Jakarta (ANTARA) - Pandemi virus corona tidak hanya menimbulkan masalah kesehatan bagi warga di seluruh dunia, termasuk Indonesia, namun, muncul efek lainnya dari pandemi ini yaitu misinformasi.
Sejak pandemi melanda, istilah infodemik mengemuka, luapan informasi sampai begitu cepat tentang cepat ke masyarakat. Sayangnya tidak semua informasi tersebut adalah valid dan akurat.
Dampak infodemik sejak era pandemi ini sudah terasa, baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika mengamini laporan dari media massa, bahwa ada 40 persen orang yang ragu ikut vaksinasi COVID-19.
Keraguan ini dipicu informasi yang bertebaran di dunia maya, beberapa diantaranya tidak benar, seperti vaksin akan mengubah DNA seseorang sampai orang yang mendapat vaksin COVID-19 meninggal dunia.
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Wahyu Dhyatmika, dalam diskusi "Pemanfaatan TIK dalam Penanganan COVID-19" menyoroti pandemi virus corona berbarengan dengan era post-truth, pascakebenaran, ketika orang tidak lagi percaya pada fakta, namun, pada informasi yang ingin dipercaya.
"Ini realitas media sekarang," kata Wahyu.
Pendapat seperti ini tidak berlebihan, contoh paling nyata dalam keseharian, seberapa sering kita bertemu dengan orang-orang yang memilih mempercayai pesan berantai dari aplikasi pesan instan, dibandingkan informasi dari lembaga resmi?
Berapa banyak orang yang kita kenal, yang tidak mau diukur suhu tubuh dengan thermo gun di kepala karena bisa merusak otak?
Pengamatan Wahyu, yang juga Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), pandemi ini menunjukkan ada masalah pada ekosistem informasi di Indonesia, bahwa ekosistem tersebut belum matang.
"Hoaks hanya refleksi dari belum cukup kuatnya ekosistem informasi kita," kata Wahyu.
Kementerian Kominfo membuka kanal aduan untuk hoaks di media sosial, juga tim yang menyisir hoaks di dunia maya. Tim tersebut bisa menjaring ratusan hoaks setiap hari.
Data Kominfo per 5 Februari, total terdapat 352 hoaks hanya untuk topik vaksin COVID-19 di platform TikTok, Facebook, YouTube, Instagram dan Twitter. Sementara hoaks seputar virus corona berdasarkan data Kominfo per 31 Januari, terdapat 1.396 hoaks.
Ekosistem informasi yang kuat diyakini bisa menangkal hoaks yang beredar di masyarakat.
Peran media arus utama dalam memerangi hoaks ini signifikan jika memberlakukan manajemen konten dengan baik. Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Nurjaman Mochtar melihat media arus utama akan terus "eksis", ada, karena melakukan verifikasi informasi sebelum memproduksi berita.
"Masyarakat bisa percaya ke media arus utama karena ada verifikasi tersebut," kata Nurjaman.
Sebaliknya, ketika media arus utama tidak melakukan verifikasi, reputasinya akan hancur.
Wahyu berpendapat sebelum memasang strategi untuk menangani hoaks, perlu identifikasi mengapa hoaks tersebut bisa muncul, apakah karena praktik jurnalisme yang buruk, untuk parodi, provokasi, propaganda atau karena unsur kesengajaan, partisan terhadap kelompok atau ideologi tertentu, pengaruh politik dan mencari keuntungan.
Identifikasi tujuan hoaks tersebut bisa membantu dalam menentukan langkah atau konten untuk menangkal hoaks tersebut.
Konten antihoaks
Jauh sebelum virus corona melanda, organisasi nirlaba maupun media penyiaran berinisiatif menjadi fact checker, pengecek fakta, untuk memerangi hoaks di media sosial.
Para fact checker mengumpulkan informasi yang tersebar luas, baik di media sosial maupun pesan instan, kemudian akan mencari rujukan artikel dari media jurnalistik atau mengonfirmasi langsung kepada lembaga resmi atau orang yang memiliki kompetensi di suatu bidang, misalnya dokter untuk informasi tentang vaksin COVID-19.
Pada umumnya, mereka akan menerbitkan artikel di laman publikasi resmi mereka atau akun media sosial. Cara yang paling populer, pengecek fakta memberi label "hoaks" pada informasi tersebut, sambil menyertakan informasi yang telah diverifikasi.
Praktik menangkal hoaks tidak hanya lewat label dan klarifikasi, namun, juga uraian singkat dalam bahasa yang mudah dipahami.
Ketut Yoga Yudistira sejak beberapa tahun belakangan membuat konten video animasi singkat, rata-rata lima menit, untuk informasi yang ingin diketahui masyarakat maupun isu yang sedang hangat beredar. Video tersebut beredar dengan nama "Kok Bisa".
"Bagaimana caranya membuat konten edukasi yang menarik, yaitu dengan story telling," kata Yoga.
Kok Bisa lahir di era internet, oleh karena itu mereka tidak lagi gagap dengan sebaran informasi yang beredar sangat cepat di dunia maya. Alih-alih mengamplifikasi suatu isu, Kok Bisa menggunakan pendekatan saintifik untuk menjelaskan topik utama dalam isu tersebut.
"Kok Bisa bukan ilmuwan, bukan peneliti. Tapi, kami berkolaborasi dengan pakar untuk membuat konten," kata Yoga.
Sama seperti fact checker lainnya, Kok Bisa mengembalikan isu dari internet ke internet, mereka mengandalkan platform berbagi video seperti YouTube untuk menyebarkan konten mereka.
Interaksi masyarakat sejak pandemi virus corona seolah bermigrasi ke dunia maya, ada banyak hal yang bisa dilakukan di sana ketika aktivitas fisik dibatasi.
Solusi untuk memerangi hoaks lagi-lagi kembali pada literasi digital, meningkatkan kemampuan masyarakat mencerna informasi yang beredar di dunia maya.
Ibarat pisau bermata dua, internet sama-sama memberikan informasi yang benar maupun yang salah.
Sikap skeptis sangat diperlukan ketika mendapat informasi dari dunia maya agar tidak menelan mentah-mentah informasi yang tersaji di depan mata. Salah satu cara yang paling mudah untuk menilai apakah informasi tersebut hoaks atau bukan, seperti dikatakan Nurjaman, cek ke beberapa media arus utama soal informasi tersebut karena kaidah jurnalistik mengharuskan verifikasi fakta sebelum membuat berita.
Keterampilan yang penting untuk dikuasai ketika mencari informasi di dunia maya adalah mengindentifikasi dan memverifikasi sumber informasi tersebut, seperti mengetahui keaslian tautan yang dibagikan.
Hoaks mungkin akan selalu ada, namun, kita punya pilihan untuk meningkatkan kemampuan memilih dan memilah informasi.
Sejak pandemi melanda, istilah infodemik mengemuka, luapan informasi sampai begitu cepat tentang cepat ke masyarakat. Sayangnya tidak semua informasi tersebut adalah valid dan akurat.
Dampak infodemik sejak era pandemi ini sudah terasa, baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika mengamini laporan dari media massa, bahwa ada 40 persen orang yang ragu ikut vaksinasi COVID-19.
Keraguan ini dipicu informasi yang bertebaran di dunia maya, beberapa diantaranya tidak benar, seperti vaksin akan mengubah DNA seseorang sampai orang yang mendapat vaksin COVID-19 meninggal dunia.
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Wahyu Dhyatmika, dalam diskusi "Pemanfaatan TIK dalam Penanganan COVID-19" menyoroti pandemi virus corona berbarengan dengan era post-truth, pascakebenaran, ketika orang tidak lagi percaya pada fakta, namun, pada informasi yang ingin dipercaya.
"Ini realitas media sekarang," kata Wahyu.
Pendapat seperti ini tidak berlebihan, contoh paling nyata dalam keseharian, seberapa sering kita bertemu dengan orang-orang yang memilih mempercayai pesan berantai dari aplikasi pesan instan, dibandingkan informasi dari lembaga resmi?
Berapa banyak orang yang kita kenal, yang tidak mau diukur suhu tubuh dengan thermo gun di kepala karena bisa merusak otak?
Pengamatan Wahyu, yang juga Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), pandemi ini menunjukkan ada masalah pada ekosistem informasi di Indonesia, bahwa ekosistem tersebut belum matang.
"Hoaks hanya refleksi dari belum cukup kuatnya ekosistem informasi kita," kata Wahyu.
Kementerian Kominfo membuka kanal aduan untuk hoaks di media sosial, juga tim yang menyisir hoaks di dunia maya. Tim tersebut bisa menjaring ratusan hoaks setiap hari.
Data Kominfo per 5 Februari, total terdapat 352 hoaks hanya untuk topik vaksin COVID-19 di platform TikTok, Facebook, YouTube, Instagram dan Twitter. Sementara hoaks seputar virus corona berdasarkan data Kominfo per 31 Januari, terdapat 1.396 hoaks.
Ekosistem informasi yang kuat diyakini bisa menangkal hoaks yang beredar di masyarakat.
Peran media arus utama dalam memerangi hoaks ini signifikan jika memberlakukan manajemen konten dengan baik. Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Nurjaman Mochtar melihat media arus utama akan terus "eksis", ada, karena melakukan verifikasi informasi sebelum memproduksi berita.
"Masyarakat bisa percaya ke media arus utama karena ada verifikasi tersebut," kata Nurjaman.
Sebaliknya, ketika media arus utama tidak melakukan verifikasi, reputasinya akan hancur.
Wahyu berpendapat sebelum memasang strategi untuk menangani hoaks, perlu identifikasi mengapa hoaks tersebut bisa muncul, apakah karena praktik jurnalisme yang buruk, untuk parodi, provokasi, propaganda atau karena unsur kesengajaan, partisan terhadap kelompok atau ideologi tertentu, pengaruh politik dan mencari keuntungan.
Identifikasi tujuan hoaks tersebut bisa membantu dalam menentukan langkah atau konten untuk menangkal hoaks tersebut.
Konten antihoaks
Jauh sebelum virus corona melanda, organisasi nirlaba maupun media penyiaran berinisiatif menjadi fact checker, pengecek fakta, untuk memerangi hoaks di media sosial.
Para fact checker mengumpulkan informasi yang tersebar luas, baik di media sosial maupun pesan instan, kemudian akan mencari rujukan artikel dari media jurnalistik atau mengonfirmasi langsung kepada lembaga resmi atau orang yang memiliki kompetensi di suatu bidang, misalnya dokter untuk informasi tentang vaksin COVID-19.
Pada umumnya, mereka akan menerbitkan artikel di laman publikasi resmi mereka atau akun media sosial. Cara yang paling populer, pengecek fakta memberi label "hoaks" pada informasi tersebut, sambil menyertakan informasi yang telah diverifikasi.
Praktik menangkal hoaks tidak hanya lewat label dan klarifikasi, namun, juga uraian singkat dalam bahasa yang mudah dipahami.
Ketut Yoga Yudistira sejak beberapa tahun belakangan membuat konten video animasi singkat, rata-rata lima menit, untuk informasi yang ingin diketahui masyarakat maupun isu yang sedang hangat beredar. Video tersebut beredar dengan nama "Kok Bisa".
"Bagaimana caranya membuat konten edukasi yang menarik, yaitu dengan story telling," kata Yoga.
Kok Bisa lahir di era internet, oleh karena itu mereka tidak lagi gagap dengan sebaran informasi yang beredar sangat cepat di dunia maya. Alih-alih mengamplifikasi suatu isu, Kok Bisa menggunakan pendekatan saintifik untuk menjelaskan topik utama dalam isu tersebut.
"Kok Bisa bukan ilmuwan, bukan peneliti. Tapi, kami berkolaborasi dengan pakar untuk membuat konten," kata Yoga.
Sama seperti fact checker lainnya, Kok Bisa mengembalikan isu dari internet ke internet, mereka mengandalkan platform berbagi video seperti YouTube untuk menyebarkan konten mereka.
Interaksi masyarakat sejak pandemi virus corona seolah bermigrasi ke dunia maya, ada banyak hal yang bisa dilakukan di sana ketika aktivitas fisik dibatasi.
Solusi untuk memerangi hoaks lagi-lagi kembali pada literasi digital, meningkatkan kemampuan masyarakat mencerna informasi yang beredar di dunia maya.
Ibarat pisau bermata dua, internet sama-sama memberikan informasi yang benar maupun yang salah.
Sikap skeptis sangat diperlukan ketika mendapat informasi dari dunia maya agar tidak menelan mentah-mentah informasi yang tersaji di depan mata. Salah satu cara yang paling mudah untuk menilai apakah informasi tersebut hoaks atau bukan, seperti dikatakan Nurjaman, cek ke beberapa media arus utama soal informasi tersebut karena kaidah jurnalistik mengharuskan verifikasi fakta sebelum membuat berita.
Keterampilan yang penting untuk dikuasai ketika mencari informasi di dunia maya adalah mengindentifikasi dan memverifikasi sumber informasi tersebut, seperti mengetahui keaslian tautan yang dibagikan.
Hoaks mungkin akan selalu ada, namun, kita punya pilihan untuk meningkatkan kemampuan memilih dan memilah informasi.