Palu (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah didorong untuk membentuk satuan tugas penanganan banjir guna mengoptimalkan langkah - langkah pengurangan risiko dan dampak bencana alam di wilayah tersebut, kata Guru Besar Teknik Sipil Universitas Tadulako (Untad) Palu, Prof Galib Ishak.
"Pemerintah agar segera membentuk satgas penanganan banjir untuk mengantisipasi bencana banjir ke depannya dengan mengintegrasikan kewenangan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III. Karena DAS Kota Palu meliputi Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong," kata Prof Galib Ishak, di Palu, Selasa.
Usulan tersebut seiring dengan rentannya provinsi ini terhadap bencana alam banjir bandang dan longsor saat hujan dengan intensitas deras mengguyur kabupaten dan kota di Sulteng.
Prof Galib yang merupakan peneliti tentang banjir di Sulawesi Tengah mengatakan, dari sisi aturan semua sudah terwadahi di rencana tata ruang, baik itu RTURK Kota Palu dan RTRW Provinsi Sulawesi Tengah, master plan drainase Kota Palu, dan perda tentang sempadan sungai.
Namun, kata dia, banjir dan tanah longsor yang terjadi di wilayah Parigi Moutong, Palu, Sigi, Donggala, Tolitoli dan Buol, perlu dicari benang merahnya tentang perubahan tata guna lahan.
"Maka kewenangan perlu selektif tentang ijin penggunaan lahan dengan kewenangan termasuk penanganan sempadan sungai, dan bangunan baru harus. Hal ini harus dikendalikan dan pemerintah harus lebih mengedukasi masyarakat berupa sosialisasi tentang bangunan di sempadan sungai," kata dia.
Ia menjelaskan, hal itu karena karakteristik sungai yang berada di Kota Palu, Sigi, Donggala, Parigi Moutong dan umumnya di Sulawesi Tengah adalah sungai tadah hujan dengan ifiltrasi agak besar dengan lebar di hulu, dan kecil di hilir .
"Sehingga dibutuhkan penanganan dan rekayasa, karena ketika tiba waktu hujan dengan intensitas tinggi dan debit besar maka mengakibatkan banjir seperti yang terjadi sekarang ini," ungkapnya.
Terkait hal itu, Guru Besar Teknik Sipil Untad Palu Wayan Sutapa menjelaskan fenomena banjir yang terjadi di Sulawesi Tengah salah satunya dipicu oleh pemanasan global adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.
"Kondisi sekarang tidak ada batas musim kemarau dan musim hujan, perubahan iklim menjadi tantangan bagi para akademisi termasuk Teknik Untad untuk memberi solusi kepada pemerintah, solusi menurunkan emisi karbon sangat sederhana, yaitu masyarakat harus gemar menanam dengan memanfaatkan lahan yang tersedia," ungkapnya.
Sementara itu Dekan Fakultas Teknik Untad Andi Rusdin mengungkapkan Universitas Tadulako siap memberikan masukan sesuai tri dharma perguruan tinggi, termasuk masalah banjir.
"Akademisi yang sesuai keahliannya siap memberikan kontribusi bidang hidrologi dan hidrolika dengan leading sektor adalah pemda, untuk membantu mencari solusi. Fakultas Teknik siap kerja sama dengan pemda baik provinsi, kabupaten dan kota," ungkapnya.
"Pemerintah agar segera membentuk satgas penanganan banjir untuk mengantisipasi bencana banjir ke depannya dengan mengintegrasikan kewenangan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III. Karena DAS Kota Palu meliputi Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong," kata Prof Galib Ishak, di Palu, Selasa.
Usulan tersebut seiring dengan rentannya provinsi ini terhadap bencana alam banjir bandang dan longsor saat hujan dengan intensitas deras mengguyur kabupaten dan kota di Sulteng.
Prof Galib yang merupakan peneliti tentang banjir di Sulawesi Tengah mengatakan, dari sisi aturan semua sudah terwadahi di rencana tata ruang, baik itu RTURK Kota Palu dan RTRW Provinsi Sulawesi Tengah, master plan drainase Kota Palu, dan perda tentang sempadan sungai.
Namun, kata dia, banjir dan tanah longsor yang terjadi di wilayah Parigi Moutong, Palu, Sigi, Donggala, Tolitoli dan Buol, perlu dicari benang merahnya tentang perubahan tata guna lahan.
"Maka kewenangan perlu selektif tentang ijin penggunaan lahan dengan kewenangan termasuk penanganan sempadan sungai, dan bangunan baru harus. Hal ini harus dikendalikan dan pemerintah harus lebih mengedukasi masyarakat berupa sosialisasi tentang bangunan di sempadan sungai," kata dia.
Ia menjelaskan, hal itu karena karakteristik sungai yang berada di Kota Palu, Sigi, Donggala, Parigi Moutong dan umumnya di Sulawesi Tengah adalah sungai tadah hujan dengan ifiltrasi agak besar dengan lebar di hulu, dan kecil di hilir .
"Sehingga dibutuhkan penanganan dan rekayasa, karena ketika tiba waktu hujan dengan intensitas tinggi dan debit besar maka mengakibatkan banjir seperti yang terjadi sekarang ini," ungkapnya.
Terkait hal itu, Guru Besar Teknik Sipil Untad Palu Wayan Sutapa menjelaskan fenomena banjir yang terjadi di Sulawesi Tengah salah satunya dipicu oleh pemanasan global adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.
"Kondisi sekarang tidak ada batas musim kemarau dan musim hujan, perubahan iklim menjadi tantangan bagi para akademisi termasuk Teknik Untad untuk memberi solusi kepada pemerintah, solusi menurunkan emisi karbon sangat sederhana, yaitu masyarakat harus gemar menanam dengan memanfaatkan lahan yang tersedia," ungkapnya.
Sementara itu Dekan Fakultas Teknik Untad Andi Rusdin mengungkapkan Universitas Tadulako siap memberikan masukan sesuai tri dharma perguruan tinggi, termasuk masalah banjir.
"Akademisi yang sesuai keahliannya siap memberikan kontribusi bidang hidrologi dan hidrolika dengan leading sektor adalah pemda, untuk membantu mencari solusi. Fakultas Teknik siap kerja sama dengan pemda baik provinsi, kabupaten dan kota," ungkapnya.