Mekkah (ANTARA) - Amirul Hajj Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bangga kepada warga Nahdlatul Utama (NU) dalam kemampuannya berbudaya sebab salah satunya tradisi NU yakni salawatan dan tahlilan mulai diterima masyarakat Arab Saudi.
"Kita bangga sekaligus bersyukur, shalawat dan tahlilan yang merupakan tradisi NU mulai diterima masyarakat Arab," kata Menag yang juga Amirul Hajj dalam acara Silaturahim NU se-Dunia di Mekkah yang digelar di Hotel Al Tayseer Tower, Jarwal, Mekkah, Kamis.
Ia mencontohkan banyak pemilik hotel di Arab Saudi ketika menyambut kedatangan jamaah haji asal Indonesia dengan lantunan salawat yang biasa terdengar di Tanah Air.
Untuk beberapa kloter awal yang datang pada gelombang pertama ke Mekkah memang banyak yang disambut dengan shalawatan oleh para pemilik hotel di Kota Mekkah.
"Saya tahun lalu meresmikan sebuah gedung di dekat Daker dengan acara sesuai tradisi Nahdliyin, dan pemilik hotel malah senang. Di jalan-jalan kita juga makin biasa disapa oleh orang Arab karena mereka suka keramahan orang Indonesia," tuturnya.
Lukman Hakim Saifuddin mengatakan secara jujur jika orang NU lebih bisa tersenyum bahkan tertawa karena kaidah NU sesungguhnya yang ramah, cinta damai, dan tidak suka marah-marah.
"Saya rasa, kalau boleh jujur, orang NU pasti lebih bisa senyum bahkan ketawa, karena sesungguhnya hidup ala NU itu memang lebih suka menebar ramah dan rahmah, dari pada marah-marah," ujarnya.
Menurut dia, salah satu yang menjadi keunggulan NU di mata orang lain adalah kemampuannya dalam berbudaya.
Oleh karena itu, ia berharap orang NU sebagai para penerus dakwah metode Walisongo jangan sampai melupakan bidang garapan ini.
"Sebab, di situlah ruang kreasi paling lentur untuk berdialog dengan zaman. Lewat budaya, kita dapat mengejawantahkan kaidah fikih almuhafazah ala al-qadim as-shalih, wal ahdzu bil-jadid al-aslah," katanya.
Pada kesempatan itu, ia mengajak para nahdliyin untuk meluruhkan segala perbedaan dan menyatukan kembali energi ke-NU-an (ghirah nahdhiyah) dengan meneguhkan komitmen bersama sesuai cita-cita pendiri NU, yaitu Islahul Ummah atau perbaikan umat dalam berbagai bidang; agama, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
Ia mengatakan semua orang bisa berposisi apa saja dan berada di mana saja, tapi jangan pernah lupa untuk menggelorakan ruh NU dan menjaga kekompakan sesama Nahdliyin.
Terlebih kata dia, jumlah Nahdliyin yang demikian besar tidaklah berupa kumpulan orang-orang dengan profil yang sama.
"Orang-orang NU terbagi dalam berbagai segmen yang tumbuh dalam kehidupannya masing-masing. Ada NU struktural dan NU kultural. Ada NU tradisional, NU profesional, sampai yang dicap NU liberal. Ada NU ashli (pakai shod), ada pula NU urban. Lalu, ada angkatan NU zaman kolonial sampai generasi NU milenial. Semakin dikategorisasi, makin banyak ragamnya. Di situlah uniknya NU, seperti keunikan pesantren yang menurut gurauan para peneliti, semakin dikaji makin bikin pusing sendiri," paparnya.
"Kita bangga sekaligus bersyukur, shalawat dan tahlilan yang merupakan tradisi NU mulai diterima masyarakat Arab," kata Menag yang juga Amirul Hajj dalam acara Silaturahim NU se-Dunia di Mekkah yang digelar di Hotel Al Tayseer Tower, Jarwal, Mekkah, Kamis.
Ia mencontohkan banyak pemilik hotel di Arab Saudi ketika menyambut kedatangan jamaah haji asal Indonesia dengan lantunan salawat yang biasa terdengar di Tanah Air.
Untuk beberapa kloter awal yang datang pada gelombang pertama ke Mekkah memang banyak yang disambut dengan shalawatan oleh para pemilik hotel di Kota Mekkah.
"Saya tahun lalu meresmikan sebuah gedung di dekat Daker dengan acara sesuai tradisi Nahdliyin, dan pemilik hotel malah senang. Di jalan-jalan kita juga makin biasa disapa oleh orang Arab karena mereka suka keramahan orang Indonesia," tuturnya.
Lukman Hakim Saifuddin mengatakan secara jujur jika orang NU lebih bisa tersenyum bahkan tertawa karena kaidah NU sesungguhnya yang ramah, cinta damai, dan tidak suka marah-marah.
"Saya rasa, kalau boleh jujur, orang NU pasti lebih bisa senyum bahkan ketawa, karena sesungguhnya hidup ala NU itu memang lebih suka menebar ramah dan rahmah, dari pada marah-marah," ujarnya.
Menurut dia, salah satu yang menjadi keunggulan NU di mata orang lain adalah kemampuannya dalam berbudaya.
Oleh karena itu, ia berharap orang NU sebagai para penerus dakwah metode Walisongo jangan sampai melupakan bidang garapan ini.
"Sebab, di situlah ruang kreasi paling lentur untuk berdialog dengan zaman. Lewat budaya, kita dapat mengejawantahkan kaidah fikih almuhafazah ala al-qadim as-shalih, wal ahdzu bil-jadid al-aslah," katanya.
Pada kesempatan itu, ia mengajak para nahdliyin untuk meluruhkan segala perbedaan dan menyatukan kembali energi ke-NU-an (ghirah nahdhiyah) dengan meneguhkan komitmen bersama sesuai cita-cita pendiri NU, yaitu Islahul Ummah atau perbaikan umat dalam berbagai bidang; agama, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
Ia mengatakan semua orang bisa berposisi apa saja dan berada di mana saja, tapi jangan pernah lupa untuk menggelorakan ruh NU dan menjaga kekompakan sesama Nahdliyin.
Terlebih kata dia, jumlah Nahdliyin yang demikian besar tidaklah berupa kumpulan orang-orang dengan profil yang sama.
"Orang-orang NU terbagi dalam berbagai segmen yang tumbuh dalam kehidupannya masing-masing. Ada NU struktural dan NU kultural. Ada NU tradisional, NU profesional, sampai yang dicap NU liberal. Ada NU ashli (pakai shod), ada pula NU urban. Lalu, ada angkatan NU zaman kolonial sampai generasi NU milenial. Semakin dikategorisasi, makin banyak ragamnya. Di situlah uniknya NU, seperti keunikan pesantren yang menurut gurauan para peneliti, semakin dikaji makin bikin pusing sendiri," paparnya.