Jakarta (ANTARA) - KPK mengajukan banding terhadap vonis adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dengan meyakini bahwa perbuatan korupsi Wawan sudah disampaikan secara rinci di dalam surat tuntutan, meski majelis hakim tidak sependapat dengan hal tersebut.
"Apa yang sudah kami dakwakan kepada TCW (Tubagus Chaeri Wardana) sudah disampaikan dalam surat tuntutan (sekitar) 5.000 halaman, dijelaskan 'case by case' sudah dirinci bagaimana TCW mendapatkan hartanya termasuk 'predicate crime' yang besar-besar dirinci," kata Deputi Penindakan KPK Karyoto dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu.
Pada 16 Juli 2020 lalu majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan karena menilai Wawan terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan di Banten dan Tangerang Selatan.
Namun majelis hakim menyatakan Wawan tidak terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang pada periode 2005-2012 yang merupakan dakwaan kedua dan ketiga.
Baca juga: KPK panggil Faye Nicole terkait kasus Wawan
Atas putusan tersebut, KPK pun mengajukan banding karena memandang putusan majelis hakim belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. KPK tidak sependapat dengan pertimbangan yuridis majelis hakim terutama terkait pertimbangan tentang tidak terbuktinya dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Bahkan penyidikan sudah dilakukan lebih dari 4 tahun dilakukan dan 1 tahun terakhir 1 tahun penyidik dan jaksa KPK sudah berkoordinasi untuk TPPU ini," tambah Karyono.
KPK menurut Karyoto fokus untuk berupaya mengembaliikan kerugian negara termasuk dari perkara TPPU Wawan.
"Ada yang kurang pas dalam pertimbangan hakim karena sudah ada 3-4 yurisprudensi terkait perkara serupa yaitu kerugian negara tidak dibuktikan 'case by case', ada 970 pengadaan barang dan jasa yang dilakukan TCW, bayangkan kalau setiap satu pengadaan diminta perhitungan kerugian negara, perhitungan kerugian yang biasa saja perlu waktu 6 bulan, bagaimana dengan 970 pengadaan?" tambah Karyoto.
Apalagi menurut Karyoto, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya mampu melayani permintaan perhitungan kerugian negara oleh aparat penegak hukum yaitu Polri, Kejaksaan Agung, KPK dalam 1 tahun maksimal 100 kasus.
"Kalau 970 pengadaan perlu berapa puluh tahun? Hakim tidak melihat yurisprudensi perkara-perkara sebelumnya yang juga bisa merampas harta-harta yang tidak legal ini. Kami akan 'all out' agar kami bisa menang di kasasi maupun kasasi, kalau TCW mengajukan kasasi," tegas Karyoto.
Dalam perkara tersebut, Wawan juga diwajibkan untuk membayar pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp58,025 miliar dengan ketentuan apabila tidak dapat membayar uang pengganti harta bendanya akan disita untuk membayar uang pengganti, apabila harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun.
JPU KPK dalam perkara ini menuntut Wawan divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp5 miliar subsider 1 tahun kurungan dan menyita seluruh harga kekayaan Wawan yang diduga diperoleh dari perbuatan pidana senilai Rp1,9 triliun.
"Apa yang sudah kami dakwakan kepada TCW (Tubagus Chaeri Wardana) sudah disampaikan dalam surat tuntutan (sekitar) 5.000 halaman, dijelaskan 'case by case' sudah dirinci bagaimana TCW mendapatkan hartanya termasuk 'predicate crime' yang besar-besar dirinci," kata Deputi Penindakan KPK Karyoto dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu.
Pada 16 Juli 2020 lalu majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan karena menilai Wawan terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan di Banten dan Tangerang Selatan.
Namun majelis hakim menyatakan Wawan tidak terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang pada periode 2005-2012 yang merupakan dakwaan kedua dan ketiga.
Baca juga: KPK panggil Faye Nicole terkait kasus Wawan
Atas putusan tersebut, KPK pun mengajukan banding karena memandang putusan majelis hakim belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. KPK tidak sependapat dengan pertimbangan yuridis majelis hakim terutama terkait pertimbangan tentang tidak terbuktinya dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Bahkan penyidikan sudah dilakukan lebih dari 4 tahun dilakukan dan 1 tahun terakhir 1 tahun penyidik dan jaksa KPK sudah berkoordinasi untuk TPPU ini," tambah Karyono.
KPK menurut Karyoto fokus untuk berupaya mengembaliikan kerugian negara termasuk dari perkara TPPU Wawan.
"Ada yang kurang pas dalam pertimbangan hakim karena sudah ada 3-4 yurisprudensi terkait perkara serupa yaitu kerugian negara tidak dibuktikan 'case by case', ada 970 pengadaan barang dan jasa yang dilakukan TCW, bayangkan kalau setiap satu pengadaan diminta perhitungan kerugian negara, perhitungan kerugian yang biasa saja perlu waktu 6 bulan, bagaimana dengan 970 pengadaan?" tambah Karyoto.
Apalagi menurut Karyoto, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya mampu melayani permintaan perhitungan kerugian negara oleh aparat penegak hukum yaitu Polri, Kejaksaan Agung, KPK dalam 1 tahun maksimal 100 kasus.
"Kalau 970 pengadaan perlu berapa puluh tahun? Hakim tidak melihat yurisprudensi perkara-perkara sebelumnya yang juga bisa merampas harta-harta yang tidak legal ini. Kami akan 'all out' agar kami bisa menang di kasasi maupun kasasi, kalau TCW mengajukan kasasi," tegas Karyoto.
Dalam perkara tersebut, Wawan juga diwajibkan untuk membayar pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp58,025 miliar dengan ketentuan apabila tidak dapat membayar uang pengganti harta bendanya akan disita untuk membayar uang pengganti, apabila harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun.
JPU KPK dalam perkara ini menuntut Wawan divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp5 miliar subsider 1 tahun kurungan dan menyita seluruh harga kekayaan Wawan yang diduga diperoleh dari perbuatan pidana senilai Rp1,9 triliun.