Jakarta (ANTARA) - Musik rock yang dikemas dengan suara instrumen berdistorsi memang identik dengan maskulinitas, namun ada sebuah dekade saat kaum hawa tampil di panggung utama rock nusantara.

Lantunkan saja "Bintang Kehidupan", master piece lagu dari wanita kelahiran 27 Desember 1975 silam ini mampu menjadi legenda influencer rock era 1990-an, bahkan hingga saat ini lagu itu senantiasa terekam abadi. Ia adalah Nike Ardila, memulai karir menjadi seorang musisi dengan capaian luar biasa di usia muda yaitu 14 tahun 2 bulan.

Pada masa itu hit "Bintang Kehidupan" (1990) mampu menembus penjualan 2 juta copy, di mana pada saat itu tentu saja belum ada media sosial serta musik streaming yang mampu mendongkrak popularitas. Capaian murni dari seorang lady rocker sejati.

Sebenarnya pada usia 12 tahun ia pernah melakukan rekaman album dengan nama Nike Astrina, namun karena faktor lain album tersebut urung diorbitkan, sebelum akhirnya menjadi Nike Ardila.

Sayangnya, menginjak usia 19 tahun, legenda rock tersebut pergi untuk selamanya, kecelakaan lalu lintas membuat ia harus menggantung microphone serta menjadikan lengkingan sebagai karya abadi dalam rekaman saja.

Sedari awal memilih rock sebagai jalan hidupnya, 13 album sudah ia kemas dalam label dan sempat membintangi 21 film atau sinetron. "Seberkas Sinar", "Sandiwara Cinta", "Suara Hatiku", "Aku Takkan Bersuara", "Tinggalah Ku Sendiri" dan "Panggung Sandiwara", adalah lagu abadi yang menjadi bukti kemegahan suara emasnya yang masih mampu didengar hingga sekarang.

Meskipun karirnya tergolong singkat, ia menjelma simbol lady rocker era 1990-an, tak banyak lagi kaum hawa yang mampu meraih capain setelah era Nike Ardila. Bahkan penggemarnya hingga saat ini justru semakin bertambah merajai FanPage media sosial serta akun-akun penggemar yang semakin bertumbuh.

Komunitas penikmat lagunya pun semakin bertambah meskipun bukan lahir pada masa Nike Ardila masih hidup, hal tersebut menjadi bukti bahwa pelantun lagu "Matahariku" mampu dinobatkan sebagai lady rocker abadi Indonesia.

Menyusul usai era Nike Ardila, harapan kaum hawa dalam pementasan genre rock, dilanjutkan pada sosok Nicky Astria. Lahir pada 18 Oktober 1967 wanita ini , saat ini adalah kiblat dari semua ladyrock era 1990.

Getaran lirik "Jarum Neraka" (1985) mampu menjadi senjata ampuh mengisi kegersangan simbol lady rock pada 90-an. Lagu lainnya "Tangan Tangan Setan", "Gersang", "Uang", "Cinta Di Kota Tua", dan "Bias Sinar" tak lupa juga master piece "Mengapa".

Nicky pada masanya, mampu menyisihkan gempuran slow rock dari negeri Jiran pada masa itu. Demam lagu Malaysia pada saat itu sangat pekat menghiasi saluran radio dan televisi nasional.

Hingga saat ini ia tetap konsisten menempuh jalur rock untuk melepaskan ekspresi sebagai musisi. Meski baru saja menggelar konser kembali setelah sekian lama, Nicky mengakui bahwa sulit menelurkan regenarasi ladyrock Indonesia. Regenerasi penyanyi perempuan yang konsisten di genre musik rock berlangsung lambat.

Nicky Astria berpendapat kendala regenerasi Lady Rocker di industri musik masa kini tak lepas dari pertimbangan aspek komersil. "Karena susah dijualnya," ujar Nicky.

Ia berpendapat musik rock belum punya jaminan akan sukses secara komersil seperti genre musik lain, dangdut misalnya. Orang-orang yang berkecimpung di dunia musik, kata dia, kemungkinan besar memilih musik yang pasti laku dan diterima pasar. Fenomena itu juga terjadi ketika dia masih aktif bermusik.

Bedanya, saat itu rocker perempuan memang sedang naik daun. Nama-nama seperti Nike Ardilla dan Anggun C. Sasmi adalah sebagian dari penyanyi dari genre tersebut. "Pada masa saya, pertama kali lady rock lagi muncul banyak (termasuk) di (generasi) bawah-bawah saya," tutur musisi 51 tahun itu.

Seiring berjalannya waktu, musik rock mulai meredup. Penyanyi yang mengusung genre tersebut menghilang atau beralih ke genre yang lebih komersil. "Ada juga yang mengikuti alur, enggak berani tetap setia di rock karena memang susah, (rock) enggak selaku dangdut. Kalau dangdut memang enggak pernah mati," ujarnya.

Lantas, siapa penyanyi masa kini yang menurut Nicky menyandang gelar sebagai Lady Rocker?

"Tantri Kotak," jawab Nicky.


  Album Baru Nicky Astria. Penyanyi rock Nicky Astria memberikan penghargaan kepada musisi Ian Antono (kiri) atas dedikasinya terhadap perjalanan karir musiknya saat menghadiri peluncuran album "Retrospective" di Jakarta, Senin, (1/10). (FOTO ANTARA/Teresia May)

Hanya istilah?

Apakah lady rock bentuk pembatasan pada genre dan "jenis kelamin" pada musik? Sebuah pertanyaan mudah terucap namun kompleks untuk dijawab. Berbagai sudut pandang muncul untuk mengurai hipotesa pertanyaan tersebut.

“Ya karena musik rock itu susah dijual, apalagi penyanyi wanita. Berbeda dengan pop atau bahkan dangdut di mana penyanyi wanita mudah terkenal,” kata Nicky. Jawaban spontanitas namun cukup memberikan kesadaran bahwa hal tersebut bisa saja terjadi.

Nicky Astria bahkan membutuhkan waktu hampir dua tahun untuk menyiapkan sekali konser pada gelaran konser bertajuk “Terus Berlari” pada tahun 2019.

Waktu yang dibutuhkan untuk menyajikan produk audio dengan materi megah memang tidak singkat. Apalagi pasar musik rock Indonesia memang segmented.

Berbicara hal tersebut, band yang naik pada era 2000-an, Cokelat, yang sempat digawangi Kikan, muncul sebagai penyambung dahaga dengan mengedepankan vokalis wanita. Sempat beberapa penikmat musik menyebut Kikan, mantan vokalis Cokelat sebagai “the next lady rocker’.

Fakta memperlihatkan, Cokelat mampu menembus jajaran band papan atas dengan dikomandoi oleh vokalis wanita bergenre rock, tidak salah memang jika sebagian masyarakat menyematkan label lady rock kepada Kikan.

Tetapi, Ronny Cokelat (bassis) memiliki pandangan lain, bahwa menurutnya tidak mudah menyematkan label lady rock pada era 2000-am ke atas.

“Kalau Teh Nicky itu kan solois rock era 70-an yang mengusung slow rock, di mana hal itu tidak dipungkiri memang orang melihat dia sebagai simbol rock wanita pada masanya, namun era 2000-an ke atas, banyak sekali referensi jenis rock yang masuk, tidak hanya slow rock,” kata Ronny.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dengan banyaknya referensi tersebut, tentu saja akan membuat musik rock lebih memiliki banyak cabang dan akar lagi.

Terang saja hal itu membuat sebuah sematan lady rock menjadi beragam atau memiliki banyak pilihan, bukan hanya terpaku pada satu jenis aliran rock, misal slow rock pada saat itu.

Faktor industri

Menilik lebih dalam lagi, banyak obrolan “kelas warung” yang menilai bahwa lady rock di Indonesia sudah tidak bisa menelurkan generasi lagi setelah era keemasan Nike Ardila, Anggun C Sasmi Atiek CB dan Nicky Astria.

Seakan mereka adalah generasi terakhir yang pantas menyandang predikat lady rock. Apakah benar demikian?

Berdasarkan pendapat Mudya Mustamin, pengamat musik yang mendirikan portal berisikan musik-musik beraliran keras, menyampaikan dengan tegas bahwa sebenarnya istilah lady rock tersebut adalah tidak ada.

“Di luar negeri tidak ada istilah lady rocker,” tegas Mudya. Lebih lanjut ia menjelaskan lebih detail bahwa istilah tersebut muncul dari permintaan industri, di mana tentu saja agar lebih mudah dalam menjual musik, mengingat penyanyi rock wanita saat itu masih belum jamak.

Pada masa 80-an bermunculan banyak penyanyi wanita, dan istilah tersebut muncul pada era itu, sebagai tanggapan positif dari minat pasar atas digemarinya aliran slow rock.

“Jika pun Nike Ardila muncul pada era ini, belum tentu ia disebut lady rock,” katanya. “Tapi yang jelas rock adalah rock,” tutupnya.

Industri musik era saat ini memang memiliki pergeseran referensi musik, seiring berkembangnya teknologi serta kemudahan memainkan serta memproduksi musik.

Bisa saja rock saat ini masih ada, hanya saja berkembang dalam bentuk yang lain. Pentolan grup musik Padi yang sekarang menjelma menjadi “Padi Reborn”, sempat berkomentar tentang hal tersebut, Piyu Padi juga melihat adanya perkembangan musik yang berbeda era ini.

“Yang terasa sangat berbeda dari industri musik saat ini adalah proses pemasarannya, bagaimana karya itu bisa langsung didengar orang,” kata Piyu.

Piyu melihat bahwa musik modern harus lebih sigap dengan teknologi serta harus melebur dengan semua platform media yang ada.

Tetapi ada yang justru menjadi balik lagi menjadi konvensional, yaitu pemasaran .Ia berpendapat bahwa, musisi saat ini justru harus kembali menggunakan strategi “door to door” dalam menjual karyanya.

Zaman ketika era kaset pita, musisi akan lebih mudah menentukan media mana yang akan digunakan untuk promosi, karena media massa masih menjadi target utama sebagai saluran pemasaran.

Sedangkan saat ini, ketika musik lebih mudah diproduksi secara teknis, namun pemasaran justru harus mendatangi satu per satu media massa yang akan digunakan.

“Sekarang kami harus mendatangi satu per satu media massa untuk melakukan promo karya, kalau tidak sekarang karya susah akan dikenal oleh masyarakat secara luas,” katanya.
 

Pewarta : Afut Syafril Nursyirwan dan Nanien Yuniar
Uploader : Sukardi
Copyright © ANTARA 2024