Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyatakan bahwa potensi karbon biru atau blue carbon yang cukup tinggi pada mangrove bisa mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor lahan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agus Justianto mengatakan sejauh ini mangrove belum diperhitungkan di dalam Nationally Determined Contribution (NDC) maupun dokumen LTS-LCCR 2050, namun bisa dielaborasi dengan rencana operasional FOLU Net Sink 2030.

"Luas mangrove Indonesia termasuk terbesar di dunia, yakni mencapai 3,36 juta hektare," ujarnya dalam sosialisasi sub-nasional Indonesia's FOLU Net Sink 2030 Provinsi Papua Barat yang dipantau di Jakarta, Rabu.

Saat ini hutan mangrove yang dimiliki oleh Indonesia adalah 20 persen dari total luasan mangrove dunia yang mencapai 16,53 juta hektare.

Agus menuturkan potensi karbon biru yang cukup tinggi pada mangrove meliputi above ground biomass, soil mangrove maupun below ground biomass.

Terminologi karbon biru telah diperkenalkan sejak tahun 2010, yaitu karbon yang tersimpan di dalam ekosistem laut dan pesisir.

Berdasarkan data Kementerian LHK, luas mangrove eksisting beserta padang lamun di Indonesia meliputi mangrove lebat seluas 3,12 juta hektare atau sekitar 92,78 persen, mangrove sedang seluas 118.366 hektare atau sekitar 5,60 persen, dan mangrove jarang seluas 54.474 hektare atau setara 1,62 persen.

Potensi ekosistem pesisir itu mampu menyerap 11 miliar ton karbon dioksida dan memberikan sumbangsih sebesar 66 miliar dolar AS.

Melalui sebuah jurnal tentang potensi cadangan dan serapan karbon ekosistem mangrove dan padang lamun di Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memberikan gambaran tentang potensi serapan karbon di Indonesia yang cukup tinggi yang diperoleh dari nilai net primary productivity (NPP).

Hasil analisis LIPI di sepuluh lokasi penelitian, ditambah dengan data sekunder menunjukkan bahwa hutan mangrove di Indonesia rata-rata mampu menyerap 52,85 ton karbon dioksida per hektare per tahun. Angka itu lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan estimasi global, yakni sebanyak 26,42 ton karbon dioksida per hektare per tahun.

Pemerintah Indonesia menegaskan keseriusannya dalam menangani isu perubahan iklim dengan menetapkan penurunan emisi sektor hutan dan penggunaan lahan serta peningkatan serapan karbon atau Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink pada tahun 2030.

Agus menyampaikan bahwa sumber emisi yang potensial terjadi mulai dari kebakaran gambut, dekomposisi gambut, dan deforestasi. Sedangkan sumber serapan melalui tanaman hutan, regenerasi hutan sekunder, aforestasi atau reforestasi, dan hutan tanaman.

"Sasaran yang ingin dicapai melalui implementasi FOLU Net Sink 2030 adalah tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar minus 140 juta ton karbon dioksida ekuivalen. Ini tentunya akan mendukung net zero emission sektor kehutanan," pungkasnya.

 

Pewarta : Sugiharto Purnama
Editor : Andilala
Copyright © ANTARA 2024