Poso, (Antaranews Sulteng) – Institut Mosintuwu Poso bekerja sama dengan desa dan kelurahan di Kabupaten Poso menyelenggarakan Festival Mosintuwu (Kebersamaan) bertujuan menjaga alam dan pengetahuan di Tentena, 3-5 Desember 2018,
Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali di Poso, Selasa mengatakan festival yang masuk tahun ketiga itu, mengusung tema mengingat, merayakan pengetahuan dan alam Poso.
Festival itu merupakan sebuah perayaan bersama atas hasil panen desa serta upaya untuk menguatkan komitmen bersama masyarakat desa, dalam menjalani nilai-nilai hidup yang mengakar pada budaya, agama, dan kearifan lokal tanah Poso.
“Festival Mosintuwu adalah rangkaian upaya bersama warga desa membuat sejarah baru Tana Poso sebagai tanah harapan bagi kita semua, lintas desa, lintas generasi dan lintas agama,” kata Lian.
Festival itu juga merupakan ruang bagi warga desa untuk menjaga ingatan kearifan lokal dalam mengelola alam, mengingat supaya tidak lupa akar budaya, serta tidak melupakan identitas.
Festival Mosintuwu tahun 2018, juga menghadirkan sesi berbagi informasi tentang sesar Palu-Koro, untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan gempa sekaligus mendorong kesadaran atas pentingnya hidup yang harmoni dengan alam.
Ketika bencana terjadi kata Lian, Institut Mosintuwu memfasilitasi bantuan masyarakat desa di Poso untuk memberikan sumbangan bagi korban bencana di Palu, Donggala dan Sigi dalam bentuk gerakan dapur umum.
Kata Lian, terhitung hingga awal November 2018, gerakan kebersamaan itu mendukung 92 dapur umum yang memberikan akses makan pada 15.000 orang setiap harinya di wilayah pengungsian Palu, Donggala dan Sigi.
“Bagi To Poso (orang Poso), kami menghayati kebersamaan dan solidaritas dengan sesama seperti Mesale, di mana warga bergotong royong menyumbangkan waktu dan tenaga untuk memberikan bantuan tanpa berharap imbalan di masa mendatang,” kata salah satu tokoh adat di Poso, Kabaya.
Pangan menjadi pusat gerakan mengingat pengetahuan dan alam Poso, hal ini antara lain terlihat dalam serangkaian agenda festival, yang antara lain meliputi karnaval yang diikuti berbagi hasil bumi, berbagi bibit, pasar desa dan kuliner Poso.
Kemudian Molimbu yaitu sebuah acara makan bersama-sama, galeri usaha desa, bertemu para pengrajin, cerita tradisi kebudayaan, teater anak, dokumentasi video, hingga festival musik tradisional.
Selain itu, juga diselenggarakan beberapa workshop, mulai dari workshop usaha desa, kopi, fotografi, menulis, ekowisata, musik, kuliner, dan dongeng. Puncaknya adalah pemberian Mosintuwu Award, sebuah penghargaan tertinggi untuk para penjaga kebudayaan Tana Poso.
“Kami mempercayai bahwa festival ini melampaui sebuah event, karena menjadi ruang dimana ingatan atas kearifan lokal dari pengetahuan dan alam Poso dirawat bersama, sehingga bisa jadi pondasi membangun Tana Poso,” kata Lian menegaskan.
Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali di Poso, Selasa mengatakan festival yang masuk tahun ketiga itu, mengusung tema mengingat, merayakan pengetahuan dan alam Poso.
Festival itu merupakan sebuah perayaan bersama atas hasil panen desa serta upaya untuk menguatkan komitmen bersama masyarakat desa, dalam menjalani nilai-nilai hidup yang mengakar pada budaya, agama, dan kearifan lokal tanah Poso.
“Festival Mosintuwu adalah rangkaian upaya bersama warga desa membuat sejarah baru Tana Poso sebagai tanah harapan bagi kita semua, lintas desa, lintas generasi dan lintas agama,” kata Lian.
Festival itu juga merupakan ruang bagi warga desa untuk menjaga ingatan kearifan lokal dalam mengelola alam, mengingat supaya tidak lupa akar budaya, serta tidak melupakan identitas.
Festival Mosintuwu tahun 2018, juga menghadirkan sesi berbagi informasi tentang sesar Palu-Koro, untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan gempa sekaligus mendorong kesadaran atas pentingnya hidup yang harmoni dengan alam.
Ketika bencana terjadi kata Lian, Institut Mosintuwu memfasilitasi bantuan masyarakat desa di Poso untuk memberikan sumbangan bagi korban bencana di Palu, Donggala dan Sigi dalam bentuk gerakan dapur umum.
Kata Lian, terhitung hingga awal November 2018, gerakan kebersamaan itu mendukung 92 dapur umum yang memberikan akses makan pada 15.000 orang setiap harinya di wilayah pengungsian Palu, Donggala dan Sigi.
“Bagi To Poso (orang Poso), kami menghayati kebersamaan dan solidaritas dengan sesama seperti Mesale, di mana warga bergotong royong menyumbangkan waktu dan tenaga untuk memberikan bantuan tanpa berharap imbalan di masa mendatang,” kata salah satu tokoh adat di Poso, Kabaya.
Pangan menjadi pusat gerakan mengingat pengetahuan dan alam Poso, hal ini antara lain terlihat dalam serangkaian agenda festival, yang antara lain meliputi karnaval yang diikuti berbagi hasil bumi, berbagi bibit, pasar desa dan kuliner Poso.
Kemudian Molimbu yaitu sebuah acara makan bersama-sama, galeri usaha desa, bertemu para pengrajin, cerita tradisi kebudayaan, teater anak, dokumentasi video, hingga festival musik tradisional.
Selain itu, juga diselenggarakan beberapa workshop, mulai dari workshop usaha desa, kopi, fotografi, menulis, ekowisata, musik, kuliner, dan dongeng. Puncaknya adalah pemberian Mosintuwu Award, sebuah penghargaan tertinggi untuk para penjaga kebudayaan Tana Poso.
“Kami mempercayai bahwa festival ini melampaui sebuah event, karena menjadi ruang dimana ingatan atas kearifan lokal dari pengetahuan dan alam Poso dirawat bersama, sehingga bisa jadi pondasi membangun Tana Poso,” kata Lian menegaskan.