Jakarta (ANTARA) - Saat ini kita memerlukan hadirnya pendidikan yang membawa nilai grit  (kegigihan) dan lembaga pendidikan formal kita belum begitu mengenalkan, mengeksplorasi, dan mengaplikasikannya dalam proses pembelajaran.

 

Ratih Prihatina, pejabat di Kementerian Keuangan, dalam tulisan yang menghentakkan berkisah tentang pentingnya grit dalam dunia kerja. Grit merupakan kombinasi antara kekuatan passion dan ketabahan untuk sukses di dunia kerja.

Terkait grit, Ratih Prihatina, dalam artikelnya memberi ilustrasi  pengakuan atasan kala berdinas. "Saya tuh mending dapat anak buah yang biasa saja, tapi rajin daripada yang pintar banget, tapi susah diajak kerja."

Dalam pengalaman hidup, orang sukses itu rata-rata adalah mereka yang kala kuliah atau sekolah, biasa-biasa saja. Tidak ada yang menonjol, bahkan sering terkesan konyol dan tidak "berbentuk".

Selama ini, banyak contoh orang-orang sukses yang tampaknya disebabkan oleh bakat dan kecerdasan luar biasa di bidang yang ditekuni. Namun, kenyataannya, beberapa penelitian malah membuktikan, bakat dan kecerdasan saja belum bisa menjadi penentu kesuksesan seseorang. Sebaliknya, bakat sendiri bisa jadi menurunkan kualitas kerja seseorang, sebab, tes bakat dan kepribadian yang ada cenderung lemah dalam mengukur potensi yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang.

Bagaimana mengambil hikmah dari fakta itu, sebagai refleksi besar bagi dunia pendidikan di Tanah Air?

Pendidik, guru dan dosen, dipandang penting memiliki kesadaran grit di satu sisi dan di sisi lain memiliki kesadaran pentingnya perubahan "pola pikir berkembang" (PPB) untuk melahirkan peserta didik yang unggul di masa depan.

 

Pendidik grit

Angela Duckworth, profesor psikologi dari University of Pennsylvania, memperkenalkan grit sebagai salah satu bagian kepribadian yang tinggi dan merupakan faktor penting dalam memperoleh pencapaian karier seseorang.

Grit bukan sekadar bekerja keras, tetapi usaha panjang dalam mendapatkan sesuatu. Kepribadian grit, karena itu, berkait erat dengan apa yang disebut PPB. PPB sendiri merupakan pola pikir yang terus tumbuh, berani menghadapi tantangan, serta senang belajar mengenai hal baru.

Masalahnya, sudahkah lembaga pendidikan kita mengajarkan grit melalui berbagai bidang pelajaran di ruang-ruang kelas?

Dalam realita amatan, selama 30 tahun lebih mengajar, hal demikian belum menjadi fokus orientasi pembelajaran yang digembalakan para guru atau dosen di ruang-ruang kelas.

Untuk itu, berikut gagasan menarik bagaimana penting pendidik memiliki kesadaran grit dan PPB di setiap pembelajaran. Pendidik dalam kesadaran grit adalah mereka yang gigih, berdaya tarung, jeli, kreatif, tahan banting, dan istikamah pada tujuan hidup dan pembelajaran yang diinginkan.

Pendek kata, mereka adalah pendidik yang mampu menanamkan kegigihan hidup kepada para murid asuhannya.

 

Angela Duckworth dalam buku berjudul "Grit: Why Passion and Resilience are The Secrets to Success" mengungkapkan bahwa pribadi yang memiliki kegigihan (grit) tinggi adalah saat mereka dihadapkan pada rasa kecewa dan bosan atas sesuatu yang tidak akan mengubah haluan dan terus bergerak, apalagi untuk memilih mundur.

Grit akan mengantarkan seseorang mampu suntuk menggeluti bidang yang diminati, sehingga bersetia atas bidang pilihan. Grit bukan soal jatuh cinta pada suatu bidang, tetapi merupakan eksistensi diri pada kemampuan yang senantiasa bertahan pada pilihan bidang.

Nilai ketahanan (kegigihan) demikian yang perlu ditumbuhkan dalam dunia pendidikan kita.

Hanya pendidik gigih yang akan mampu mengajarkan jiwa kegigihan pula. Untuk itu, pendidik grit adalah mereka yang mampu melatihkan kegigihan diri dalam proses pendidikan dan pembelajaran yang digembalakan.

Sebagaimana aspek karakter jiwa yang lain, jiwa gigih itu dapat dilatihkan. Setidaknya, terdapat empat aset kejiwaan sebagai pembentuk kegigihan, yang meliputi minat, latihan berulang, tujuan, dan harapan. Keempat aspek ini bersifat sinergis, yang mendorong seseorang tetap fokus dan gigih mencapai tujuan, meskipun harus menghadapi beragam rintangan.

Pendidik kegigihan adalah mereka yang mampu menemukan minat (bakat) anak didik, melalui berbagai cara ulik, kemudian menyadarkan, dan mendampinginya dengan cara terbaik. Seringkali, peserta didik, saat bersekolah (kuliah), tidak didasarkan pada peminatan, tetapi karena terpengaruh oleh teman atau arahan paksa dari orang tua.

Tugas pendidik kegigihan, tentu, rumit dan sulit jika tidak kreatif mengulik kecenderungan dan mengenal pikiran bawah sadar anak didiknya. Untuk itu, pintu terbaik pendidik dalam konteks menggali dan menguatkan minat adalah menjadi "teman penggali" mutiara bakat bagi murid-muridnya.

Peran menjadi teman curhat, misalnya, merupakan hal tidak formal yang menarik dilakukan dalam segala situasi dan tempat, di sela mengajar atau di luar sekolah. Selanjutnya, tugas pendidik kegigihan adalah menjadi pelatih kegigihan. Pelatih kegigihan adalah orang yang sudah gigih, tahan banting, dan terus memiliki kesadaran akan ketahanan hidup yang tinggi.

Pendidik kegigihan wajib hadir di segala persoalan hidup anak didik, penyelia masalah, sekaligus pelatih dalam pemecahan masalah. Ia adalah sosok pendidik yang berjiwa gembala dan pendamping sosial kejiwaan sepanjang masa.

Ada pesan dari seorang psikolog kognitif Anders Ericsson, yang mengatakan bahwa para ahli, selama ini mampu menguasai bidangnya masing-masing dikarenakan gigih melalukan praktik dan latihan secara konsisten yang tidak terputus.

Tugas pendidik kegigihan yang tidak kalah penting adalah menyentuhkan kesadaran akan tujuan hidup (belajar hidup), sehingga peserta didik memiliki totalitas kesadaran dalam menjalani kehidupannya.

Hidup mandiri, memiliki kecakapan, berani ambil risiko, dan menjadi pembelajar sepanjang masa merupakan hal-hal relevan dalam penanaman kesadaran untuk meraih tujuan belajar kehidupannya.

Tujuan belajar, termasuk belajar kehidupan, perlu ditanamkan oleh para pendidik kegigihan, sebab tujuan akhir manusia, usai melewati pendidikan formal adalah mampu bekerja terbaik dan hidup secara mandiri, yang tidak menjadi beban bagi keluarga dan orang lain.

 

Kesadaran intensifikasi sebuah tujuan yang dilatihkan pendidik kegigihan akan melahirkan anak didik bermental gigih, punya keinginan berbagi dan berkontribusi tinggi terhadap sesama. Ia akan melahirkan anak didik yang betah berlama-lama dalam mengembangkan minat dan bakat untuk mencapai tujuan hidup yang telah mereka tetapkan.

Terakhir, bagaimana pentingnya mentransendenkan harapan bagi pendidik kegigihan. Pendidik kegigihan adalah mereka yang senantiasa menyalakan "lilin kehidupan" di kala lilin lain redup atau dimatikan.

Imajinasi kepemilikan sejumlah lilin, barangkali, menarik dilekapkan. Sebab, jika salah satu lilin mati, dua lilin mati, tiga lilin mati, wajib tersisa lilin yang hidup, yang akan memberikan "cahaya terang" dalam melewati kegelapan hidup yang mungkin dihadapi peserta didik.

Kekuatan harapan seringkali kurang diajarkan secara praktis dan esensial dalam dunia pendidikan kita, tetapi seringkali parsial dan artifisial. Pendidik kegigihan adalah mereka yang menyalakan harapan hidup menjadi kesadaran religius di setiap langkah dan tahap perjalanan.

Bukankah agama, Islam misalnya, mengajarkan harapan di balik kesulitan, yang berbunyi, "Setelah kesulitan akan hadir kemudahan" dan "Tuhan tidak akan menimpakan sesuatu beban, kecuali sesuai kemampuan seseorang itu".

 

Urgensi pendidik PPB

"Pola pikir berkembang" (PPB) merupakan sayap lain yang menarik disadari para pendidik kegigihan. Dalam dunia bisnis dan motivasi, misalnya, perubahan pola pikir itu ditandai oleh keberadaan PPB, sebagai keniscayaan yang tidak boleh ditinggalkan.

Tugas pendidik kegigihan, selanjutnya, adalah sebagai pendidik perubahan pola pikir di satu sisi dan di sisi lain bertugas dalam mengembangkan pola pikir peserta didik.

PPB memperkenalkan dua kategori pola pikir, yakni pola pikir tetap dan pola pikir tumbuh. Pola pikir seseorang bisa dilihat dari kebiasaan yang dilakukan, terutama reaksi atas kegagalan yang menimpa.

Untuk itu, tugas pendidik kegigihan adalah menanamkan dan mengembangkan pola pikir peserta didik. Sebab, sebagaimana keyakinan umum bahwa seseorang itu tidak mungkin berubah jika pola pikirnya tidak berubah. Tugas pendidik kegigihan yang terpenting adalah mengubah pola pikir diri, sebelum mengubah pola pikir anak didiknya.

 

Kesadaran pendidik kegigihan sebagai pendamping jiwa, penggembala kehidupan, penata pola pikir, dan pelatih seorang pelaut, misalnya, merupakan kesadaran pola pikir pendidik yang penting dimiliki.

Ibarat anak didik itu seorang pelaut, maka mereka tidak akan lahir sebagai pelaut ulung jika tidak pernah melewati gelombang laut yang besar. Pengalaman dan kecerdasan dibalut dengan kegigihan lah yang bisa melahirkannya.

Pendidik kegigihan adalah mereka yang percaya bahwa kemampuan, karakter, potensi, dan intelegensia yang dimiliki anak didik bukan bersifat bawaan dan tidak dapat berubah. Pendidik kegigihan adalah mereka yang memiliki selusin cara dalam meyakinkan anak didik untuk mampu mengembangkan kemampuan, karakter, potensi, dan intelegensia yang dimiliki secara gigih, penuh dengan ketekunan jiwa.

Inilah yang disebut seseorang memiliki pola pikir bertumbuh. Pendidik yang memiliki kesadaran PPB di satu sisi dan mampu menanamkan dan mengembangkan PPB bagi anak didik sebagai modal dahsyat dalam kehidupan kelak.

Bakat dalam kehidupan ini tentu bukan segala-galanya. Ia tidak akan berarti apa-apa jika tidak dikembangkan. Maka, kesadaran akan pentingnya kegigihan (grit) mutlak dimiliki para pendidik, sebelum mendidikkan kegigihan dalam pembelajaran yang menghidupkan generasi masa depan.

Grit dan PPB merupakan sepasang sayap yang penting dimiliki para pendidik progresif dan inovatif. Sebuah kesadaran filosofis yang wajib dimiliki para pendidik kegigihan, sehingga mampu berkontribusi dalam rangka menyiapkan generasi unggul untuk Indonesia Emas 2045.

Hadirnya pendidik kegigihan bermental pola pikir berkembang merupakan kesadaran penting yang wajib ditindaklanjuti dengan beragam aksi pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan.

Mengulik pengalaman siswa didik dan memadukannya dengan kecerdasan yang dimiliki, tentu akan melahirkan kekokohan mentalitas berpikir solutif.

 

 

*) Dr Sutejo MHum adalah Ketua Perwakilan YPLP PGRI Kabupaten Ponorogo 2025-2030, Koordinator Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Kabupaten Ponorogo, dosen di lingkungan LLDIKTI 7 Jawa Timur.


 


Pewarta : Dr Sutejo *)
Editor : Andilala
Copyright © ANTARA 2025