Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Indonesia menyebut ada bias implisit dalam alam pemikiran elit terhadap masyarakat adat sehingga menempatkan mereka sebagai yang terbelakang, tidak modern, hingga tidak paham teknologi.
"Jadi bias implisit ini yang terlihat, yang secara gamblang Mbak Rukka (Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Rukka Sombolinggi) sampaikan, pilihan elit itu ke korporasi kok. Buktinya Undang-Undang yang ada Cipta Kerja, yang draftnya dalam hitungan bulan sudah selesai, tapi ini sudah 10 tahun Undang-Undang Masyarakat Adat tidak ada," kata Faisal dalam webinar membahas Urgensi Undang-Undang Masyarakat Adat dalam Perspektif Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan secara daring digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta, Kamis.
Padahal, menurut dia, masyarakat adat atau masyarakat asli hadir dan punya sistem sosial, sistem pengetahuan, kepercayaan yang tumbuh dan berkembang sebelum republik ini ada. Sehingga seperti di Kanada saja masyarakat adatnya diakui sebagai first nation.
"Oleh karena itu first nation harus dilindungi hak-haknya, harus didengar suaranya apapun yang menyentuh kepentingan mereka harus dikonsultasikan, ditanya maunya apa. Ya kan di Kanada produsen minyak dan gas besar pipa-pipanya melewati masyarakat adat, ya masyarakat adatnya harus dihormati," kata Faisal.
Walau tetap masyarakat adatnya juga sering kalah di sana karena tergantung para partai yang berkuasa. Menurut Faisal, kalau partainya kebetulan probisnis memang masyarakat adatnya dikorbankan, dikasih ganti rugi.
Ia mengatakan harus ada tindakan afirmatif, karena kalau disuruh berkompetisi dengan korporasi tentu tidak seimbang. "Dan sebenarnya yang mereka lakukan juga hanya proses ekstraksi saja, diberi izin dan tanpa apa-apa hanya keruk, jual, tebang, jual, petik, jual. Masyarakat adat juga bisa tapi tidak diberikan kesempatan saja".
Hal yang, menurut dia, paling mengerikan ekstraksi yang dilakukan korporasi tidak menguntungkan negara. Penerimaan negara turun terus dari tahun ke tahun tidak sampai Rp100 triliun, karena proses ekstraksi yang hanya menghasilkan nilai tambah sedikit.
Sementara itu, pada kesempatan sebelumnya Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar mengatakan hingga 30 November 2020 penerimaan negara dari pemanfaatan sumber daya alam sebanyak Rp88,77 triliun. Angka itu melampaui target APBN 2020 yang direvisi karena pandemi COVID-19 menjadi 112,24 persen.
Penerimaan negara tersebut sebagian tersebut berasal dari industri-industri ekstraktif. Sebanyak Rp66,14 triliun berasal dari migas, menyusul sektor kehutanan, panas bumi dan perikanan.
Kontribusi sektor sumber daya alam menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun dalam konteks pembangunan sumber daya alam justru menghasilkan ketimpangan dalam pengelolaan.
"Bencana akhir-akhir ini saya kira, saya sudah sampaikan langsung ke Bapak Presiden, bahwa bencana ini bukan semata-mata karena luapan air, karena fenomena alam tetapi karena kerusakannya yang relevan karena eksploitasi dan eksplorasi yang tidak dihitung secara ekonomi jumlah kerusakan, sehingga tidak memberikan pemanfaatan yang menghasilkan ketimpangan dan realitas musibah dan bencana," ujar Muhaimin.