Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengatakan Republik Indonesia melalui Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) perlu memantau dan mengkaji rencana Pemerintah Jepang untuk membuang limbah cair radioaktif nuklir PLTN Fukushima ke laut.
"Kedua lembaga tersebut diharapkan dapat memberi masukan kepada Pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu," kata Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Sebelumnya diketahui bahwa Pemerintah Jepang sedang menyiapkan proyek pembuangan sebanyak 1,25 juta ton limbah cair radioaktif dari air pendingin bekas PLTN Fukushima ke laut.
Menurut Mulyanto, meski menurut keterangan Pemerintah Jepang limbah tersebut sebelum dibuang akan diolah untuk mencapai baku mutu limbah cair dan mendapat dukungan dari badan tenaga nuklir internasional (IAEA), namun Indonesia tetap harus hati-hati.
"Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus waspada atas rencana pembuangan limbah nuklir Jepang ini karena risiko kemungkinan mengalirnya limbah radioaktif tersebut masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia bersama dengan dinamika arus laut tetap terbuka. Bila ini terjadi maka pengaruh radioaktif lingkungan melalui jalur kritis rantai makanan dapat masuk ke dalam tubuh dan memberikan paparan radiasi internal kepada masyarakat. Hal ini tentu harus kita hindari,” ujar Mulyanto.
Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa mengabaikan persoalan ini sebab letak geografis Indonesia tidaklah terlalu jauh dengan Jepang sehingga sangat mungkin limbah pembuangan itu masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia, khususnya di wilayah Sulawesi bagian utara, Kalimantan bagian utara dan Maluku bagian utara.
"Kita tahu Jepang termasuk negara yang cukup hati-hati dalam mengelola program nuklirnya. Karena itu sikap kita harus obyektif proporsional sesuai dengan tingkat kepentingan nasional kita," imbuh Mulyanto yang merupakan doktor nuklir lulusan Tokyo Technology of Institute, Jepang, ini.
Sebagai informasi Pemerintah Jepang telah menyusun kebijakan dasar untuk membuang air olahan limbah nuklir Fukushima ke laut, dua tahun ke depan, setelah memastikan tingkat keamanan limbah cair tersebut. Operator pembangkit listrik Tokyo Electric Power Company Holdings Inc (Tepco) dilaporkan membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk benar-benar dapat membuang air radioaktif itu ke laut.
PLTN Fukushima sendiri adalah reaktor nuklir yang rusak akibat gempa dan tsunami pada tahun 2011. Limbah cair sebanyak lebih dari 1 juta ton tersebut berasal dari air pendingin reaktor, air hujan, dan tanah yang merembes setiap hari, dan hanya menyisakan tritium, isotop radioaktif hidrogen yang sulit dipisahkan dari air.
Rencana ini mendapat penolakan oleh kalangan nelayan Jepang sendiri, juga oleh negara tetangga seperti China dan Korea Selatan.
"Kedua lembaga tersebut diharapkan dapat memberi masukan kepada Pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu," kata Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Sebelumnya diketahui bahwa Pemerintah Jepang sedang menyiapkan proyek pembuangan sebanyak 1,25 juta ton limbah cair radioaktif dari air pendingin bekas PLTN Fukushima ke laut.
Menurut Mulyanto, meski menurut keterangan Pemerintah Jepang limbah tersebut sebelum dibuang akan diolah untuk mencapai baku mutu limbah cair dan mendapat dukungan dari badan tenaga nuklir internasional (IAEA), namun Indonesia tetap harus hati-hati.
"Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus waspada atas rencana pembuangan limbah nuklir Jepang ini karena risiko kemungkinan mengalirnya limbah radioaktif tersebut masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia bersama dengan dinamika arus laut tetap terbuka. Bila ini terjadi maka pengaruh radioaktif lingkungan melalui jalur kritis rantai makanan dapat masuk ke dalam tubuh dan memberikan paparan radiasi internal kepada masyarakat. Hal ini tentu harus kita hindari,” ujar Mulyanto.
Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa mengabaikan persoalan ini sebab letak geografis Indonesia tidaklah terlalu jauh dengan Jepang sehingga sangat mungkin limbah pembuangan itu masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia, khususnya di wilayah Sulawesi bagian utara, Kalimantan bagian utara dan Maluku bagian utara.
"Kita tahu Jepang termasuk negara yang cukup hati-hati dalam mengelola program nuklirnya. Karena itu sikap kita harus obyektif proporsional sesuai dengan tingkat kepentingan nasional kita," imbuh Mulyanto yang merupakan doktor nuklir lulusan Tokyo Technology of Institute, Jepang, ini.
Sebagai informasi Pemerintah Jepang telah menyusun kebijakan dasar untuk membuang air olahan limbah nuklir Fukushima ke laut, dua tahun ke depan, setelah memastikan tingkat keamanan limbah cair tersebut. Operator pembangkit listrik Tokyo Electric Power Company Holdings Inc (Tepco) dilaporkan membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk benar-benar dapat membuang air radioaktif itu ke laut.
PLTN Fukushima sendiri adalah reaktor nuklir yang rusak akibat gempa dan tsunami pada tahun 2011. Limbah cair sebanyak lebih dari 1 juta ton tersebut berasal dari air pendingin reaktor, air hujan, dan tanah yang merembes setiap hari, dan hanya menyisakan tritium, isotop radioaktif hidrogen yang sulit dipisahkan dari air.
Rencana ini mendapat penolakan oleh kalangan nelayan Jepang sendiri, juga oleh negara tetangga seperti China dan Korea Selatan.