Jakarta (antarasulteng.com), Sesuai dengan keputusan sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)yang kini berubah nama menjadi Organisasi Kerja Sama Islam , jumlah besaran kuota haji disepakati satu per seribu orang dari negara berpenduduk Islam.
Artinya jika penduduk dari satu negara Islam tercatat 220 juta, maka Kerajaan Arab Saudi menetapkan warga dari negara muslim bersangkutan besarannya kuota haji sebanyak 220 ribu.
Kuota dalam pemahaman "awam" adalah jatah; jumlah yang angkanya sudah ditentukan. Dan terkait dengan penyelenggaraan haji, jumlahnya ditentukan oleh pemerintah Arab Saudi selaku tuan rumah.
Dalam praktek, kisaran besarnya kuota haji tak selamanya tepat mengikuti banyaknya jumlah penduduk. Data jumlah penduduk Indonesia menurut Bank Dunia tahun 2012 diperkirakan mencapai 244.775.796 jiwa. Tapi, kuota haji yang diberikan pemerintah Arab Saudi sebanyak 211 ribu orang pada 2012.
Tak sesuainya kuota haji dengan jumlah penduduk muslim itu bisa terjadi karena pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengambil kebijakan terkait adanya pembongkaran di sekitar kompleks Masjidil Haram pada tahun ini. Dan, semua negara Muslim yang mengalami hal sama memaklumi hal itu.
Meski sidang OKI menetapkan rumus satu permil dari jumlah penduduk Muslim, realitasnya kebijakan pemberian kuota itu tergantung dari tuan rumah sebagai pihak penerima tamu Allah yang melaksanakan dan menyelenggarakan ibadah haji.
Seperti banyak diberitakan sebelumnya, pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah Arab Saudi selalu memberi tambahan kuota ketika pemerintah Indonesia memintanya.
Baru terakhir pada 2012, Kementerian Agama yang meminta tambahan kuota sebanyak 10 ribu orang tak diluluskan. Alasan yang mengemuka dari pemerintah Arab Saudi salah satunya adalah sejumlah bangunan di sekitar kawasan Masjidil Haram dibongkar.
Tegasnya, Indonesia tak mendapat tambahan kuota dan hanya mendapatkan jemaah yang berangkat tercatat sekitar 211 ribu orang, sesuai kuota.
Tak relevan
Lantas, dimana relevansinya dangan istilah haji nonkuota. Masyarakat selama ini memaknai haji nonkuota sebagai orang yang menunaikan ibadah haji di luar kuota yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
Jika demikian, mengapa pemerintah Arab Saudi tak menolak kedatangan calon haji dari tanah air. Dalam kenyataannya, ketika calon haji tiba di Bandara King Abdul Aziz, para petugas imigrasi setempat melayani dengan baik dan mempersilahkan masuk ke negeri petro dolar itu untuk menunaikan ibadah rukun kelima, yaitu haji.
Alasan petugas imigrasi Arab Saudi mengizinkan masuk ke tanah suci (sepanjang musim haji) tatkala orang bersangkutan memiliki visa haji. Dimata petugas imigrasi, kedutaan kerajaan Arab Saudi, sejatinya tak mengenal istilah haji nonkuota. Pasalnya, besaran dari jumlah kuota dan visa haji yang dikeluarkan pemerintah itu sama besarnya setiap tahun.
Ketika Indonesia mendapat kuota 221 ribu orang pada tahun 2011, misalnya, tentu jumlah visa haji yang dikeluarga pemerintah Kerajaan Arab Saudi sama besarnya. Jadi, istilah haji nonkuota yang digunakan selama ini tak relevan lagi.
Namun harus diakui kuota yang diberikan Kerajaan Arab Saudi tak selamanya dapat terserap. Peluang kuota tak terserap pun sepanjang tahun semakin besar angkanya tatkala pemerintah Arab Saudi memberikan tambahan kuota nasional bagi Indonesia. Seperti dua tahun lalu, Indonesia mendapat tambahan kuota yang mencapai 10 ribu yang kemudian oleh Kementerian Agama dengan cepat didistribusikan ke berbagai daerah.
Berapa besaran angka sisa kuota tak terserap yang terjadi setiap tahun itu? Detail angkanya hanya ada di Kedutaan Besar Arab Saudi.
Oknum spekulan
Yang menarik, tatkala musim pemberangkatan haji berlangsung, biasanya ada oknum spekulan bermain. Oknum tersebut melakukan pendekatan ke petugas kedutaan. Pada momentum seperti itu, oknum spekulan berani memasang "price" satu satu seat(kursi) dengan harga jual sekitar Rp10 juta.
Hal ini logis, permintaan semakin tinggi tentu harga pun naik. Sesuai hukum pasar, tentunya. Dan, biasanya visa haji baru dapat dikeluarkan saat calon haji yang diberangkatkan sudah memiliki tiket, ada biro perjalanan yang mengkoordinasikan dan memenuhi persyaratan lainnya.
Kepala Bagian Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kemenag Amin Akkas, bercerita, untuk memudahkan proses mendapatkan visa haji tersebut, biasanya oknum spekulan yang bekerja sama dengan biro perjalanan haji bersangkutan -- sudah memboyong calon haji dari daerah ke ibukota (Jakarta). Hal ini dimaksudkan oleh oknum spekulan agar memudahkan keberangkatan jika visa haji dapat dikeluarkan kedutaan Arab Saudi.
Dua tahun silam cara yang dilakukan oknum spekulan untuk mendapatkan visa haji di luar jalur Kementerian Agama banyak yang sukses.
Tapi, pada 2012 ini banyak yang mengalami kegagalan. Pasalnya, menurut Amin, persaingan antaroknum spekulan untuk mendapatkan visa haji secara langsung ke Kedutaan Besar Arab Saudi demikian ketat. Bisa jadi ketika terjadi persaingan tersebut tentu ada oknum spekulan yang gagal memperoleh visa haji lantaran tak ada lagi visa yang dapat diperjualbelikan.
Maka, banyak kisah duka orang gagal berangkat haji menghiasi media massa sebagai akibat dari tak mendapatkan visa haji dari Kedutaan Besar Arab Saudi. Termasuk jadi korban kedua orang tua artis Ayu Tingting.
Jadi, orang yang menunaikan ibadah haji dengan mendapatkan visa haji dari Kedutaan Besar Arab Saudi tanpa melalui Kementerian Agama sesungguhnya lebih tepat disebut haji non-Kementerian Agama (haji non-Kemenag). Sebab, cara memperolehnya melalui antar-oknum Kedutaan Besar sebagai pemegang kuota haji "bermain" dengan para spekulan untuk mendapatkan visa haji.
Kuota haji Indonesia secara internasional yang diterima Indonesia besarannya tentu sesuai (atau paralel) dengan jumlah visa yang dikeluarkan pemerintah Arab Saudi.
Sisa kuota haji itulah yang dijadikan "komoditas" oleh para oknum. Para oknum itu bisa meloloskan calon jemaah dan menembus pemeriksaan imigrasi Arab Saudi karena memegang visa haji.
Dengan demikian istilah haji non-Kemenag lebih tepat digunakan dan perlu dibakukan. Sebab, jika jajaran kementerian itu tetap saja menggunakan haji nonkuota berarti mengandung makna orang pergi haji tidak memiliki visa haji. Bukan haji nonkuota.(E001/SKD)
Artinya jika penduduk dari satu negara Islam tercatat 220 juta, maka Kerajaan Arab Saudi menetapkan warga dari negara muslim bersangkutan besarannya kuota haji sebanyak 220 ribu.
Kuota dalam pemahaman "awam" adalah jatah; jumlah yang angkanya sudah ditentukan. Dan terkait dengan penyelenggaraan haji, jumlahnya ditentukan oleh pemerintah Arab Saudi selaku tuan rumah.
Dalam praktek, kisaran besarnya kuota haji tak selamanya tepat mengikuti banyaknya jumlah penduduk. Data jumlah penduduk Indonesia menurut Bank Dunia tahun 2012 diperkirakan mencapai 244.775.796 jiwa. Tapi, kuota haji yang diberikan pemerintah Arab Saudi sebanyak 211 ribu orang pada 2012.
Tak sesuainya kuota haji dengan jumlah penduduk muslim itu bisa terjadi karena pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengambil kebijakan terkait adanya pembongkaran di sekitar kompleks Masjidil Haram pada tahun ini. Dan, semua negara Muslim yang mengalami hal sama memaklumi hal itu.
Meski sidang OKI menetapkan rumus satu permil dari jumlah penduduk Muslim, realitasnya kebijakan pemberian kuota itu tergantung dari tuan rumah sebagai pihak penerima tamu Allah yang melaksanakan dan menyelenggarakan ibadah haji.
Seperti banyak diberitakan sebelumnya, pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah Arab Saudi selalu memberi tambahan kuota ketika pemerintah Indonesia memintanya.
Baru terakhir pada 2012, Kementerian Agama yang meminta tambahan kuota sebanyak 10 ribu orang tak diluluskan. Alasan yang mengemuka dari pemerintah Arab Saudi salah satunya adalah sejumlah bangunan di sekitar kawasan Masjidil Haram dibongkar.
Tegasnya, Indonesia tak mendapat tambahan kuota dan hanya mendapatkan jemaah yang berangkat tercatat sekitar 211 ribu orang, sesuai kuota.
Tak relevan
Lantas, dimana relevansinya dangan istilah haji nonkuota. Masyarakat selama ini memaknai haji nonkuota sebagai orang yang menunaikan ibadah haji di luar kuota yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
Jika demikian, mengapa pemerintah Arab Saudi tak menolak kedatangan calon haji dari tanah air. Dalam kenyataannya, ketika calon haji tiba di Bandara King Abdul Aziz, para petugas imigrasi setempat melayani dengan baik dan mempersilahkan masuk ke negeri petro dolar itu untuk menunaikan ibadah rukun kelima, yaitu haji.
Alasan petugas imigrasi Arab Saudi mengizinkan masuk ke tanah suci (sepanjang musim haji) tatkala orang bersangkutan memiliki visa haji. Dimata petugas imigrasi, kedutaan kerajaan Arab Saudi, sejatinya tak mengenal istilah haji nonkuota. Pasalnya, besaran dari jumlah kuota dan visa haji yang dikeluarkan pemerintah itu sama besarnya setiap tahun.
Ketika Indonesia mendapat kuota 221 ribu orang pada tahun 2011, misalnya, tentu jumlah visa haji yang dikeluarga pemerintah Kerajaan Arab Saudi sama besarnya. Jadi, istilah haji nonkuota yang digunakan selama ini tak relevan lagi.
Namun harus diakui kuota yang diberikan Kerajaan Arab Saudi tak selamanya dapat terserap. Peluang kuota tak terserap pun sepanjang tahun semakin besar angkanya tatkala pemerintah Arab Saudi memberikan tambahan kuota nasional bagi Indonesia. Seperti dua tahun lalu, Indonesia mendapat tambahan kuota yang mencapai 10 ribu yang kemudian oleh Kementerian Agama dengan cepat didistribusikan ke berbagai daerah.
Berapa besaran angka sisa kuota tak terserap yang terjadi setiap tahun itu? Detail angkanya hanya ada di Kedutaan Besar Arab Saudi.
Oknum spekulan
Yang menarik, tatkala musim pemberangkatan haji berlangsung, biasanya ada oknum spekulan bermain. Oknum tersebut melakukan pendekatan ke petugas kedutaan. Pada momentum seperti itu, oknum spekulan berani memasang "price" satu satu seat(kursi) dengan harga jual sekitar Rp10 juta.
Hal ini logis, permintaan semakin tinggi tentu harga pun naik. Sesuai hukum pasar, tentunya. Dan, biasanya visa haji baru dapat dikeluarkan saat calon haji yang diberangkatkan sudah memiliki tiket, ada biro perjalanan yang mengkoordinasikan dan memenuhi persyaratan lainnya.
Kepala Bagian Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kemenag Amin Akkas, bercerita, untuk memudahkan proses mendapatkan visa haji tersebut, biasanya oknum spekulan yang bekerja sama dengan biro perjalanan haji bersangkutan -- sudah memboyong calon haji dari daerah ke ibukota (Jakarta). Hal ini dimaksudkan oleh oknum spekulan agar memudahkan keberangkatan jika visa haji dapat dikeluarkan kedutaan Arab Saudi.
Dua tahun silam cara yang dilakukan oknum spekulan untuk mendapatkan visa haji di luar jalur Kementerian Agama banyak yang sukses.
Tapi, pada 2012 ini banyak yang mengalami kegagalan. Pasalnya, menurut Amin, persaingan antaroknum spekulan untuk mendapatkan visa haji secara langsung ke Kedutaan Besar Arab Saudi demikian ketat. Bisa jadi ketika terjadi persaingan tersebut tentu ada oknum spekulan yang gagal memperoleh visa haji lantaran tak ada lagi visa yang dapat diperjualbelikan.
Maka, banyak kisah duka orang gagal berangkat haji menghiasi media massa sebagai akibat dari tak mendapatkan visa haji dari Kedutaan Besar Arab Saudi. Termasuk jadi korban kedua orang tua artis Ayu Tingting.
Jadi, orang yang menunaikan ibadah haji dengan mendapatkan visa haji dari Kedutaan Besar Arab Saudi tanpa melalui Kementerian Agama sesungguhnya lebih tepat disebut haji non-Kementerian Agama (haji non-Kemenag). Sebab, cara memperolehnya melalui antar-oknum Kedutaan Besar sebagai pemegang kuota haji "bermain" dengan para spekulan untuk mendapatkan visa haji.
Kuota haji Indonesia secara internasional yang diterima Indonesia besarannya tentu sesuai (atau paralel) dengan jumlah visa yang dikeluarkan pemerintah Arab Saudi.
Sisa kuota haji itulah yang dijadikan "komoditas" oleh para oknum. Para oknum itu bisa meloloskan calon jemaah dan menembus pemeriksaan imigrasi Arab Saudi karena memegang visa haji.
Dengan demikian istilah haji non-Kemenag lebih tepat digunakan dan perlu dibakukan. Sebab, jika jajaran kementerian itu tetap saja menggunakan haji nonkuota berarti mengandung makna orang pergi haji tidak memiliki visa haji. Bukan haji nonkuota.(E001/SKD)