Jakarta (ANTARA) - Diabetes saat ini menduduki peringkat nomor dua setelah hipertensi sebagai penyakit penyerta atau komorbid terbanyak pada kasus infeksi virus corona. Penyakit ini juga menjadi penyerta urutan kedua terbanyak pada pasien COVID-19 yang meninggal dunia.
Pakar penyakit dalam sub-spesialis endokrinologi lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang berpraktik di Rumah Sakit MRCCC Siloam Semanggi, dr. Johanes Purwoto menjelaskan, orang dengan diabetes mengalami gangguan pada sistem imunnya. Bila dia terinfeksi virus salah satunya SARS-CoV-2, maka infeksi akan lebih merajelala pada tubuhnya.
Kadar glukosa darah yang tinggi meracuni pembuluh darah di seluruh tubuh termasuk di jantung, pembuluh besar lain misalnya di otak, organ pria, pembuluh darah di kaki dan ginjal, menyebabkan penyakit lain sebelum terinfeksi virus corona.
"Dalam keadaan diabetes dan penyakit penyerta, lalu terkena COVID-19, itu menjadi seperti menyiramkan bensin ke dalam api dalam sekam, mudah cepat membakar," kata dia dalam bincang interaktif yang digelar INSISI belum lama ini.
Pada kondisi diabetes pembuluh darah mudah rusak, sedangkan pada COVID-19 terjadi gangguan pembekuan darah yang mempercepat proses kerusakan di seluruh tubuh, tidak hanya di paru-paru.
Jadi, COVID-19 bukan saja dikhawatirkan menyebabkan batuk, pilek dan demam, tetapi juga inflamasi di seluruh tubuh sehingga pembuluh darah di seluruh tubuh mengalami kerusakan termasuk dalam sistem pembekuan darah. Akibatnya, serangan jantung, stroke atau gangguan lain bisa muncul.
Risiko penyandang diabetes terkena COVID-19 juga lebih besar apabila dia sering bepergian, berkumpul apalagi tanpa menerapkan 3M atau 5M.
Johanes mengatakan, ciri spesifik orang dengan diabetes yang terkena COVID-19 cenderung lebih mudah menjadi berat atau kritis dan membutuhkan perawatan di rumah sakit. Mereka juga lebih mudah masuk ke ICU, membutuhkan ventilator dan lebih mudah meninggal dunia.
Walau begitu, bukan tak mungkin penyandang diabetes bisa melakukan isolasi mandiri misalnya setelah dokter mendiagnosis dia bergejala COVID-19 ringan.
Menurut Johanes, selama isolasi mandiri pasien perlu memantau gula darah lebih sering dan cermat dan melaporkannya pada dokter. Sebaiknya pantau gula darah setidaknya tiga kali sehari yakni setelah bangun tidur, sebelum makan siang dan sebelum makan malam. Lebih bagus lagi bila pasien juga memeriksanya sebelum tidur.
Vaksin untuk penyandang diabetes
Ketua Terpilih PB IDI sekaligus Ketua Tim Mitigasi COVID-19 PB IDI, Dr. Muhammad Adib Khumaidi menuturkan, ada dua kontraindikasi absolut atau kondisi yang tidak boleh mendapatkan vaksin COVID-19 yakni riwayat syok anafilaktik pascasuntikan apapun dan penyakit autoimun.
"Dua itu saja kontraindikasi absolut tidak boleh divaksin. Tetapi kondisi lain atau kriteria eksklusi seperti kanker, diabetes, tekanan darah tinggi. Artinya, jika gula darah tinggi (misalnya) tidak boleh (divaksin)," kata dia.
Hal ini berarti, pasien diabetes perlu mengendalikan gula darahnya dulu untuk bisa mendapatkan vaksin. Terkait hal ini, menurut Johanes, kadar gula yang buruk bisa menyebabkan hasil vaksinasi menjadi tidak efektif.
Selain itu, ada hipotesis mengenai kemungkinan terjadinya hal-hal yang ditakutkan semisal kondisi hingga mengharuskan diabetesi dirawat, pingsan akan lebih kompleks bila gula darahnya masih tidak terkendali sebelum divaksin.
Walau begitu, beberapa waktu lalu ada syarat hasil pemeriksaan hbA1c untuk menggambarkan rata-rata kadar gula darah selama tiga bulan terakhir. Menurut Adib, apabila hbA1C kurang dari 5 maka seseorang boleh divaksin.
Tetapi, hbA1c tidak menggambarkan kondisi aktual saat itu,dua atau tiga hari menjelang divaksin. Sementara biaya pemeriksaan hbA1C tidak murah dan tak semua wilayah memiliki fasilitas pemeriksaan ini, belum lagi ada kebijakan PSBB dan PPKM.
Johanes mengatakan, saat ini diwacanakan tidak menggunakan tes hbA1c, namun melihat kondisi aktual calon penerima vaksin. Apabila ada gangguan kondisi metabolik misalnya muntah-muntah, ketoasidosis diabetik, hipoglikemi, gula darah tinggi atau rendah (di bawah 70), maka tidak dianjurkan vaksin saat itu.
Dari sisi keamanan, vaksin COVID-19 untuk penyandang diabetes aman. Data terkini menunjukkan tidak ada orang dengan diabetes akan berisiko lebih buruk jika menerima vaksin termasuk hipoglikemi.
Reaksi tubuh yang terjadi pada pasien diabetes, umumnya sama seperti orang sehat seperti merah-merah, bentol tapi jarang, kemudian reaksi sistemik seperti lemas, demam, badan pegal-pegal, hingga syok anafilaktik.
Pada orang sehat, misalnya seperti yang dialami dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Vito A. Damay, bahkan tidak ada reaksi sama sekali usai suntikan. Dia mengaku hanya ingin makan nasi padang beserta rendang dan serundeng.
"Vaksin tidak menyebabkan gula darah turun sedrastis itu. Tetapi kalau syok karena orang reaksi alergi berlebihan memang sangat mungkin. Saya kemarin minta nasi padang karena memang ingin saja," kata Vito yang juga beberapa kali menjadi narasumber dalam diadakan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 di kantor Graha BNPB, Jakarta itu.
Terkait rasa lapar yang beberapa waktu lalu dirasakan para tenaga kesehatan penerima vaksin, menurut Johanes, tidak ada laporan studi tentang lapar yang dipublikasi. Kalau memang banyak nakes yang merasa lapar maka ini harus dicatat karena termasuk bagian dari yang menyertai vaksin.
Tetapi, ada beberapa kondisi yang perlu diperiksa lebih lanjut, antara lain apakah laparnya karena terlalu lama menunggu giliran divaksin sehingga terlambat makan, ada masalah lambung atau gula darah sehingga pemeriksaan gula darah sebelum divaksin bisa menjadi pertimbangan.
Sementara bila lapar akibat hipoglikemi, biasanya ada gejala ikutan lain seperti sakit maag, pusing, lapar, perut kembung atau tidak enak.
Jadi, ada harapan di kemudian hari akan lebih banyak orang dengan diabetes bisa menerima vaksin. Daya tahan tubuh turut dipengaruhi kestabilan gula darah. Gula darah bagian dari metabolisme tubuh artinya kalau tidak stabil, sel tubuh kelaparan maka pembentukan antibodi tidak akan optimal, kata Vito A. Damay menyimpulkan.
Baca juga: Orang obesitas tidak pasti kena diabetes, tapi aman dari penyakit lain?
Baca juga: Kelor, alternatif yang bisa dimanfaatkan obati diabetes
Baca juga: Universitas Brawijaya siap produksi kit pendeteksi diabetes millitus secara masal
Baca juga: Parkeni: diabetes tak cukup dikenali dari gejala
Pakar penyakit dalam sub-spesialis endokrinologi lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang berpraktik di Rumah Sakit MRCCC Siloam Semanggi, dr. Johanes Purwoto menjelaskan, orang dengan diabetes mengalami gangguan pada sistem imunnya. Bila dia terinfeksi virus salah satunya SARS-CoV-2, maka infeksi akan lebih merajelala pada tubuhnya.
Kadar glukosa darah yang tinggi meracuni pembuluh darah di seluruh tubuh termasuk di jantung, pembuluh besar lain misalnya di otak, organ pria, pembuluh darah di kaki dan ginjal, menyebabkan penyakit lain sebelum terinfeksi virus corona.
"Dalam keadaan diabetes dan penyakit penyerta, lalu terkena COVID-19, itu menjadi seperti menyiramkan bensin ke dalam api dalam sekam, mudah cepat membakar," kata dia dalam bincang interaktif yang digelar INSISI belum lama ini.
Pada kondisi diabetes pembuluh darah mudah rusak, sedangkan pada COVID-19 terjadi gangguan pembekuan darah yang mempercepat proses kerusakan di seluruh tubuh, tidak hanya di paru-paru.
Jadi, COVID-19 bukan saja dikhawatirkan menyebabkan batuk, pilek dan demam, tetapi juga inflamasi di seluruh tubuh sehingga pembuluh darah di seluruh tubuh mengalami kerusakan termasuk dalam sistem pembekuan darah. Akibatnya, serangan jantung, stroke atau gangguan lain bisa muncul.
Risiko penyandang diabetes terkena COVID-19 juga lebih besar apabila dia sering bepergian, berkumpul apalagi tanpa menerapkan 3M atau 5M.
Johanes mengatakan, ciri spesifik orang dengan diabetes yang terkena COVID-19 cenderung lebih mudah menjadi berat atau kritis dan membutuhkan perawatan di rumah sakit. Mereka juga lebih mudah masuk ke ICU, membutuhkan ventilator dan lebih mudah meninggal dunia.
Walau begitu, bukan tak mungkin penyandang diabetes bisa melakukan isolasi mandiri misalnya setelah dokter mendiagnosis dia bergejala COVID-19 ringan.
Menurut Johanes, selama isolasi mandiri pasien perlu memantau gula darah lebih sering dan cermat dan melaporkannya pada dokter. Sebaiknya pantau gula darah setidaknya tiga kali sehari yakni setelah bangun tidur, sebelum makan siang dan sebelum makan malam. Lebih bagus lagi bila pasien juga memeriksanya sebelum tidur.
Vaksin untuk penyandang diabetes
Ketua Terpilih PB IDI sekaligus Ketua Tim Mitigasi COVID-19 PB IDI, Dr. Muhammad Adib Khumaidi menuturkan, ada dua kontraindikasi absolut atau kondisi yang tidak boleh mendapatkan vaksin COVID-19 yakni riwayat syok anafilaktik pascasuntikan apapun dan penyakit autoimun.
"Dua itu saja kontraindikasi absolut tidak boleh divaksin. Tetapi kondisi lain atau kriteria eksklusi seperti kanker, diabetes, tekanan darah tinggi. Artinya, jika gula darah tinggi (misalnya) tidak boleh (divaksin)," kata dia.
Hal ini berarti, pasien diabetes perlu mengendalikan gula darahnya dulu untuk bisa mendapatkan vaksin. Terkait hal ini, menurut Johanes, kadar gula yang buruk bisa menyebabkan hasil vaksinasi menjadi tidak efektif.
Selain itu, ada hipotesis mengenai kemungkinan terjadinya hal-hal yang ditakutkan semisal kondisi hingga mengharuskan diabetesi dirawat, pingsan akan lebih kompleks bila gula darahnya masih tidak terkendali sebelum divaksin.
Walau begitu, beberapa waktu lalu ada syarat hasil pemeriksaan hbA1c untuk menggambarkan rata-rata kadar gula darah selama tiga bulan terakhir. Menurut Adib, apabila hbA1C kurang dari 5 maka seseorang boleh divaksin.
Tetapi, hbA1c tidak menggambarkan kondisi aktual saat itu,dua atau tiga hari menjelang divaksin. Sementara biaya pemeriksaan hbA1C tidak murah dan tak semua wilayah memiliki fasilitas pemeriksaan ini, belum lagi ada kebijakan PSBB dan PPKM.
Johanes mengatakan, saat ini diwacanakan tidak menggunakan tes hbA1c, namun melihat kondisi aktual calon penerima vaksin. Apabila ada gangguan kondisi metabolik misalnya muntah-muntah, ketoasidosis diabetik, hipoglikemi, gula darah tinggi atau rendah (di bawah 70), maka tidak dianjurkan vaksin saat itu.
Dari sisi keamanan, vaksin COVID-19 untuk penyandang diabetes aman. Data terkini menunjukkan tidak ada orang dengan diabetes akan berisiko lebih buruk jika menerima vaksin termasuk hipoglikemi.
Reaksi tubuh yang terjadi pada pasien diabetes, umumnya sama seperti orang sehat seperti merah-merah, bentol tapi jarang, kemudian reaksi sistemik seperti lemas, demam, badan pegal-pegal, hingga syok anafilaktik.
Pada orang sehat, misalnya seperti yang dialami dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Vito A. Damay, bahkan tidak ada reaksi sama sekali usai suntikan. Dia mengaku hanya ingin makan nasi padang beserta rendang dan serundeng.
"Vaksin tidak menyebabkan gula darah turun sedrastis itu. Tetapi kalau syok karena orang reaksi alergi berlebihan memang sangat mungkin. Saya kemarin minta nasi padang karena memang ingin saja," kata Vito yang juga beberapa kali menjadi narasumber dalam diadakan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 di kantor Graha BNPB, Jakarta itu.
Terkait rasa lapar yang beberapa waktu lalu dirasakan para tenaga kesehatan penerima vaksin, menurut Johanes, tidak ada laporan studi tentang lapar yang dipublikasi. Kalau memang banyak nakes yang merasa lapar maka ini harus dicatat karena termasuk bagian dari yang menyertai vaksin.
Tetapi, ada beberapa kondisi yang perlu diperiksa lebih lanjut, antara lain apakah laparnya karena terlalu lama menunggu giliran divaksin sehingga terlambat makan, ada masalah lambung atau gula darah sehingga pemeriksaan gula darah sebelum divaksin bisa menjadi pertimbangan.
Sementara bila lapar akibat hipoglikemi, biasanya ada gejala ikutan lain seperti sakit maag, pusing, lapar, perut kembung atau tidak enak.
Jadi, ada harapan di kemudian hari akan lebih banyak orang dengan diabetes bisa menerima vaksin. Daya tahan tubuh turut dipengaruhi kestabilan gula darah. Gula darah bagian dari metabolisme tubuh artinya kalau tidak stabil, sel tubuh kelaparan maka pembentukan antibodi tidak akan optimal, kata Vito A. Damay menyimpulkan.
Baca juga: Orang obesitas tidak pasti kena diabetes, tapi aman dari penyakit lain?
Baca juga: Kelor, alternatif yang bisa dimanfaatkan obati diabetes
Baca juga: Universitas Brawijaya siap produksi kit pendeteksi diabetes millitus secara masal
Baca juga: Parkeni: diabetes tak cukup dikenali dari gejala