SAMPAH mikro plastik kini menjadi problem cukup besar di dunia, karena telah berada dalam rantai makanan hewan yang hidup di perairan maupun di daratan.  

Sejumlah hasil penelitian menemukan terdapat mikro plastik (potongan plastik sangat kecil) di dalam sistem pecernaan ikan dan ternak besar seperti sapi, kambing dan lainnya. Bahkan informasi terakhir di dalam air mineral kemasan juga benda telah ini telah ditemukan. 

Hanya saja belum diperoleh  informasi apakah mikro plastik itu dapat diserap oleh sistem pencernaan dan kemudian terbawa ke sistem peredaran darah, mengingat plastik sangat sulit terurai dan memerlukan waktu panjang.  

Masuknya benda yang sulit dicerna, dan telah berada dalam rantai makanan tentunya bisa menimbulkan masalah bagi kesehatan manusia. Dugaan para ahli, gangguan bisa berdampak pada  hati, ginjal bahkan bisa menimbulkan penyakit kanker. 

Kita dapat belajar dari pengalamankasus penyakit menakutkan “Minamata” di Jepang yaitu sejumlah anak yang lahir dalam keadaan cacat. Penyakit ini terlihat setelah puluhan tahun masyarakat sekitar Nagashaki dan Hirosyima mengonsumsi ikan yang ternyata mengandung logam berat sebagai dampak dari bom atom yang dijatuhkan di wilayah itu pada perang dunia II. 

Sifat logam berat mirip dengan plastik yang sulit terurai sehingga terus meningkat konsentrasinya dalam rantai makanan.

   

Rumput laut solusinya

Berbagai Negara termasuk Indonesia telah mengampanyekan larangan menggunakan kemasan dan kantong yang terbuat dari plastik karena dalam kurun waktu panjang dipandang akan berbahaya.

Upaya ini bertujuan  mengurangi volume plastik yang masuk ke dalam ekosistem, namun diperkirakan masih sulit memutus alirannya secara terkendali karena terkait dengan attitude atau kebiasaan masyarakat.  
Karena itu diperlukan alternatif bahan pengganti yang aman dan sekaligus bermanfaat bagi kesehatan dan akan  memutus aliran limbah plastik tersebut. 

Sejumlah penelitian menunjukan bahwa rumput laut yang potensinya sangat besar di Indonesia dapat menggantikan plastik yang selama ini menjadi bungkus makanan, wadah minuman bahkan keranjang dalam bentuk tas kresek.  

Beberapa Negara seperti Korsel, Jepang, Amerika  telah mulaimenerapkan konsep tersebut.  Saat ini  bisa ditemukan makanan ringan (snack) yang terbungkus oleh lembaran tipis rumput laut  yang dapat dikonsumsi langsung tanpa melepas bungkusan itu.  Demikian juga dengan minuman dan makanan dalam kemasan.  
Bekas kemasan tidak berbahaya bila dibuang dan masuk dalam ekosistem,  karena kandungan keragianan, agar dan beberapa komponen organik lainnya mudah terurai bahkan dapat menjadi makanan bagi ikan dan ternak karena memiliki nilai gizi yang baik.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukan, Indonesia harus dapat memanfaatkan kesempatan ini sebagai produsen kemasan berbahan baku rumput laut yang menggantikan plastik. Jangan sampai terjadi negeri ini justru mengimpor kemasan itu dari negara lain.

Sulteng miliki potensi besar

Sulawesi Tengah salah satu provinsi bercirikan kepulauan dan sangat potensial untuk pengembangan rumput laut. Luas wilayah perairan provinsi ini 189.480 km2, garis pantai 6.653,31, desa Pesisir 943 desa dan jumlah pulau-pulau kecil 1.604 buah, merupakan anugerah yang luar biasa. 

Produksi rumput laut daerah ini sebesar 1,2 juta ton basah (setara 120 ribu ton kering) dan masih sangat berpeluang untuk ditingkatkan.  Prestasi produksi ini telah  menempatkan Sulteng sebagai penghasil rumput laut terbesar bersama Sulsel dan Nusa Tenggara Barat.  

Beberapa permasalahan rumput laut di Indonesia antara lain tingginya fluktuasi harga, sehingga belum dapat menjadi usaha pokok, rendahnya produktifitas dan mutu rumput laut, karena masih menggantungkan bibit yang diperoleh secara vegetatif dari kawasan budidaya sekitarnya, belum diproduksi dengan cara modern melalui kebun bibit yang asal induknya hasil  kultur jaringan. 

Upaya mengembangkan rumput laut sebagai bahan pengganti plastik akan  menjadi peluang bisnis baru di negeri ini, yang kebutuhannya pasti meningkat tajam. Selain itu rumput laut juga telah dimanfaatkan untuk makanan, kesehatan, industri, farmasi, biofull, pupuk bahkan telah dijadikan sayuran.

Saat ini Thailand telah berhasil mengembangkan 20 jenis rummput laut  jenis sayuran yang akan menggantikan sayuran dari darat.

MoU kultur jaringan

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan pada 14 Februari 2019 di Bogor akan melaksanakan workshop dan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Lembaga Penelitian BIOTROP Bogor, di bawah Kementrian Dikti yang telah berhasil menemukan dan mengembangkan rumput laut dengan metoda kultur jaringan. 

Disamping itu juga dirancang MoU antara Biotrop dan Universitas Tadulako. Peserta workshop adalah Biotrop, Dinas KP Provinsi dan Kabupaten; Bappeda Provinsi dan Kabupaten, DPR Provinsi, Kamar Dagang Industri dan Untad. 

MoU ini akan dilaksanakan selama lima tahun dengan rencana aksi tahun ke-2 kebun bibit rumput laut di Sulteng sudah menggunakan induk hasil kultur jaringan dan selanjutnya tahun ke-4 atau ke-5 di Sulteng sudah siap  tiga titik laboratorium kultur jaringan yang lokusnya di Selat Makassar-Laut Sulawesi; Teluk Tomini dan Teluk Tolo.  

Output dan outcome yang diharapkan dari MoU ini adalah terjadinya transformasi teknologi untuk DKP dan universitas untuk diteruskan ke masyarakat; terbangunnya laboratorium kultur jaringan; meningkatnya produktifitas dan mutu rumput laut; membuka lapangan kerja dan peningkatan pendapatan dan selanjutnya bermuara kepada pertumbuhan ekonomi daerah.

Ini tentu akan memberi dampak yang cukup signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Semoga. *) Kadis Kelautan dan Perikanan Sulteng. 
  Panen rumput laut (FOTO ANTARA/Zabur Karuru)  
 

Pewarta : Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP*)
Editor : Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2024