Mata beningnya menyirat polos, tak beda dengan gadis-gadis seusianya yang mestinya masih tekun menyimak pelajaran di ruang kelas. Ia justru merenung dan merana di balik jeruji besi, berdebar cemas menunggu putusan majelis hakim.
"Saya ingin bebas, tidak mendekam di penjara lagi. Saya ingin sekolah. Ingin menyelesaikan sekolah! Setelah itu, saya akan masuk pesantren saja," DAP alias Ica, terdakwa kasus narkoba, menyuarakan keluhannya, di balik ruang tahanan Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Bagi gadis yang statusnya masih pelajar di sebuah sekolah menengah atas di Mataram ini, menjalani hari-hari di ruang pengap penjara, sungguh melelahkan fisik dan batinnya.
Padahal dahulu kala, ia merenda hari-hari berdekap tawa dan canda bersama teman-teman seusianya, di sela waktu sekolah. Usai bersekolah, Ica pun terbiasa berjalan-jalan menghabiskan waktu bersama para sahabatnya.
"Sekarang, saya hanya bisa meratapi nasib di balik tembok penjara. Kegiatan saya hanya olahraga tenis, selain itu, saya biasa membaca buku atau menulis cerita," kata gadis berusia 18 tahun ini.
Mengenal Narkoba
Ica menuturkan, ihwal dirinya mengenal narkoba, memiliki latar belakang yang ganjil. "Ayah saya yang mengenalkan narkoba pada saya. Ayah saya seorang pengusaha kafe. Ketimbang saya keluar rumah dan keluyuran, maka ayah memberi saya narkoba lantas mengunci saya," kata gadis itu dengan mata menerawang.
Hari-hari selanjutnya, menurut Ica, sempat membuatnya gamang menghadapi hidup. Dia berontak, berusaha membebaskan diri dari sikap ayahnya yang membuatnya terkekang.
"Ketika dikurung di kamar, saya sempat merusak pintu agar bisa lepas. Saya juga pernah pergi naik motor dari rumah tanpa tujuan jelas dan sampai di Batam," katanya.
Perbuatan ayahnya, menurut Ica, dilakukan tanpa sepengetahuan ibunya. Kedua orang tuanya memang memutuskan bercerai karena perbedaan keyakinan.
"Saya lahir di Madiun, Jawa Timur, tetapi tumbuh dan besar di Tabanan, Bali, bersama keluarga ayah. Pernah juga tinggal di Bandung beberapa tahun. Tapi setelah tamat sekolah menengah pertama, saya memutuskan pergi ke Lombok untuk mencari ibu saya. Simbok, pengasuh saya, yang memberitahu kalau ibu saya tinggal di Lombok,"
Pertemuan dengan ibunya, memang sempat merekatkan pertalian darah ibu dan anak yang sempat terputus. Akan tetapi, lama-lama Ica merasa tidak betah dengan sikap ibunya yang dianggap terlalu mengekangnya.
Ica memutuskan untuk mencari rumah kos untuk tempat tinggalnya. Dia merasa sikap ibunya terlalu protektif padanya, hingga membuatnya tidak betah tinggal bersamanya.
Saat mencari rumah kos, Ica bertemu dengan Wira, seorang oknum polisi yang mengaku mempunyai saudara yang mempunyai rumah untuk disewakan.
Ica pun diantar Wira ke tempat kos itu. Sejak itu, terjalin pertemanan antara Ica dan Wira. Pertemanan itu terjalin kian erat. Wira bahkan pernah mengajak Ica pergi ke Karang Bagu, Mataram, untuk menemui Jak dan membeli sabu-sabu padanya.
Pada 30 Juli 2013, Wira menghubungi Ica dan mereka bertemu di sebuah warnet. Wira memberikan uang sebanyak Rp400 ribu, sekaligus meminta agar Ica bersedia menemui dan menyerahkan uang tersebut kepada Jak untuk membeli narkotika jenis sabu-sabu.
Menggunakan sepeda motor, Ica berangkat. Begitu bertemu dengan Jak, dia langsung memberikan uangnya dan Jak pun menyerahkan sebungkus kristal putih narkotika jenis sabu-sabu, yang oleh Ica kemudian dimasukkan ke dalam bungkus rokok bekas.
Sambil membawa narkotika tersebut, Ica berniat kembali ke warnet menemui Wira, namun di tengah perjalanan, Jalan Harimau, Lingkungan Pejanggik, Kelurahan Mataram Timur, sepeda motor yang dikemudikan Ica mendadak dipepet tiga aparat Reserse Narkoba Polda NTB.
Petugas yang kemudian melakukan penggeledahan terhadap Ica, berhasil menyita barang bukti berupa narkotika jenis sabu-sabu dalam bungkus rokok bekas.
Ica tidak kuasa lagi mengelak dari kasus hukum yang membelitnya. Dirinya terpaksa menerima ketika didudukkan sebagai terdakwa pada persidangan yang majelis hakimnya diketuai H Budi Susilo SH MH.
Sandaran Hidup
Jaksa Sahdi SH menuntut enam tahun dua bulan penjara terhadap Ica, setelah terdakwa dinyatakan terbukti melanggar pasal 114 ayat (1) UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, subsider pasal 112 ayat (1) UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Denny Nurindra SH, penasihat hukum Ica, menyatakan, tuntutan itu terlalu berat dan tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa.
"Semestinya jaksa mempertimbangkan bahwa terdakwa itu masih berstatus pelajar. Selain itu, selama persidangan, terdakwa selalu bersikap kooperatif dan berdasarkan tes urine terhadap terdakwa, dinyatakan negatif narkoba," ujar pria yang biasa dipanggil Indra.
Dikatakan Indra, pihaknya akan berupaya semaksimal mungkin agar hukuman yang diterima terdakwa bisa lebih ringan. "Saya tengah mengupayakan ada surat keterangan dokter untuk menjelaskan kondisi riil dari terdakwa. Mudah-mudahan menjadi pertimbangan bagi majelis hakim," harapnya.
Menanggapi pernyataan penasihat hukumnya, Ica menyatakan akan berusaha menerima putusan apapun nanti yang harus dijalaninya.
"Sebenarnya saya ingin segera bebas, tapi sepertinya lebih baik jika saya pasrah saja mengenai putusan sidang nanti," kata Ica, sembari menggenggam jeruji besi erat-erat.
Remaja putri ini melanjutkan, kasus ini memang berat sekali menghantam dirinya. Tapi menurutnya, ada hikmah besar yang dialaminya.
Ica mengatakan, sejak bergulirnya kasus itu di ranah pengadilan, hubungan dengan ibunya berangsur membaik. Perlahan-lahan, api amarah yang dahulu begitu menguasai dirinya, telah redup, tersirami kasih sayang perempuan yang melahirkannya itu.
"Sebenarnya, saat pertama kali ketemu bunda, saya sempat histeris. Begitu juga bunda. Kami bertangisan dengan sangat emosional. Tapi setelah itu, saya sadar, cuma bunda yang menyayangi saya. Cuma bunda yang menjadi sandaran hidup saya. Sejak kasus ini terjadi, ayah sama sekali tidak pernah menengok saya," cetusnya dengan nada sarat perasaan.
Ke depannya, Ica hanya ingin menghabiskan hidupnya dengan membahagiakan ibunya dan melanjutkan sekolahnya yang sekarang harus terputus karena masalah yang tengah menderanya.
"Semoga masih ada hari-hari indah bagi saya ke depannya nanti. Entah hari depan seperti apa yang menunggu saya nanti, asal ada bunda yang selalu memberi semangat, saya akan tegar jalani semuanya," ucap Ica, tangan kirinya perlahan mengeratkan kancing baju rompi khusus tahanan yang dikenakannya.(skd)