Palu (ANTARA) -
Akademisi Universitas Tadulako (Untad) Palu, Muhammad Nasrum menyebutkan banyak kerugian dialami masyarakat akibat investasi skema ponzi atau modus investasi palsu.
Nasrum yang dihubungi di Palu, Rabu mengatakan modus ponzi sama seperti skema primadia atau 'money game' yang sesungguhnya sudah lama terjadi di negeri ini dengan model bisnis iming-iming yang menjanjikan pembayaran atau jasa yang besar, apabila anggota mereka mampu merekrut orang lain menjadi anggota baru.
Salah satu investasi bodong yang baru-baru ini terjadi, kata pengamat budaya finansial Untad ini, yakni aplikasi Berbagi WPP Group yang digandrungi masyarakat telah meraup keuntungan mencapai puluhan miliar rupiah dari hasil kejahatan digital mereka.
"Sejak pertama kali muncul sekitar Maret 2021, aplikasi WPP Berbagi atau oleh penggunanya juga sering disebut dengan aplikasi Berbagi cepat tersebar luas melalui media sosial seperti whatsApp, telegram dan facebook. Aplikasi ini dengan sangat cepat mengundang minat banyak orang karena dipromosikan sebagai sebuah aplikasi penghasil uang dengan cara mudah," ujar Nasrum yang juga dosen pengajar pada Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untad Palu.
Ia mengungkapkan hasil penelusurannya melalui bincang-bincang di gawai masing-masing anggota pengguna perangkat ini mengajak orang lain ikut bergabung, lalu membentuk sejumlah komunitas dan tidak jarang melakukan pertemuan berkala secara tatap muka.
Kelompok pengguna aplikasi WPP Berbagi, bahkan turut melakukan kegiatan sosial kemanusiaan, sehingga semakin meyakinkan masyarakat ikut mendaftarkan diri sebagai anggota.
Dengan mendompleng nama perusahaan agensi periklanan terbesar asal Inggris WPP Group Plc, WPP Berbagi mengklaim sebagai sebuah platform periklanan video singkat yang menghubungkan antara pihak pengiklan, termasuk para pesohor maupun parang anggota grup dalam mempromosikan dan mendongkrak popularitas iklan berbasis media sosial.
"Para 'upline' menawarkan ke calon anggota bahwa aplikasi investasi tersebut sangat mudah dijalankan, pekerjaan para anggota cukup hanya melakukan tugas harian dengan menyukai, 'subscribe', unggah dan mengumpulkan akun media sosial lainnya seperti instagram', youtube, TikTok dan facebook melalui platform perangkat tersebut," kata mahasiswa pascasarjasa yang sedang mengenyam jenjang pendidikan Doktoral di Universitas Indonesia (UI) ini.
Ia menilai terjadinya kasus-kasus penipuan secara daring, termasuk kasus pinjaman daring dan aplikasi bodong dengan skema ponzi, 'cybercrime', dan jenis-jenis kejahatan digital lainnya selain merupakan dampak dari revolusi dan serbuan teknologi digital, juga menunjukkan rendahnya literasi digital dan finansial masyarakat Indonesia.
"Jika masyarakat cukup kritis atau berfikir secara rasional, mengapa ini nampaknya terlalu mudah untuk mendapatkan penghasilan dan keuntungan yang besar? Maka itu sudah merupakan modal awal terhindar dari kejahatan dunia maya," ucap Nasrum yang saat ini juga sedang melakukan riset di bidang antropologi keuangan.
Di sisi lain, katanya, institusi hukum dan keuangan juga belum cukup efektif dalam merespon munculnya ancaman baru yang sifatnya transnasional, bahkan nyaris nir-tempatan karena sifatnya virtual.
Menurut dia, situasi pandemi COVID-19 berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat karena banyak orang kehilangan pekerjaan, dicuti-rumahkan dan kesempatan mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sangat terbatas.
"Saya melihat wabah COVID-19 membuka ruang maraknya kejahatan siber tidak terkecuali investasi bodong seperti yang dilakukan WPP Berbagi. Masyarakat tidak banyak pilihan karena ruang gerak sangat terbatas, ditambah ajakan ikut bergabung menjadi anggota di sebuah aplikasi tertentu dengan iming-iming insentif yang menjanjikan tanpa berpikir panjang masyarakat tergiur," demikian Nasrum.