Palu - Orang Minang dikenal memiliki jiwa dagang dan semangat merantau. Dua hal ini sulit dipisahkan dan telah melekat pada diri masyarakat keturunan Minangkabau.
Alasan yang membuat orang Minang mampu bertahan di perantauan merupakan sesuatu yang patut didalami. Apakah dikarenakan nasib yang memaksa atau karena kesuksesan yang begitu mudah dicapai.
Berdasarkan pengalaman para perantau Minang di tanah Ambon Manise, mereka mampu bertahan di daerah kepulauan itu karena bisa menempatkan diri dan selalu berpedoman pada falsafah yang diwariskan nenek moyang Minangkabau; "Pai ka rantau mencari induak samang'.
"Artinya pergi ke rantau kita terlebih dahulu harus mencari bapak angkat," ujar sesepuh masyarakat Minang di Ambon H Busmar Rasyid (71), Kamis (13/6).
"Setidaknya ini merupakan satu bagian dari diplomasi dan menjadi kekuatan perantau Minang untuk bertahan," katanya menambahkan.
Menurut dia, meskipun hanya dengan mengandalkan "tulang delapan potong" (hanya mengandalkan apa yang ada di tubuh, red), namun kalau tekad untuk berusaha dan mengubah nasib serta selalu berpegang dengan falsafah Minang, maka pasti ada-ada saja jalan untuk menunju sukses.
"Saya sudah mengalami pahit getirnya merintis kehidupan pada awal menginjakkan kaki di tanah Ambon. Tapi semuanya masih dapat dilalui sampai sekarang," ujar bapak lima anak itu.
Ketika sampai di Ambon pada 1963, ia mengaku mulai belajar berdagang dengan bapak angkatnya yang keturunan China. Pada 1967 ia mulai berdagang sendiri secara kecil-kecilan di emparan-emperan toko.
Berbekal Kepercayaan
Ia memulai usahanya dengan hanya berbekal kepercayaan dari induk semangnya itu. Ia bahkan dibolehkan mengambil barang dagangan hingga senilai Rp5 juta dan diberikan keringan untuk mencicil Rp500 ribu per bulan.
"Kita tak punya modal dari kampung, tentu harus pandai-pandai setiba di rantau," ujar suami Hj Murni itu.
Pria asal Banuhampu, Kabupaten Agam itu mengaku bersyukur sampai saat ini masih dapat bertahan dengan usaha yang dijalankanya sejak puluhan tahun lalu.
Meski ketika meletusnya konflik pada 1999 dan rumahnya ludes dibakar massa, tapi semua itu tidak menyurutkan tekadnya untuk terus bertahan di tanah Ambon. Rumahnya dapat dibangun kembali di perkampungan Aster.
"Anak-anak kami seluruhnya dikuliahkan di Bandung," ujar Busmar yang sehari-hari berdagang kain itu.
Ia juga mengaku diterima dengan baik oleh masyarakat Ambon dan hingga kini memiliki hubungan baik dengan warga setempat.
Perantau lainnya H Ediwarman mengatakan, pertama kali masuk ke Ambon ia belajar berdagang dengan para pengurus dan anggota Ikatan Pedagang Seluruh Indonesia (IPSI) setempat.
Pada awalnya ia berdagang antarpulau mengikuti kapal yang mengangkut barang anggota IPSI.
Penasehat Ikatan Keluarga Minang (IKM) Kota Ambon asal Bukittinggi mengaku memegang prinsip hidup "dimana bumi dipijak, di situ langit dijujung."
"Inilah yang dibangun pada perantau Minang pendahulu di tanah Ambon Manise, sehingga sampai sekarang hubungan orang Minang dengan masyarakat setempat maupun dari suku manapun terjalin secara baik," katanya.
Ediwarman mengaku masuk ke Ambon pada tahun 1970, ketika masih berumur 15 tahun. Kini bapak tiga anak itu sudah berdagang dengan menyewa ruko di Pasar Amplas Ambon dan tiga anaknya juga kuliah di Bandung.
Menurut dia, dewasa ini masakan khas dan bahkan lagu-lagu Minang sangat populer di Ambon. Bahkan lagu-lagu Minang sering dinyanyikan di pesta-pesta perkawinan.
Perantau Minang di Ambon tidak saja berdagang di toko-toko, rumah toko atau di mal-mal. Sebagian juga ada yang berdagang di trotoar-trotoar di jantung kota itu, termasuk dengan berjualan lontong sayur.
"Awak (saya) sudah 30 puluh tahun menjual lontong sayur di pinggiran jalan di Pasar Amplas. Alhamdulillah bisa membiayai pendidikan anak-anak sampai ke perguruan tinggi," tutur Uni Ema.
Menurut dia, meski di Kota Ambon biaya hidup tergolong tinggi, namun dengan berdagang lontong sayur masih dapat menghidupi keluarga.
"Masakan Padang, baik nasi maupun lontong cukup sesuai dengan selera orang Ambon. Makanya hasil jualan saya bisa rata-rata Rp500 ribu per hari," katanya.
Suami Uni Ema sendiri membuka usaha reparasi jam. "Hasil usaha kami cukup lumayan, dapat untuk memperbaiki rumah di kampung dan juga membeli tanah di Batu Merah Ambon," katanya.
Jadi Pejabat
Perantau Minang di Ambon juga ada yang mampu menempatai posisi strategis di bidang pemerintahan, bahkan menjadi kepala daerah.
Putra berdarah Minang yang pernah menjadi Gubernur Maluku adalah Mumammad Padang pada periode 1968-1973. Kemudian Usman Padang menjabat Ketua DPRD Maluku selama tiga periode pada masa Orde Baru.
Saat ini dua putra berdarah Minang juga menjadi pejabat teras di Pemda Provinsi Maluku, yakni Syuryadi Sabirin (Kepala Dinas Pertanian) dan Zulkifli Anwar (Kepala Biro Pengembangan Ekonomi dan Investasi Setdaprov Maluku).
"Kami bisa mendapatkan posisi di lingkungan Pemda Maluku tentu tak terlepas dari kinerja dan profesionalitas serta pandai menempatkan diri," ujar Syuryadi.
Lulusan Universitas Andalas Padang tahun 1988 itu juga mengaku selalu menjadikan falsafah hidup orang Minang sebagai pijakan dan prinsip dalam hidup.
IKM Kota Ambon sendiri dalam mengelola organisasi juga berpegang teguh pada falsafah Minangkabau "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing."
"Kita memberdayakan anggota yang masih berdagang skala kecil melalui zakat mal supaya ada peningkatan usahanya. Pemberian suntikan modal sekitar Rp5 juta per orang per tahun terus dilakukan, dimana jumlah penerimanya tergantung dana yang terhimpun," kata Ketua IKM Ambon Jusnedi Rasyid.
Menurut dia, upaya itu dilakukan sebagai bentuk kepedulian antarsesama warga Minang yang mengadu nasib di negeri orang.
"Sebab masih ada perantau Minang yang berdagang kaki lima, terutama bagi yang baru datang sehingga diperlukan dukungan dari kita yang sudah lama di sini," katanya.
Menurut dia, program yang dijalankan IKM Ambon itu cukup efektif dan memberi kontribusi terhadap warga Minang di perantauan dalam menjalankan usaha mereka. (Ant)
Alasan yang membuat orang Minang mampu bertahan di perantauan merupakan sesuatu yang patut didalami. Apakah dikarenakan nasib yang memaksa atau karena kesuksesan yang begitu mudah dicapai.
Berdasarkan pengalaman para perantau Minang di tanah Ambon Manise, mereka mampu bertahan di daerah kepulauan itu karena bisa menempatkan diri dan selalu berpedoman pada falsafah yang diwariskan nenek moyang Minangkabau; "Pai ka rantau mencari induak samang'.
"Artinya pergi ke rantau kita terlebih dahulu harus mencari bapak angkat," ujar sesepuh masyarakat Minang di Ambon H Busmar Rasyid (71), Kamis (13/6).
"Setidaknya ini merupakan satu bagian dari diplomasi dan menjadi kekuatan perantau Minang untuk bertahan," katanya menambahkan.
Menurut dia, meskipun hanya dengan mengandalkan "tulang delapan potong" (hanya mengandalkan apa yang ada di tubuh, red), namun kalau tekad untuk berusaha dan mengubah nasib serta selalu berpegang dengan falsafah Minang, maka pasti ada-ada saja jalan untuk menunju sukses.
"Saya sudah mengalami pahit getirnya merintis kehidupan pada awal menginjakkan kaki di tanah Ambon. Tapi semuanya masih dapat dilalui sampai sekarang," ujar bapak lima anak itu.
Ketika sampai di Ambon pada 1963, ia mengaku mulai belajar berdagang dengan bapak angkatnya yang keturunan China. Pada 1967 ia mulai berdagang sendiri secara kecil-kecilan di emparan-emperan toko.
Berbekal Kepercayaan
Ia memulai usahanya dengan hanya berbekal kepercayaan dari induk semangnya itu. Ia bahkan dibolehkan mengambil barang dagangan hingga senilai Rp5 juta dan diberikan keringan untuk mencicil Rp500 ribu per bulan.
"Kita tak punya modal dari kampung, tentu harus pandai-pandai setiba di rantau," ujar suami Hj Murni itu.
Pria asal Banuhampu, Kabupaten Agam itu mengaku bersyukur sampai saat ini masih dapat bertahan dengan usaha yang dijalankanya sejak puluhan tahun lalu.
Meski ketika meletusnya konflik pada 1999 dan rumahnya ludes dibakar massa, tapi semua itu tidak menyurutkan tekadnya untuk terus bertahan di tanah Ambon. Rumahnya dapat dibangun kembali di perkampungan Aster.
"Anak-anak kami seluruhnya dikuliahkan di Bandung," ujar Busmar yang sehari-hari berdagang kain itu.
Ia juga mengaku diterima dengan baik oleh masyarakat Ambon dan hingga kini memiliki hubungan baik dengan warga setempat.
Perantau lainnya H Ediwarman mengatakan, pertama kali masuk ke Ambon ia belajar berdagang dengan para pengurus dan anggota Ikatan Pedagang Seluruh Indonesia (IPSI) setempat.
Pada awalnya ia berdagang antarpulau mengikuti kapal yang mengangkut barang anggota IPSI.
Penasehat Ikatan Keluarga Minang (IKM) Kota Ambon asal Bukittinggi mengaku memegang prinsip hidup "dimana bumi dipijak, di situ langit dijujung."
"Inilah yang dibangun pada perantau Minang pendahulu di tanah Ambon Manise, sehingga sampai sekarang hubungan orang Minang dengan masyarakat setempat maupun dari suku manapun terjalin secara baik," katanya.
Ediwarman mengaku masuk ke Ambon pada tahun 1970, ketika masih berumur 15 tahun. Kini bapak tiga anak itu sudah berdagang dengan menyewa ruko di Pasar Amplas Ambon dan tiga anaknya juga kuliah di Bandung.
Menurut dia, dewasa ini masakan khas dan bahkan lagu-lagu Minang sangat populer di Ambon. Bahkan lagu-lagu Minang sering dinyanyikan di pesta-pesta perkawinan.
Perantau Minang di Ambon tidak saja berdagang di toko-toko, rumah toko atau di mal-mal. Sebagian juga ada yang berdagang di trotoar-trotoar di jantung kota itu, termasuk dengan berjualan lontong sayur.
"Awak (saya) sudah 30 puluh tahun menjual lontong sayur di pinggiran jalan di Pasar Amplas. Alhamdulillah bisa membiayai pendidikan anak-anak sampai ke perguruan tinggi," tutur Uni Ema.
Menurut dia, meski di Kota Ambon biaya hidup tergolong tinggi, namun dengan berdagang lontong sayur masih dapat menghidupi keluarga.
"Masakan Padang, baik nasi maupun lontong cukup sesuai dengan selera orang Ambon. Makanya hasil jualan saya bisa rata-rata Rp500 ribu per hari," katanya.
Suami Uni Ema sendiri membuka usaha reparasi jam. "Hasil usaha kami cukup lumayan, dapat untuk memperbaiki rumah di kampung dan juga membeli tanah di Batu Merah Ambon," katanya.
Jadi Pejabat
Perantau Minang di Ambon juga ada yang mampu menempatai posisi strategis di bidang pemerintahan, bahkan menjadi kepala daerah.
Putra berdarah Minang yang pernah menjadi Gubernur Maluku adalah Mumammad Padang pada periode 1968-1973. Kemudian Usman Padang menjabat Ketua DPRD Maluku selama tiga periode pada masa Orde Baru.
Saat ini dua putra berdarah Minang juga menjadi pejabat teras di Pemda Provinsi Maluku, yakni Syuryadi Sabirin (Kepala Dinas Pertanian) dan Zulkifli Anwar (Kepala Biro Pengembangan Ekonomi dan Investasi Setdaprov Maluku).
"Kami bisa mendapatkan posisi di lingkungan Pemda Maluku tentu tak terlepas dari kinerja dan profesionalitas serta pandai menempatkan diri," ujar Syuryadi.
Lulusan Universitas Andalas Padang tahun 1988 itu juga mengaku selalu menjadikan falsafah hidup orang Minang sebagai pijakan dan prinsip dalam hidup.
IKM Kota Ambon sendiri dalam mengelola organisasi juga berpegang teguh pada falsafah Minangkabau "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing."
"Kita memberdayakan anggota yang masih berdagang skala kecil melalui zakat mal supaya ada peningkatan usahanya. Pemberian suntikan modal sekitar Rp5 juta per orang per tahun terus dilakukan, dimana jumlah penerimanya tergantung dana yang terhimpun," kata Ketua IKM Ambon Jusnedi Rasyid.
Menurut dia, upaya itu dilakukan sebagai bentuk kepedulian antarsesama warga Minang yang mengadu nasib di negeri orang.
"Sebab masih ada perantau Minang yang berdagang kaki lima, terutama bagi yang baru datang sehingga diperlukan dukungan dari kita yang sudah lama di sini," katanya.
Menurut dia, program yang dijalankan IKM Ambon itu cukup efektif dan memberi kontribusi terhadap warga Minang di perantauan dalam menjalankan usaha mereka. (Ant)