Surabaya (ANTARA) - Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Surabaya, Anak Agung Gde Bagus Wahyu Dhyatmika, menginspirasi lewat jurnalisme digital dengan menjabat sebagai CEO Media Tempo Digital.
Sosok yang akrab disapa Wahyu dalam keterangan yang diterima di Surabaya, Kamis, kini juga aktif sebagai aktivis di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memperjuangkan jurnalisme independen, kebebasan pers, dan kesejahteraan pekerja industri media.
Selama masa kuliah, Wahyu dikenal sebagai mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan kampus, termasuk jurnalistik.
"Tahun 1997 dan 1998, di era gerakan mahasiswa, saya aktif sebagai wartawan kampus. Jadi itu salah satu pengalaman yang akhirnya menempa skill jurnalistik saya. Kebetulan memang cocok dengan apa yang saya pelajari di ruang kuliah," katanya.
Setelah lulus dari Unair, Wahyu Dhyatmika memulai perjalanannya sebagai wartawan di Jakarta pada tahun 2002. Sebagai wartawan lapangan Tempo, ia harus bergerak cepat dan dinamis, meliput berita dari berbagai lokasi seperti kantor pemerintahan, pengadilan, kantor polisi, dan gedung DPR.
"Menjadi pengalaman tidak terlupakan ketika saya bisa membuat 10 sampai 15 berita sehari tentang berbagai topik. Saat itu bukan perkara susah karena semua narasumber berada dalam satu tempat, jadi nggak perlu keliling. Jalan sedikit ketemu anggota DPR, jadi banyak beritanya," papar Wahyu.
Pada tahun 2004, Wahyu melanjutkan pendidikannya ke University of Westminster di jurusan International Journalism and Media. Setelah menyelesaikan studinya, Wahyu kembali ke Tempo dan berusaha melakukan transformasi pada dunia media digital.
Karir Wahyu di Tempo terus berkembang hingga akhirnya ia dipercaya memimpin media tersebut sebagai CEO. Wahyu berkomitmen untuk menjaga independensi dan integritas jurnalistik Tempo. Selain itu, ia mulai mengembangkan Tempo sebagai salah satu pelopor awal media digital di Indonesia.
"Salah satu karakter media digital itu, publiknya interaktif. Kita nggak bisa lagi hanya satu arah. Publik harus terlibat, publik harus aktif, ada engagement, dan redaksi harus melibatkan pembaca," ujarnya.
Selain kesuksesannya di Tempo, Wahyu juga aktif dalam mengembangkan inovasi edukasi melalui kanal YouTube "Kok Bisa". Wahyu juga berinovasi dengan mengembangkan Tempo Witness, sebuah platform pemberdayaan komunitas lokal atau termarjinalisasi yang bekerja sama dengan berbagai proyek komunitas seperti Internews' Earth Journalism Network, Hivos, WWF, dan lainnya.
Dengan kesuksesan tersebut, sebagai alumnus, Wahyu berharap Unair terus menjadi pelopor dan simbol keterbukaan. Ia ingin melihat lulusan Unair tersebar di berbagai sektor dan menjadi agen perubahan di setiap bidang yang digeluti.
"Terus menjadi sebuah tempat belajar yang menyenangkan, inklusif, terbuka, tidak dogmatis. Sebaik-baiknya kampus adalah yang memberikan kesempatan mahasiswanya untuk belajar dan salah," kata Wahyu.
Sosok yang akrab disapa Wahyu dalam keterangan yang diterima di Surabaya, Kamis, kini juga aktif sebagai aktivis di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memperjuangkan jurnalisme independen, kebebasan pers, dan kesejahteraan pekerja industri media.
Selama masa kuliah, Wahyu dikenal sebagai mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan kampus, termasuk jurnalistik.
"Tahun 1997 dan 1998, di era gerakan mahasiswa, saya aktif sebagai wartawan kampus. Jadi itu salah satu pengalaman yang akhirnya menempa skill jurnalistik saya. Kebetulan memang cocok dengan apa yang saya pelajari di ruang kuliah," katanya.
Setelah lulus dari Unair, Wahyu Dhyatmika memulai perjalanannya sebagai wartawan di Jakarta pada tahun 2002. Sebagai wartawan lapangan Tempo, ia harus bergerak cepat dan dinamis, meliput berita dari berbagai lokasi seperti kantor pemerintahan, pengadilan, kantor polisi, dan gedung DPR.
"Menjadi pengalaman tidak terlupakan ketika saya bisa membuat 10 sampai 15 berita sehari tentang berbagai topik. Saat itu bukan perkara susah karena semua narasumber berada dalam satu tempat, jadi nggak perlu keliling. Jalan sedikit ketemu anggota DPR, jadi banyak beritanya," papar Wahyu.
Pada tahun 2004, Wahyu melanjutkan pendidikannya ke University of Westminster di jurusan International Journalism and Media. Setelah menyelesaikan studinya, Wahyu kembali ke Tempo dan berusaha melakukan transformasi pada dunia media digital.
Karir Wahyu di Tempo terus berkembang hingga akhirnya ia dipercaya memimpin media tersebut sebagai CEO. Wahyu berkomitmen untuk menjaga independensi dan integritas jurnalistik Tempo. Selain itu, ia mulai mengembangkan Tempo sebagai salah satu pelopor awal media digital di Indonesia.
"Salah satu karakter media digital itu, publiknya interaktif. Kita nggak bisa lagi hanya satu arah. Publik harus terlibat, publik harus aktif, ada engagement, dan redaksi harus melibatkan pembaca," ujarnya.
Selain kesuksesannya di Tempo, Wahyu juga aktif dalam mengembangkan inovasi edukasi melalui kanal YouTube "Kok Bisa". Wahyu juga berinovasi dengan mengembangkan Tempo Witness, sebuah platform pemberdayaan komunitas lokal atau termarjinalisasi yang bekerja sama dengan berbagai proyek komunitas seperti Internews' Earth Journalism Network, Hivos, WWF, dan lainnya.
Dengan kesuksesan tersebut, sebagai alumnus, Wahyu berharap Unair terus menjadi pelopor dan simbol keterbukaan. Ia ingin melihat lulusan Unair tersebar di berbagai sektor dan menjadi agen perubahan di setiap bidang yang digeluti.
"Terus menjadi sebuah tempat belajar yang menyenangkan, inklusif, terbuka, tidak dogmatis. Sebaik-baiknya kampus adalah yang memberikan kesempatan mahasiswanya untuk belajar dan salah," kata Wahyu.