Semarang (ANTARA) - Wacana pasangan calon presiden dan wakil presiden perseorangan mengemuka kembali meski menyadari bahwa konstitusi hingga sekarang belum membuka peluang, kecuali mengamendemen kembali Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Satu-satunya pintu untuk mendapat tiket sebagai peserta Pemilu Presiden/Wakil Presiden RI adalah partai politik atau gabungan partai politik, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa pasangan calon presiden/wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilu.

Bagaimana dengan warga negara Indonesia yang tidak ikut partai mana pun? Padahal, dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI Tahun1945 menyebutkan bahwa warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Peluang itu tetap ada asalkan diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang penuhi persyaratan ambang batas pencalonan presiden/wapres minimal 20 persen kursi atau minimal 25 persen suara hasil pemilu anggota legislatif.

Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) disebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR RI sebelumnya.



Namun, sayangnya dalam pasal tersebut tidak ada batas maksimal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sehingga jumlah kontestan terbatas.Tidak pelak lagi, terjadi borongan dukungan partai.

Pada Pemilu Presiden/Wakil Presiden 2019, misalnya, mengacu pada Pemilu Anggota DPR RI 2014 yang memperebutkan 560 kursi. Total kursi parpol pendukung pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebanyak 337 kursi (60,17 persen), terdiri atas PDI Perjuangan (109 kursi), Partai Golkar (91), PKB (47), PPP (39), Partai NasDem (35), dan Partai Hati Nurani Rakyat (16).

Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno diusung Partai Gerindra (73), Partai Demokrat (61), PKS (40), dan PAN (49) dengan total 223 kursi DPR RI (38,98 persen).

Dalam Pilpres 2019, tidak ada satu pun parpol yang bisa mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden sendiri, tetapi mereka harus berkoalisi dengan partai lain supaya memenuhi persyaratan ambang batas 20 persen (112 kursi) dari total kursi DPR RI 2014—2019. Padahal, sangat memungkinkan ada empat pasang calon.

Mumpung masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum yang merupakan perubahan atas UU Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), perlu mencantumkan frasa "paling banyak" dalam persyaratan tersebut agar menampilkan minimal dua pasangan calon setiap pesta demokrasi.

Dalam draf RUU Pemilu (hasil pemutakhiran pada tanggal 26 November 2020), khusus pada pemilihan kepala daerah (pilkada), masih membuka peluang bagi pasangan calon perseorangan. Namun, untuk pilpres, sampai saat ini pintunya masih tertutup rapat.



Lewat DPD RI
Begitu pula, wacana yang disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI La Nyalla Mahmud Mattalitti bahwa DPD yang merupakan utusan seluruh daerah di Indonesia idealnya bisa menjadi saluran bagi putra/putri terbaik bangsa nonpartisan yang ingin maju sebagai calon presiden/wakil presiden dari jalur perseorangan.

Seiring dengan mengemukanya kembali peserta pilpres dari jalur independen, wacana amendemen ke-5 UUD NRI Tahun 1945 juga kembali ke permukaan.

Dalam perjalanan sejarah konstitusi, kali pertama melakukan amendemen terhadap UUD 1945 melalui Sidang Umum MPR RI pada tanggal 14-21 Oktober 1999. Amendemen kedua sampai keempat UUD 1945 melalui Sidang Tahunan MPR RI, yakni amendemen kedua pada tanggal 7-18 Agustus 2000, amendemen ketiga pada 1-9 November 2001, dan amendemen keempat pada 1—11 Agustus 2002

Alasan yang mengemuka terkait dengan amendemen kembali terhadap UUD NRI Tahun 1945, antara lain demi perbaikan dan koreksi atas perjalanan amendemen pertama hingga keempat mulai 1999 hingga 2002 sekaligus pintu masuk jalur perseorangan atau nonpartai politik agar bisa ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi pilpres.

Hal ini mengingat dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Disebutkan pula dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Dalam Pasal 28D Ayat (3) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Terkait dengan sejumlah pasal dalam konstitusi tersebut, La Nyalla mempertanyakan mengapa untuk menjadi kepala pemerintahan, dalam hal ini untuk menjadi calon presiden/wakil presiden, harus anggota atau kader partai politik saja.

Itu pun tidak semua partai bisa mengusung kadernya karena adanya presidential threshold. Jadi, di sini sebenarnya telah terjadi ambiguitas dan sesuatu yang paradoksal.

Sebaiknya pembuat undang-undang (pemerintah dan DPR RI) perlu mencatat masukan dari anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini bahwa calon independen ini tidak perlu terlalu jadi persoalan jika ada skema yang lebih leluasa untuk pencalonan presiden/wakil presiden melalui penghapusan persyaratan ambang batas pencalonan presiden/wapres.

Kalau calon independen, mau tidak mau harus mengubah konstitusi. Akan tetapi, kalau penghapusan ambang batas pencalonan, hanya pada level perubahan undang-undang tanpa perlu mengamendemen UUD NRI Tahun 1945.
 

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024