Jakarta (ANTARA) - Pentas Coldplay di Jakarta pada November 2023 bakal menjadi sebuah momentum atas kesadaran kelangsungan Bumi, mengingat grup musik ini dikenal peduli pada isu lingkungan, khususnya perubahan iklim dan transisi energi.
Kehadiran Coldplay diharapkan makin memperkuat pemahaman publik, utamanya Generasi Milenial, soal perubahan iklim beserta dampaknya yang sangat serius, yaitu pemanasan global.
Coldplay memang fenomenal. Setelah 2 dekade lebih menjadi bintang di berbagai konser, dengan tiket yang selalu terjual habis, termasuk karcis masuk untuk konser di Jakarta nanti.
Saat merilis salah satu albumnya (Everyday Life, November 2019), dengan tegas Coldplay mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi melakukan perjalanan konser "jika itu tidak netral karbon".
Maka menjadi tantangan promotor di Jakarta nanti untuk menyesuaikan aspirasi Coldplay, sebisa mungkin mendapat pasokan energi listrik berbasis energi terbarukan, seperti PLTA dan panel surya, baik untuk keperluan panggung maupun peralatan konser, termasuk transportasi penonton.
Cuitan Coldplay yang mengundang Presiden Jokowi agar berinisiatif memimpin dalam menghadapi krisis iklim, pernah menjadi trending topic. Cuitan Coldplay bisa dibaca sebagai apresiasi dan kepercayaan kepada Jokowi, yang memiliki rekam jejak sungguh-sungguh dalam memenuhi Kesepakatan Paris 2105.
Sebagai kelompok musik dengan nama besar, dengan fans mayoritas adalah Generasi Milenial, tentu pengaruh Coldplay sangat besar pula. Oleh karena itu, Coldplay berada di posisi avant-garde dalam isu perubahan iklim, baik di level opini maupun sebagai penggerak di akar rumput.
Terinspirasi pemengaruh
Kepedulian generasi baru terhadap isu iklim adalah sebuah kabar baik. Mengingat dampak krisis iklim acap kali di luar perkiraan masyarakat luas. Namun dengan segenap potensi mereka di bidang sains dan teknologi, Generasi Milenal kiranya bisa menjaga dan melestarikan masa depan planet Bumi dengan optimistis.
Sesuai perjalanan waktu, saat tahun emas Indonesia 2045, berarti negeri ini sudah dipimpin Generasi Milenial (termasuk Gen Z). Mereka yang hari ini masih berusia berkisar 20 sampai 30 tahun, kelak akan menjadi penentu kebijakan pada tahun 2045.
Isu krusial bagi Generasi 2045 adalah perubahan iklim, yang gejalanya sudah terlihat hari ini berupa pemanasan global, cuaca ekstrem, dan bencana hidrometerologi.
Pengetahuan krisis iklim Generasi Milenial di Tanah Air untuk sebagian terinspirasi oleh para influencer atau pemengaruh selain Coldplay, ada juga pengaruh kelompok musik pop dari Korea Selatan (K-Pop).
Pada era informasi digital seperti sekarang, sumber pengetahuan dan inspirasi bisa datang dari sudut mana pun. Maka tak perlu risau pula bila Generasi Milenial memperoleh pengetahuan dari entitas atau figur luar negeri, seperti isu perubahan iklim, lebih spesifik lagi soal pemanasan global.
Kelompok K-Pop dimaksud adalah BTS dan Blackpink. Dua kelompok ini sejak lama dikenal berada dalam posisi terdepan dalam isu iklim.
Bahkan BTS pada September tahun lalu mendapat kesempatan untuk tampil di panggung yang sangat terhormat, yakni Sidang Majelis Umum PBB di New York. BTS dengan cara memukau mengangkat isu krisis iklim, mengajak komunitas global untuk bersama-sama merawat Bumi.
Pemengaruh lain yang harus disebut adalah Gretha Thunberg, aktivis lingkungan belia dari Swedia, dan masih berstatus pelajar sekolah menengah.
Gerakan yang digagasnya dikenal dengan tagline “Friday for Future”(sejak tahun 2018), sebuah aksi masif skala global menentang perubahan iklim. Gerakan protes iklim setiap hari Jumat, harus diakui telah menjadi inspirasi bagi Generasi Milenial di Tanah Air dalam membangun kesadaran dan pengetahuan terkait perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim bagi sebagian besar masyarakat bisa jadi masih sesuatu yang abstrak sehingga diperlukan metode khusus untuk membangun narasi mitigasi.
Maka idealnya para pekerja kreatif di bidang musik dan visual perlu dilibatkan. Acap kali terbukti, sebuah isu yang lumayan berat dan abstrak, setelah dikemas ulang melalui lagu dan grafis, bisa langsung terinternalisasi dengan lebih mudah ke kalangan masyarakat.
Misalnya, ketika mengingat kelompok musik asal Bandung The Rollies pada akhir 1970-an merilis tembang “Kemarau” (karya Titik Puspa) yang sarat dengan pesan lingkungan. Lagu itu seolah memberi ramalan apa yang terjadi saat ini ketika pemanasan global benar-benar terjadi.
Fenomena krisis iklim sejatinya sudah dilihat musikus sejak lama, bahkan jauh sebelum Protokol Kyoto (1997), yang dianggap sebagai tonggak perhatian global atas isu perubahan iklim.
Dalam setahun terakhir ini sudah mulai muncul inisiatif Generasi Milenial untuk kampanye isu krisis iklim. Seperti organisasi Greenpeace menyelenggarakan kegiatan bertajuk Chasing The Shadow. Greenpeace sendiri adalah organisasi skala global untuk isu lingkungan.
Salah satu narasi yang muncul dari aksi tersebut adalah tidak ada waktu lagi untuk memikirkan apakah krisis iklim itu benar atau tidak. Artinya, tanpa kebijakan yang tegas, salah satunya soal transisi energi, masa depan generasi muda akan dipertaruhkan akibat krisis iklim yang kian masif.
Sebagai komunitas yang diperkirakan paling terdampak, pengetahuan Generasi Milenial soal krisis iklim bisa dibilang memadai. Salah satunya ditandai dengan kegiatan reguler tahunan, yaitu Indonesia Youth Climate Summit.
Momen ini menjadi penanda bahwa sudah ada elemen Generasi Milenial yang ikut mengampanyekan bahaya pemanasan global dan bagaimana cara menghindarinya.
Penyelamatan generasi
Dalam mitigasi penyelamatan Bumi sebagai dampak pemanasan global, prosesnya berbasis riset. Salah satu lembaga yang kredibel adalah IPCC atau Intergovermental Panel Climate Change (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim), lembaga riset isu iklim di bawah payung PBB yang secara berkala mengeluarkan laporan.
Pada September 2019, IPCC merilis laporan berjudul Ocean and Cryosphere in a Changing Climate. Laporan ini memberikan bukti baru manfaat membatasi pemanasan global serendah mungkin, sejalan dengan Kesepakatan Paris 2015. Cryosphere adalah wilayah di Bumi yang tertutup es. Laporan ini khusus menyorot perubahan-perubahan di wilayah tersebut akibat krisis iklim.
Satu catatan penting adalah ketika laporan tersebut menyebut gletser di Puncak Jaya (Papua), salah satu fenomena alam ikonik negeri ini.
Tahun terpanas dalam sejarah umat manusia terjadi secara berkesinambungan sejak 2014 sehingga berdampak pada gletser di Puncak Jaya, Papua. Salju abadi itu telah meleleh sehingga bisa mengancam status “keabadiannya”.
Proses penyusutan luasan dan ketebalan es berjalan dengan cepat, setidaknya sejak tahun 2002, dan diperkirakan pada tahun 2026 akan lenyap sama sekali.
Selain melelehnya gletser di Papua, dampak perubahan iklim juga mulai tampak di Kaltim. Data pengamatan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) selama 40 tahun menunjukkan Kaltim mengalami laju kenaikan suhu udara tertinggi di Indonesia.
Hal ini perlu menjadi perhatian serius, mengingat Kaltim menjadi lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN).
Secara rata-rata, Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan, dan Sulawesi bagian utara, mengalami tren kenaikan suhu udara permukaan di atas 0,3 derajat celsius per dekade.
Laju kenaikan suhu udara permukaan di beberapa wilayah Indonesia ini jauh lebih tinggi dari rata-rata kenaikan suhu global, berdasar laporan Goddard NASA untuk Studi Luar Angkasa (GISS) sebesar 0,15-0,2 derajat celsius per dekade.
Penghematan energi dan pemanfaatan energi bersih harus menjadi bagian dari gaya hidup Generasi Milenial sehingga pada akhirnya menjadi legacy untuk kehidupan yang lebih baik dan berkualitas.
Hemat energi harus menjadi gerakan bersama. Dalam lingkup komunitas, kesediaan menggunakan transportasi publik sudah sangat membantu, terlebih sebagian transportasi publik, utamanya di kota besar, sudah memasuki fase elektrifikasi. Menggunakan transportasi publik bertenaga listrik secara bersama, selain menghemat bahan bakar, juga mengurangi polusi karbon.
Dalam COP26 (KTT Iklim) di Glasgow (Skotlandia), akhir tahun 2021, Indonesia sudah menyampaikan target net zero emission (netral karbon) pada tahun 2060. Untuk mencapai target ambisius tersebut, transisi energi menjadi sandaran utama melalui program pemanfaatan kendaraan listrik secara masif.
Sesuai dengan kapasitas dan perkembangan karier Generasi Milenial, "angkatan" ini bisa berkontribusi dalam transisi energi dengan lebih memilih moda angkutan listrik dalam mobilitasnya, baik transportasi umum maupun pribadi.
Untuk transportasi pribadi, ketika harga mobil listrik masih sulit terjangkau, ada pilihan yang lebih ekonomis, yaitu skuter (otopet) listrik.
Bagi Generasi Milenial di perkotaan, pilihan terhadap skuter listrik bisa menjadi jembatan menuju gaya hidup energi hijau dan eco-friendly.
Secara prinsip, peralihan dari alat transportasi berbasis BBM ke kendaraan listrik (electric vehicle) harus dilakukan karena emisi yang dikeluarkan dapat berkurang, setidaknya, 50 persen.
*) Dr Taufan Hunneman adalah dosen UCIC, Cirebon.
Editor: Achmad Zaenal M
Kehadiran Coldplay diharapkan makin memperkuat pemahaman publik, utamanya Generasi Milenial, soal perubahan iklim beserta dampaknya yang sangat serius, yaitu pemanasan global.
Coldplay memang fenomenal. Setelah 2 dekade lebih menjadi bintang di berbagai konser, dengan tiket yang selalu terjual habis, termasuk karcis masuk untuk konser di Jakarta nanti.
Saat merilis salah satu albumnya (Everyday Life, November 2019), dengan tegas Coldplay mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi melakukan perjalanan konser "jika itu tidak netral karbon".
Maka menjadi tantangan promotor di Jakarta nanti untuk menyesuaikan aspirasi Coldplay, sebisa mungkin mendapat pasokan energi listrik berbasis energi terbarukan, seperti PLTA dan panel surya, baik untuk keperluan panggung maupun peralatan konser, termasuk transportasi penonton.
Cuitan Coldplay yang mengundang Presiden Jokowi agar berinisiatif memimpin dalam menghadapi krisis iklim, pernah menjadi trending topic. Cuitan Coldplay bisa dibaca sebagai apresiasi dan kepercayaan kepada Jokowi, yang memiliki rekam jejak sungguh-sungguh dalam memenuhi Kesepakatan Paris 2105.
Sebagai kelompok musik dengan nama besar, dengan fans mayoritas adalah Generasi Milenial, tentu pengaruh Coldplay sangat besar pula. Oleh karena itu, Coldplay berada di posisi avant-garde dalam isu perubahan iklim, baik di level opini maupun sebagai penggerak di akar rumput.
Terinspirasi pemengaruh
Kepedulian generasi baru terhadap isu iklim adalah sebuah kabar baik. Mengingat dampak krisis iklim acap kali di luar perkiraan masyarakat luas. Namun dengan segenap potensi mereka di bidang sains dan teknologi, Generasi Milenal kiranya bisa menjaga dan melestarikan masa depan planet Bumi dengan optimistis.
Sesuai perjalanan waktu, saat tahun emas Indonesia 2045, berarti negeri ini sudah dipimpin Generasi Milenial (termasuk Gen Z). Mereka yang hari ini masih berusia berkisar 20 sampai 30 tahun, kelak akan menjadi penentu kebijakan pada tahun 2045.
Isu krusial bagi Generasi 2045 adalah perubahan iklim, yang gejalanya sudah terlihat hari ini berupa pemanasan global, cuaca ekstrem, dan bencana hidrometerologi.
Pengetahuan krisis iklim Generasi Milenial di Tanah Air untuk sebagian terinspirasi oleh para influencer atau pemengaruh selain Coldplay, ada juga pengaruh kelompok musik pop dari Korea Selatan (K-Pop).
Pada era informasi digital seperti sekarang, sumber pengetahuan dan inspirasi bisa datang dari sudut mana pun. Maka tak perlu risau pula bila Generasi Milenial memperoleh pengetahuan dari entitas atau figur luar negeri, seperti isu perubahan iklim, lebih spesifik lagi soal pemanasan global.
Kelompok K-Pop dimaksud adalah BTS dan Blackpink. Dua kelompok ini sejak lama dikenal berada dalam posisi terdepan dalam isu iklim.
Bahkan BTS pada September tahun lalu mendapat kesempatan untuk tampil di panggung yang sangat terhormat, yakni Sidang Majelis Umum PBB di New York. BTS dengan cara memukau mengangkat isu krisis iklim, mengajak komunitas global untuk bersama-sama merawat Bumi.
Pemengaruh lain yang harus disebut adalah Gretha Thunberg, aktivis lingkungan belia dari Swedia, dan masih berstatus pelajar sekolah menengah.
Gerakan yang digagasnya dikenal dengan tagline “Friday for Future”(sejak tahun 2018), sebuah aksi masif skala global menentang perubahan iklim. Gerakan protes iklim setiap hari Jumat, harus diakui telah menjadi inspirasi bagi Generasi Milenial di Tanah Air dalam membangun kesadaran dan pengetahuan terkait perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim bagi sebagian besar masyarakat bisa jadi masih sesuatu yang abstrak sehingga diperlukan metode khusus untuk membangun narasi mitigasi.
Maka idealnya para pekerja kreatif di bidang musik dan visual perlu dilibatkan. Acap kali terbukti, sebuah isu yang lumayan berat dan abstrak, setelah dikemas ulang melalui lagu dan grafis, bisa langsung terinternalisasi dengan lebih mudah ke kalangan masyarakat.
Misalnya, ketika mengingat kelompok musik asal Bandung The Rollies pada akhir 1970-an merilis tembang “Kemarau” (karya Titik Puspa) yang sarat dengan pesan lingkungan. Lagu itu seolah memberi ramalan apa yang terjadi saat ini ketika pemanasan global benar-benar terjadi.
Fenomena krisis iklim sejatinya sudah dilihat musikus sejak lama, bahkan jauh sebelum Protokol Kyoto (1997), yang dianggap sebagai tonggak perhatian global atas isu perubahan iklim.
Dalam setahun terakhir ini sudah mulai muncul inisiatif Generasi Milenial untuk kampanye isu krisis iklim. Seperti organisasi Greenpeace menyelenggarakan kegiatan bertajuk Chasing The Shadow. Greenpeace sendiri adalah organisasi skala global untuk isu lingkungan.
Salah satu narasi yang muncul dari aksi tersebut adalah tidak ada waktu lagi untuk memikirkan apakah krisis iklim itu benar atau tidak. Artinya, tanpa kebijakan yang tegas, salah satunya soal transisi energi, masa depan generasi muda akan dipertaruhkan akibat krisis iklim yang kian masif.
Sebagai komunitas yang diperkirakan paling terdampak, pengetahuan Generasi Milenial soal krisis iklim bisa dibilang memadai. Salah satunya ditandai dengan kegiatan reguler tahunan, yaitu Indonesia Youth Climate Summit.
Momen ini menjadi penanda bahwa sudah ada elemen Generasi Milenial yang ikut mengampanyekan bahaya pemanasan global dan bagaimana cara menghindarinya.
Penyelamatan generasi
Dalam mitigasi penyelamatan Bumi sebagai dampak pemanasan global, prosesnya berbasis riset. Salah satu lembaga yang kredibel adalah IPCC atau Intergovermental Panel Climate Change (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim), lembaga riset isu iklim di bawah payung PBB yang secara berkala mengeluarkan laporan.
Pada September 2019, IPCC merilis laporan berjudul Ocean and Cryosphere in a Changing Climate. Laporan ini memberikan bukti baru manfaat membatasi pemanasan global serendah mungkin, sejalan dengan Kesepakatan Paris 2015. Cryosphere adalah wilayah di Bumi yang tertutup es. Laporan ini khusus menyorot perubahan-perubahan di wilayah tersebut akibat krisis iklim.
Satu catatan penting adalah ketika laporan tersebut menyebut gletser di Puncak Jaya (Papua), salah satu fenomena alam ikonik negeri ini.
Tahun terpanas dalam sejarah umat manusia terjadi secara berkesinambungan sejak 2014 sehingga berdampak pada gletser di Puncak Jaya, Papua. Salju abadi itu telah meleleh sehingga bisa mengancam status “keabadiannya”.
Proses penyusutan luasan dan ketebalan es berjalan dengan cepat, setidaknya sejak tahun 2002, dan diperkirakan pada tahun 2026 akan lenyap sama sekali.
Selain melelehnya gletser di Papua, dampak perubahan iklim juga mulai tampak di Kaltim. Data pengamatan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) selama 40 tahun menunjukkan Kaltim mengalami laju kenaikan suhu udara tertinggi di Indonesia.
Hal ini perlu menjadi perhatian serius, mengingat Kaltim menjadi lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN).
Secara rata-rata, Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan, dan Sulawesi bagian utara, mengalami tren kenaikan suhu udara permukaan di atas 0,3 derajat celsius per dekade.
Laju kenaikan suhu udara permukaan di beberapa wilayah Indonesia ini jauh lebih tinggi dari rata-rata kenaikan suhu global, berdasar laporan Goddard NASA untuk Studi Luar Angkasa (GISS) sebesar 0,15-0,2 derajat celsius per dekade.
Penghematan energi dan pemanfaatan energi bersih harus menjadi bagian dari gaya hidup Generasi Milenial sehingga pada akhirnya menjadi legacy untuk kehidupan yang lebih baik dan berkualitas.
Hemat energi harus menjadi gerakan bersama. Dalam lingkup komunitas, kesediaan menggunakan transportasi publik sudah sangat membantu, terlebih sebagian transportasi publik, utamanya di kota besar, sudah memasuki fase elektrifikasi. Menggunakan transportasi publik bertenaga listrik secara bersama, selain menghemat bahan bakar, juga mengurangi polusi karbon.
Dalam COP26 (KTT Iklim) di Glasgow (Skotlandia), akhir tahun 2021, Indonesia sudah menyampaikan target net zero emission (netral karbon) pada tahun 2060. Untuk mencapai target ambisius tersebut, transisi energi menjadi sandaran utama melalui program pemanfaatan kendaraan listrik secara masif.
Sesuai dengan kapasitas dan perkembangan karier Generasi Milenial, "angkatan" ini bisa berkontribusi dalam transisi energi dengan lebih memilih moda angkutan listrik dalam mobilitasnya, baik transportasi umum maupun pribadi.
Untuk transportasi pribadi, ketika harga mobil listrik masih sulit terjangkau, ada pilihan yang lebih ekonomis, yaitu skuter (otopet) listrik.
Bagi Generasi Milenial di perkotaan, pilihan terhadap skuter listrik bisa menjadi jembatan menuju gaya hidup energi hijau dan eco-friendly.
Secara prinsip, peralihan dari alat transportasi berbasis BBM ke kendaraan listrik (electric vehicle) harus dilakukan karena emisi yang dikeluarkan dapat berkurang, setidaknya, 50 persen.
*) Dr Taufan Hunneman adalah dosen UCIC, Cirebon.
Editor: Achmad Zaenal M