Jakarta (ANTARA) - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyalahkan sistem e-budgeting atau penganggaran elektronik warisan dari pemerintahan sebelumnya karena tidak pintar atau smart sehingga menghasilkan anggaran janggal.
"Kalau ini adalah smart system, dia bisa melakukan pengecekan, verifikasi, bisa menguji. Ini sistem digital, tapi masih mengandalkan manual, sehingga kalau mau ada kegiatan-kegiatan, akhirnya jadi begini ketika menyusun RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah)," kata Anies di Balai Kota Jakarta, Rabu.
Sistem tersebut, kata Anies, sebetulnya telah digunakan pada era gubernur sebelumnya.
"Karena PR (pekerjaan rumah) ini, karena saya menerima warisan sistem dan saya tidak ingin meninggalkan sistem ini untuk gubernur berikutnya," ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan telah menemukan adanya kejanggalan anggaran dalam belanja alat tulis kantor (ATK) di dinas yang mencapai Rp1,6 triliun.
Namun Anies menyatakan tidak dengan memarahi anak buahnya karena masuknya anggaran yang tidak wajar dalam rancangan APBD 2020 DKI.
"Sebenarnya, kelihatan keren marahi anak buah, tapi bukan itu yang saya cari. Tapi ini ada masalah dan harus dikoreksi karena mengandalkan manual," ucap Anies.
Menurut Anies, jika pengecekannya adalah dengan sistem manual, pada akhirnya akan selalu berulang ditemukan masalah serupa.
"Kami perhatikan sistemnya harus diubah supaya begitu mengisi, hasil komponennya relevan," katanya.
Sebelumnya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyoroti beberapa anggaran yang janggal seperti lem aibon senilai Rp82 miliar di Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat, anggaran pengadaan pulpen sebesar Rp124 miliar di Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Timur, 7.313 unit komputer dengan harga Rp121 miliar di Dinas Pendidikan, serta beberapa unit peladen senilai Rp66 miliar di Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik.
Atas temuan yang tidak wajar itu, Anies mengaku bahwa dirinya telah mengecek satu persatu anggaran bersama pegawai satuan perangkat kerja daerah (SKPD) di wilayah DKI, bahkan telah menunjukkan keanehan anggaran yang diusulkan tersebut kepada para pegawai struktural.
"Saya tidak umumkan ke luar, karena saya mau koreksi dan tidak bisa seperti ini terus. Kalau diumumkan menimbulkan kehebohan dan gubernurnya kelihatan keren sih," tuturnya.
Anies mengaku dirinya berupaya untuk memperbaiki sistem tersebut agar tidak terulang kepada gubernur selanjutnya, sehingga proses penganggaran bisa berjalan dengan baik dan akuntabel tanpa menimbulkan polemik.
"Tujuannya agar gubernur berikutnya tidak menemukan masalah yang sama dengan yang saya alami," tuturnya menambahkan.
Sistem e-budgeting direncanakan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada 2013 melalui Peraturan Gubernur Nomor 145 tahun 2013. Sistem tersebut kemudian dijalankan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat menjabat gubernur pada 2015.
"Kalau ini adalah smart system, dia bisa melakukan pengecekan, verifikasi, bisa menguji. Ini sistem digital, tapi masih mengandalkan manual, sehingga kalau mau ada kegiatan-kegiatan, akhirnya jadi begini ketika menyusun RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah)," kata Anies di Balai Kota Jakarta, Rabu.
Sistem tersebut, kata Anies, sebetulnya telah digunakan pada era gubernur sebelumnya.
"Karena PR (pekerjaan rumah) ini, karena saya menerima warisan sistem dan saya tidak ingin meninggalkan sistem ini untuk gubernur berikutnya," ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan telah menemukan adanya kejanggalan anggaran dalam belanja alat tulis kantor (ATK) di dinas yang mencapai Rp1,6 triliun.
Namun Anies menyatakan tidak dengan memarahi anak buahnya karena masuknya anggaran yang tidak wajar dalam rancangan APBD 2020 DKI.
"Sebenarnya, kelihatan keren marahi anak buah, tapi bukan itu yang saya cari. Tapi ini ada masalah dan harus dikoreksi karena mengandalkan manual," ucap Anies.
Menurut Anies, jika pengecekannya adalah dengan sistem manual, pada akhirnya akan selalu berulang ditemukan masalah serupa.
"Kami perhatikan sistemnya harus diubah supaya begitu mengisi, hasil komponennya relevan," katanya.
Sebelumnya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyoroti beberapa anggaran yang janggal seperti lem aibon senilai Rp82 miliar di Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat, anggaran pengadaan pulpen sebesar Rp124 miliar di Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Timur, 7.313 unit komputer dengan harga Rp121 miliar di Dinas Pendidikan, serta beberapa unit peladen senilai Rp66 miliar di Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik.
Atas temuan yang tidak wajar itu, Anies mengaku bahwa dirinya telah mengecek satu persatu anggaran bersama pegawai satuan perangkat kerja daerah (SKPD) di wilayah DKI, bahkan telah menunjukkan keanehan anggaran yang diusulkan tersebut kepada para pegawai struktural.
"Saya tidak umumkan ke luar, karena saya mau koreksi dan tidak bisa seperti ini terus. Kalau diumumkan menimbulkan kehebohan dan gubernurnya kelihatan keren sih," tuturnya.
Anies mengaku dirinya berupaya untuk memperbaiki sistem tersebut agar tidak terulang kepada gubernur selanjutnya, sehingga proses penganggaran bisa berjalan dengan baik dan akuntabel tanpa menimbulkan polemik.
"Tujuannya agar gubernur berikutnya tidak menemukan masalah yang sama dengan yang saya alami," tuturnya menambahkan.
Sistem e-budgeting direncanakan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada 2013 melalui Peraturan Gubernur Nomor 145 tahun 2013. Sistem tersebut kemudian dijalankan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat menjabat gubernur pada 2015.