Palu (ANTARA) - Pengamat kepolisian sekaligus Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI) Rasminto mendorong pimpinan polri, untuk menonaktifkan Kombes Pol Dodi Darjanto dari jabatan Dirlantas Polda Sulteng.
"Penonaktifan sementara jabatan Dirlantas dapat dipertimbangkan sebagai bentuk ketegasan institusi Polri, dalam mendisiplinkan personel yang tidak menghormati profesi orang lain, apalagi profesi jurnalistik," katanya dihubungi dari Palu, Selasa.
Kata dia, penolakan wawancara dengan alasan handphone digunakan adalah merek China, merupakan tindak arogan. Tindakan itu dapat dikategorikan kekerasan verbal dan pelecehan terhadap profesi jurnalistik.
"Tindakan yang dilakukan Dirlantas sebagai penjabat utama, merupakan sikap arogan dan tidak etis, serta tidak menunjukkan teladan sebagai pengayom masyarakat," katanya menegaskan.
Lanjut dia, semestinya, para pejabat di Indonesia dapat menunjukkan sikap keteladanannya, termasuk juga pejabat di lingkungan Polri. Jangan karena mempunyai pangkat dan jabatan, bisa berperilaku seenaknya.
Rasminto pun merasa ironis, karena Kombes Dodi pernah berkasus yang sama dengan profesi jurnalistik.
"Pada 2015 lalu, saat Kombes Dodi jadi Kapolres Siantar di Sumatera Utara, dia mengusir wartawan dengan anjing, saat menunggu wawancara," katanya menegaskan.
Sebelumnya, insiden ini bermula ketika Syamsuddin Tobone, yang merupakan Kepala Biro SCTV Palu, hendak melakukan wawancara dengan Kombes Pol Dodi Darjanto di Tugu 0 Kilometer, Palu. dalam rangka meliput hasil operasi patuh Tinombala 2024 pada hari pertama.
"Saya sudah janji wawancara sejak kemarin melalui ajudannya. Setelah salam dan kenalan, saya mau mulai merekam. Dia langsung berkata, kenapa merekam wawancara pakai HP? Saya tidak mau. Masak wawancara pakai HP, HP merek Cina lagi. Suruh direkturmu belikan HP yang canggih," ujar Syamsuddin.
Sementara itu Dodi Darjanto, dalam permintaan maafnya yang disampaikan pada Kamis (18/7), di hadapan sejumlah jurnalis Sulteng dan perwakilan empat organisasi pers, yaitu IJTI Sulteng, AJI Palu, PFI Palu, dan AMSI Sulteng, mengakui bahwa tindakannya adalah kekhilafan yang dilakukan tanpa unsur kesengajaan.
"Apa yang saya lakukan khilaf, tidak ada maksud apa-apa. Intinya saya itu sekedar bercanda saja tapi kejadiannya jadi seperti ini. Tidak ada maksud apa-apa Pak," tutur Dodi Darjanto.
Meski permohonan maaf telah disampaikan dan diterima oleh jurnalis Sulteng untuk menjaga hubungan kerja antara jurnalis dan Polda Sulteng, IJTI Sulteng, AJI Palu, PFI Palu, dan AMSI Sulteng, yang tergabung dalam Komunitas Roemah Jurnalis, tetap menuntut adanya tindakan tegas dari pimpinan Polri atas sikap Dirlantas Polda Sulteng yang dianggap sebagai kekerasan verbal dan harus disikapi secara serius.
"Penonaktifan sementara jabatan Dirlantas dapat dipertimbangkan sebagai bentuk ketegasan institusi Polri, dalam mendisiplinkan personel yang tidak menghormati profesi orang lain, apalagi profesi jurnalistik," katanya dihubungi dari Palu, Selasa.
Kata dia, penolakan wawancara dengan alasan handphone digunakan adalah merek China, merupakan tindak arogan. Tindakan itu dapat dikategorikan kekerasan verbal dan pelecehan terhadap profesi jurnalistik.
"Tindakan yang dilakukan Dirlantas sebagai penjabat utama, merupakan sikap arogan dan tidak etis, serta tidak menunjukkan teladan sebagai pengayom masyarakat," katanya menegaskan.
Lanjut dia, semestinya, para pejabat di Indonesia dapat menunjukkan sikap keteladanannya, termasuk juga pejabat di lingkungan Polri. Jangan karena mempunyai pangkat dan jabatan, bisa berperilaku seenaknya.
Rasminto pun merasa ironis, karena Kombes Dodi pernah berkasus yang sama dengan profesi jurnalistik.
"Pada 2015 lalu, saat Kombes Dodi jadi Kapolres Siantar di Sumatera Utara, dia mengusir wartawan dengan anjing, saat menunggu wawancara," katanya menegaskan.
Sebelumnya, insiden ini bermula ketika Syamsuddin Tobone, yang merupakan Kepala Biro SCTV Palu, hendak melakukan wawancara dengan Kombes Pol Dodi Darjanto di Tugu 0 Kilometer, Palu. dalam rangka meliput hasil operasi patuh Tinombala 2024 pada hari pertama.
"Saya sudah janji wawancara sejak kemarin melalui ajudannya. Setelah salam dan kenalan, saya mau mulai merekam. Dia langsung berkata, kenapa merekam wawancara pakai HP? Saya tidak mau. Masak wawancara pakai HP, HP merek Cina lagi. Suruh direkturmu belikan HP yang canggih," ujar Syamsuddin.
Sementara itu Dodi Darjanto, dalam permintaan maafnya yang disampaikan pada Kamis (18/7), di hadapan sejumlah jurnalis Sulteng dan perwakilan empat organisasi pers, yaitu IJTI Sulteng, AJI Palu, PFI Palu, dan AMSI Sulteng, mengakui bahwa tindakannya adalah kekhilafan yang dilakukan tanpa unsur kesengajaan.
"Apa yang saya lakukan khilaf, tidak ada maksud apa-apa. Intinya saya itu sekedar bercanda saja tapi kejadiannya jadi seperti ini. Tidak ada maksud apa-apa Pak," tutur Dodi Darjanto.
Meski permohonan maaf telah disampaikan dan diterima oleh jurnalis Sulteng untuk menjaga hubungan kerja antara jurnalis dan Polda Sulteng, IJTI Sulteng, AJI Palu, PFI Palu, dan AMSI Sulteng, yang tergabung dalam Komunitas Roemah Jurnalis, tetap menuntut adanya tindakan tegas dari pimpinan Polri atas sikap Dirlantas Polda Sulteng yang dianggap sebagai kekerasan verbal dan harus disikapi secara serius.