakomodasi kebijakan pemerintah agar seluruh penghuni menggunakan transportasi publik dalam artian menyediakan fasilitas yang lebih nyaman terhadap pejalan kaki dan membatasi kendaraan pribadi melalui ketersediaan lahan parkir.