Jakarta, (Antaranews Sulteng) - Mantan ketua DPR Setya Novanto mengaku kaget atau "shock" karena divonis 15 tahun penjara oleh majelis hakim dalam perkara kasus korupsi KTP-Elektronik.
"Saya sangat 'shock'. Apa yang didakwakan dan apa yang disampaikan tentu perlu dipertimbangkan karena tidak sesuai dengan persidangan yang ada," kata Setya Novanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
Dalam perkara ini, Setnov divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah pembayaran uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar AS (dengan kurs Rp9000 saat itu adalah Rp65,7 miliar) dikurangi Rp5 miliar yang sudah dikembalikan Setnov.
"Namun saya tetap menghormati menghargai, dan saya minta waktu untuk mempelajari dan berkonsultasi dengan keluarga dan pengacara," tambah Setnov.
Ia mengaku dari awal tidak mengikuti penganggaran dan pengadaan KTP-E.
"Masalah PNRI(Percetakan Negara RI), masalah vendor tidak sesuai dengan persidangan semua. Dari awal saya tidak pernah mengikuti dan mengetahui dan tentu inilah yang saya sangat kaget," ungkap Setnov yang saat menjalani sidang vonis tetap ditemani oleh istrinya Deisti Astriani Tagor.
Namun tidak ada politisi Partai Golkar yang kadang mengikuti sidang Setnov seperti Menteri Sosial Idrus Marham dan Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono.
"Banyak tuh yang hadir di belakang tapi tidak pakai seragam emang," tambah Setnov.
Setnov juga mengaku masih belum memutuskan apakah akan mengajukan banding ataukah menerima putusan.
"Yang jelas saya dengan KPK sudah sangat kooperatif. Saya sudah mengikuti apa semua dengan baik. Baik kepada penyidik, JPU saya hormat dan saya telah melaksanakan sebaik mungkin. Tentu ini menjadi pertimbangan buat pimpinan. Kita lihat nanti, kita lihat nanti," jelas Setnov.
Vonis Setnov berdasarkan dakwaan kedua dari Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Vonis lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Setya Novanto dituntut 16 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sejumlah 7,435 juta dolar AS dan dikurangi Rp5 miliar subsider 3 tahun penjara.
Majelis hakim yang terdiri atas Yanto sebagai ketua majelis hakim dengan anggota majelis Frangki Tambuwun, Emilia Djajasubagja, Anwar dan Sukartono juga mencabut hak politik terdakwa untuk menduduki jabatan tertentu selama beberapa waktu.
"Mencabut hak terdakwa dalam menduduki jabatan publik selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pemidaan," ungkap hakim Yanto.
Hakim pun menolak permohonan Setya Novanto sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) seperti dalam tuntutan JPU KPK.
"Karena jaksa penuntut umum menilai tedakwa belum memenuhi syarat untuk dijadikan saksi pelaku yang bekerja sama maka majelis hakim tidak dapat mempertimbangkan permohonan terdakwa," kata hakim Anwar.
Baca juga: KPK minta keberatan eksepsi penasehat hukum Setnov di tolak
"Saya sangat 'shock'. Apa yang didakwakan dan apa yang disampaikan tentu perlu dipertimbangkan karena tidak sesuai dengan persidangan yang ada," kata Setya Novanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
Dalam perkara ini, Setnov divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah pembayaran uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar AS (dengan kurs Rp9000 saat itu adalah Rp65,7 miliar) dikurangi Rp5 miliar yang sudah dikembalikan Setnov.
"Namun saya tetap menghormati menghargai, dan saya minta waktu untuk mempelajari dan berkonsultasi dengan keluarga dan pengacara," tambah Setnov.
Ia mengaku dari awal tidak mengikuti penganggaran dan pengadaan KTP-E.
"Masalah PNRI(Percetakan Negara RI), masalah vendor tidak sesuai dengan persidangan semua. Dari awal saya tidak pernah mengikuti dan mengetahui dan tentu inilah yang saya sangat kaget," ungkap Setnov yang saat menjalani sidang vonis tetap ditemani oleh istrinya Deisti Astriani Tagor.
Namun tidak ada politisi Partai Golkar yang kadang mengikuti sidang Setnov seperti Menteri Sosial Idrus Marham dan Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono.
"Banyak tuh yang hadir di belakang tapi tidak pakai seragam emang," tambah Setnov.
Setnov juga mengaku masih belum memutuskan apakah akan mengajukan banding ataukah menerima putusan.
"Yang jelas saya dengan KPK sudah sangat kooperatif. Saya sudah mengikuti apa semua dengan baik. Baik kepada penyidik, JPU saya hormat dan saya telah melaksanakan sebaik mungkin. Tentu ini menjadi pertimbangan buat pimpinan. Kita lihat nanti, kita lihat nanti," jelas Setnov.
Vonis Setnov berdasarkan dakwaan kedua dari Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Vonis lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Setya Novanto dituntut 16 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sejumlah 7,435 juta dolar AS dan dikurangi Rp5 miliar subsider 3 tahun penjara.
Majelis hakim yang terdiri atas Yanto sebagai ketua majelis hakim dengan anggota majelis Frangki Tambuwun, Emilia Djajasubagja, Anwar dan Sukartono juga mencabut hak politik terdakwa untuk menduduki jabatan tertentu selama beberapa waktu.
"Mencabut hak terdakwa dalam menduduki jabatan publik selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pemidaan," ungkap hakim Yanto.
Hakim pun menolak permohonan Setya Novanto sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) seperti dalam tuntutan JPU KPK.
"Karena jaksa penuntut umum menilai tedakwa belum memenuhi syarat untuk dijadikan saksi pelaku yang bekerja sama maka majelis hakim tidak dapat mempertimbangkan permohonan terdakwa," kata hakim Anwar.
Baca juga: KPK minta keberatan eksepsi penasehat hukum Setnov di tolak