Palu (ANTARA) - Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) menggandeng Tim peneliti dari Smithsonian Environmental Research Center (SERC) lembaga penelitian dan pendidikan lingkungan dari Maryland, Amerika Serikat melakukan monitoring restocking benih rajungan Portunus pelagicus di perairan laut di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
"Upaya kami dalam meningkatkan stok tidak hanya sekadar melepasliarkan saja, namun juga memonitoring kegiatan restocking tersebut apakah restocking tersebut memang bermanfaat dan bagaimana dampaknya," kata Board of Director APRI, Wita Setioko dalam keterangan tertulisnya kepada ANTARA di Palu, Sabtu.
Ia mengemukakan pihaknya bekerjasama dengan peneliti SERC, Dr Robert Aguilar beserta Henry D. Legett melakukan rangkaian kegiatan peningkatan stok rajungan di Situbondo selama tiga bulan yaitu sejak Agustus hingga Oktober 2024.
"Tentunya restocking ini menjadi salah satu upaya dalam mempertahankan populasi komoditas tersebut untuk menjaga keseimbangan ekosistem, apalagi komoditas rajungan adalah komoditas spesial dengan memiliki nilai yang cukup tinggi sehingga rajungan dapat menjadi primadona baik bagi nelayan maupun pelaku usaha," ucapnya.
Ia mengatakan dalam upaya restocking penting memperhatikan beberapa hal guna mendapatkan hasil maksimal yaitu pemilihan lokasi untuk pelepasliaran, komoditas di lokasi setempat dan di mana ekosistem lokasi tersebut harus menjadi perhatian dalam upaya pelepasliaran rajungan.
"Untuk habitat rajungan sendiri berada zona intertidal hingga perairan lepas pantai dengan kedalaman 50 meter," sebutnya.
Kata dia, pihaknya saat melakukan underwater restocking melihat rajungan yang dilepas langsung dimakan predator seperti ikan.
"Jadi penting melakukan restocking pada fase crablet (benih) harapannya rajungan dapat menemukan tempat berlindung serta mampu mencari makanan alaminya karena pada fase crablet, rajungan sudah memiliki bentuk yang sempurna sehingga mampu bertahan melawan predator ataupun mencari makan," bebernya.
Sementara itu tim SERC pun melakukan penelitian pendahuluan terkait lokasi dan hasil tangkapan di perairan Situbondo.
Menurutnya lokasi yang dipilih dari beberapa opsi adalah area lamun yang merupakan area yang cocok sebagai daerah pemijahan dan perlindungan.
"Dari beberapa yang tertangkap menunjukkan bahwa daerah ini berpotensi menjadi daerah asuhan dan cocok sebagai habitat bagi hewan berukuran kecil," ujarnya.
Wita menuturkan alat tangkap yang digunakan merupakan alat tangkap bubu lipat dengan modifikasi mesh size 1 centimeter yang diperuntukkan dalam pengamatan hasil tangkapan.
"Hewan-hewan yang tertangkap itu langsung dilepaskan kembali setelah dilakukan pengamatan dan pencatatan," kata dia.
Ia menuturkan sekitar 4.900 ekor rajungan crablet dengan ukuran 1,5-5 centimeter telah diberi tanda (tagging) dengan kawat khusus berukuran super kecil sekitar 0,5 milimeter di bagian daging dekat kaki renang rajungan sehingga tanda tersebut tidak hilang ketika moulting.
Pemberian tanda tersebut dilakukan satu persatu dan dicek menggunakan alat metal detector bahwa rajungan tersebut sudah ditandai dan siap untuk dilakukan restocking.
"Monitoring terus dilakukan dengan melakukan penangkapan menggunakan bubu di area restocking kondisi spesies yang ada di area tersebut usai restocking dan secara khusus kondisi crablet yang sudah dilepasliarkan dan rajungan yang berasal dari alam/liar," tuturnya.
Wita menjelaskan hasil monitoring tersebut menunjukkan rajungan yang berasal dari alam/liar maupun yang berasal dari hatchery berhasil ditemukan.
"Ini menunjukkan bahwa kegiatan restocking dapat menjadi salah satu upaya dalam peningkatan stok rajungan di alam," pungkasnya.
"Upaya kami dalam meningkatkan stok tidak hanya sekadar melepasliarkan saja, namun juga memonitoring kegiatan restocking tersebut apakah restocking tersebut memang bermanfaat dan bagaimana dampaknya," kata Board of Director APRI, Wita Setioko dalam keterangan tertulisnya kepada ANTARA di Palu, Sabtu.
Ia mengemukakan pihaknya bekerjasama dengan peneliti SERC, Dr Robert Aguilar beserta Henry D. Legett melakukan rangkaian kegiatan peningkatan stok rajungan di Situbondo selama tiga bulan yaitu sejak Agustus hingga Oktober 2024.
"Tentunya restocking ini menjadi salah satu upaya dalam mempertahankan populasi komoditas tersebut untuk menjaga keseimbangan ekosistem, apalagi komoditas rajungan adalah komoditas spesial dengan memiliki nilai yang cukup tinggi sehingga rajungan dapat menjadi primadona baik bagi nelayan maupun pelaku usaha," ucapnya.
Ia mengatakan dalam upaya restocking penting memperhatikan beberapa hal guna mendapatkan hasil maksimal yaitu pemilihan lokasi untuk pelepasliaran, komoditas di lokasi setempat dan di mana ekosistem lokasi tersebut harus menjadi perhatian dalam upaya pelepasliaran rajungan.
"Untuk habitat rajungan sendiri berada zona intertidal hingga perairan lepas pantai dengan kedalaman 50 meter," sebutnya.
Kata dia, pihaknya saat melakukan underwater restocking melihat rajungan yang dilepas langsung dimakan predator seperti ikan.
"Jadi penting melakukan restocking pada fase crablet (benih) harapannya rajungan dapat menemukan tempat berlindung serta mampu mencari makanan alaminya karena pada fase crablet, rajungan sudah memiliki bentuk yang sempurna sehingga mampu bertahan melawan predator ataupun mencari makan," bebernya.
Sementara itu tim SERC pun melakukan penelitian pendahuluan terkait lokasi dan hasil tangkapan di perairan Situbondo.
Menurutnya lokasi yang dipilih dari beberapa opsi adalah area lamun yang merupakan area yang cocok sebagai daerah pemijahan dan perlindungan.
"Dari beberapa yang tertangkap menunjukkan bahwa daerah ini berpotensi menjadi daerah asuhan dan cocok sebagai habitat bagi hewan berukuran kecil," ujarnya.
Wita menuturkan alat tangkap yang digunakan merupakan alat tangkap bubu lipat dengan modifikasi mesh size 1 centimeter yang diperuntukkan dalam pengamatan hasil tangkapan.
"Hewan-hewan yang tertangkap itu langsung dilepaskan kembali setelah dilakukan pengamatan dan pencatatan," kata dia.
Ia menuturkan sekitar 4.900 ekor rajungan crablet dengan ukuran 1,5-5 centimeter telah diberi tanda (tagging) dengan kawat khusus berukuran super kecil sekitar 0,5 milimeter di bagian daging dekat kaki renang rajungan sehingga tanda tersebut tidak hilang ketika moulting.
Pemberian tanda tersebut dilakukan satu persatu dan dicek menggunakan alat metal detector bahwa rajungan tersebut sudah ditandai dan siap untuk dilakukan restocking.
"Monitoring terus dilakukan dengan melakukan penangkapan menggunakan bubu di area restocking kondisi spesies yang ada di area tersebut usai restocking dan secara khusus kondisi crablet yang sudah dilepasliarkan dan rajungan yang berasal dari alam/liar," tuturnya.
Wita menjelaskan hasil monitoring tersebut menunjukkan rajungan yang berasal dari alam/liar maupun yang berasal dari hatchery berhasil ditemukan.
"Ini menunjukkan bahwa kegiatan restocking dapat menjadi salah satu upaya dalam peningkatan stok rajungan di alam," pungkasnya.