Jakata (ANTARA) - Dua hari sebelum tahun berganti dari 2021 ke 2022, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus membuat prediksi membesarkan hati bahwa pandemi COVID-19 yang selama dua tahun terakhir merenggut 5,44 juta nyawa manusia, bisa saja berakhir tahun ini.

Tedros menyebut 2021 memang masih menjadi tahun yang berat, namun selama tahun itu banyak hal yang bisa disyukuri umat manusia, terutama oleh semakin banyaknya metode dan alat untuk mencegah dan mengobati COVID-19.

Kini dunia sudah memiliki kartu as lain, yakni obat COVID-19 termasuk paxlovid buatan Pfizer dan molnupiravir produksi Merck, yang bakal lebih mudah didapatkan tahun ini sehingga tingkat rawat inap dan kematian akibat COVID-19 kian gampang ditekan.

Dalam hal vaksinasi, sudah lebih dari 8,5 miliar dosis disuntikkan kepada manusia-manusia seluruh dunia sehingga jutaan nyawa terselamatkan.

Namun dengan sebegitu banyak dosis vaksin yang sudah disuntikkan, seharusnya pandemi bisa lebih cepat dijinakkan. Faktanya tidak, karena tahun lalu vaksin tidak disebarkan merata ke seluruh penduduk Bumi tanpa membedakan negara kaya dan negara miskin.

Bayangkan, tatkala negara-negara kaya sudah memvaksinasi penduduknya lengkap dengan dua dosis vaksin, bahkan dosis ketiga, di negara-negara miskin dan berkembang hanya 5 persen saja penduduk mereka yang sudah divaksin.

Padahal seandainya tahun lalu 70 persen penduduk dunia sudah divaksinasi, maka virus corona bakal semakin sulit menyebar dan berkembang.

Sayang, sejak vaksin pertama disuntikkan, dunia dijangkiti penyakit nasionalisme vaksin yang akut sampai beberapa negara menimbun stok vaksin demi kepentingannya sendiri saat yang lain kesulitan mendapatkannya.

Padahal ketidakadilan membuat banyak orang tak terlindungi yang lalu menciptakan kondisi ideal bagi munculnya varian baru seperti Omicron.

Ketidakadilan seperti ini harus dihentikan, karena, seperti disebut Tedros, jika umat manusia mengakhiri ketidakadilan vaksin, maka manusia bisa mengakhiri pandemi COVID-19.

Dan jika ketidakadilan vaksin itu bisa ditekan tahun ini, maka akan memperkuat hal-hal positif yang sudah tercipta dalam bagaimana COVID-19 dihadapi.

Hal-hal positif itu salah satunya kecenderungan virus corona menjadi endemik yang menghilangkan daya mautnya sampai seperti semacam virus flu biasa. Pola ini umum terjadi pada berbagai jenis pandemi, mulai dari pandemi flu Spanyol hampir satu abad silam, sampai pandemi flu babi pada 2009.

Seperti pandemi-pandemi sebelumnya, COVID-19 bisa berubah menjadi lebih musiman yang tak lagi merusak kehidupan sehari-hari manusia atau mendikte pengambilan keputusan, mulai ekonomi sampai politik.

Penyakit endemik cenderung cuma menimbulkan gejala ringan karena semakin banyak orang yang telah imun, entah karena pernah terinfeksi atau karena vaksinasi.

Walaupun demikian, COVID-19 tak akan hilang sama sekali. Untuk itu, tindakan pencegahan harus tetap dilakukan, seperti saat orang menghadapi influenza.


Semakin positif

Dulu orang tidak sembarangan bersin di muka umum dengan cara menutupi mulut dengan tangan atau sapu tangan guna mencegah cairan batuk menciprat orang lain.

Saat ini kebiasaan itu sudah mengalami upgrade dengan tumbuhnya norma baru mengenakan masker di tempat umum. Bahkan mungkin tempat-tempat tertentu seperti kantor tetap mewajibkan masker, terutama kepada mereka yang terserang sakit akibat virus pemicu penyakit semacam flu atau memaksa karyawan bekerja dari rumah.

Kebiasaan mencuci tangan dan menjaga jarak ketika penyakit menular terdeteksi di sekitar masyarakat juga menjadi norma baru yang bisa membuat pandemi lebih bisa ditekan dan bahkan diakhiri.

Situasi ini menjadi semakin positif lagi oleh kemungkinan semakin mudah dan murahnya biaya tes COVID-19 sehingga deteksi lebih dini guna membendung penularan bisa dilakukan lebih cepat lagi.

Contohnya, saat awal pandemi, harga tes PCR di Indonesia bisa mencapai Rp1 juta, tapi kini harganya sudah sekitar Rp275 ribu. Bahkan tes-tes COVID-19 lain seperti antigen sudah bisa dilakukan di mana-mana.

Dengan semua fakta dan perkembangan itu, tak berlebihan jika Dirjen WHO mengatakan umat manusia tahun ini berpeluang mengakhiri pandemi.

Tapi itu tak boleh menyisihkan kebutuhan bahwa manusia dan negara sejagat mesti bekerja sama guna mencapai target vaksinasi 70 persen penduduk di setiap negara pada pertengahan 2022.

Pemerintah dan masyarakat harus terus bertindak. Pemerintah mesti konsisten menjalankan kebijakan kesehatan, sedangkan masyarakat mesti setia kepada protokol kesehatan, termasuk mengenakan masker di luar rumah saat terjadi wabah.

Kerangka kerjasama global demi keamanan kesehatan global pun harus diperkuat lagi, mulai soal tata kelola, pendanaan, sistem dan alat untuk agar bisa cepat mencegah, mempersiapkan, mendeteksi, dan merespons epidemi.

Yang juga tak boleh dilupakan adalah investasi sistem perawatan kesehatan primer guna mencegah kacaunya sistem oleh pandemi. Apalagi COVID-19 mengajari manusia bahwa ketika kesehatan bermasalah, maka semua aspek kehidupan pun terganggu, bahkan ambruk.

Dunia juga tak boleh surut berkolaborasi lebih kuat dan lebih padu lagi, tidak saja agar pandemi bisa tutup buku tahun ini, tetapi juga demi menangkal pandemi-pandemi lain di kemudian masa yang menurut para pakar bisa lebih dahsyat daripada pandemi COVID-19.

Sudah cukup pengalaman kolaborasi antarnegara yang buruk selama dua tahun terakhir sehingga mayapada dibuat merana oleh virus yang amat menular tersebut.

Menurut filantropis pendiri Microsoft Bill Gates, dunia sebenarnya memiliki kesempatan berinvestasi dalam alat dan sistem yang dapat mencegah pandemi COVID-19, tetapi kesempatan seperti ini tak digunakan.

Oleh karena itu, 2022 harus menjadi tahun koreksi untuk segala kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan tahun lalu dan sebelumnya.

Mari terus berkolaborasi dan berinvestasi dalam alat, metode dan sistem guna mengakhiri pandemi ini dan sekaligus mencegah munculnya pandemi lain.

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024