Depok (ANTARA) - Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto menyatakan Indonesia dan Malaysia mempunyai peran penting dalam menjaga perdamaian yang mampu menyeimbangkan wilayah Asia Tenggara.
"Indonesia dan Malaysia merupakan founder dari ASEAN. Penting untuk diingat bahwa hubungan antara Indonesia dan Malaysia bukan sekadar hubungan pemerintahan, melainkan juga relationship between people to people," kata Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto di UI Depok, Selasa.
Ia mengatakan Indonesia dan Malaysia menjalin hubungan people to people dan state to state secara intens selama ini.
Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UI, Prof. Evi Fitriyani mengatakan kedua negara mempunyai beberapa masalah di perbatasan maritim, namun Presiden Joko Widodo sudah menandatangani perjanjian mengenai Selat Malaka dan Laut Sulawesi dengan Perdana Menteri Malaysia, Dato Seri Anwar Ibrahim.
"Pembangunan baru di kawasan perbatasan Indonesia merupakan inisiatif dari Presiden Joko Widodo dalam membangunan perbatasan. Presiden sedang mencoba mengubah perbatasan dari back yard menjadi front yard. Terlihat dari pos lintas batas negara yang sekarang sudah lebih bagus dan modern," ujar Prof. Evi.
Meski begitu, Prof. Evi menyebut bahwa tantangan di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia tidak hanya muncul di pos lintas batas negara, tetapi lebih dari itu. Tidak ada jaminan bahwa fasilitas yang bagus dan modern akan membuat hubungan people to people di perbatasan menjadi baik, lalu perkembangan sosial dan budaya menjadi lebih penting dibanding political.
"Mengelola kejahatan transnasional serta melestarikan sumber daya alam di daerah perbatasan, juga menjadi tantangan lain bagi pemerintah dan masyarakat," katanya.
Sementara itu Dean Faculty of Arts and Social Sciences, University Malaya, Prof. Danny Wong, menyebutkan bahwa Indonesia dan Malaysia mempunyai kesamaan sejarah.
"Kami menyadari kesamaan sejarah itu menjadi penting. Namun, seiring berjalannya waktu, kedua negara mempunyai perbedaan seperti ide-ide pembangunan pondasi kenegaraan.
Kedua negara juga memiliki hubungan yang sangat dinamis dan melakukan banyak kerja sama," katanya.
"Selain itu, hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia juga sudah dipulihkan dengan berbagai cara," kata Prof. Wong.
Hubungan diplomatik modern Indonesia dan Malaysia terjalin sejak 1957, dan hubungan tersebut berlangsung sangat dinamis selama hampir 60 tahun.
Beberapa perbedaan dari transformasi masa kolonial, menyebabkan ketegangan dan konflik sempat terjadi pada 1963 hingga 1966.
Kedua negara perlu memastikan dan mengubah hubungan dengan memperhatikan berbagai masalah, mulai dari yang sangat politis – seperti kasus perbatasan dan pengawasan maritim, hingga masalah non-negara sentris seperti kabut lintas batas, perlindungan migran dan perselisihan budaya.
"Indonesia dan Malaysia perlu membangun pendekatan yang lebih komprehensif," katanya saat Webinar yang digelar FISIP UI bertajuk “Enhancing Indonesia–Malaysia Relations in Recent Regional Dynamics: A Perspective from Academia”.
"Indonesia dan Malaysia merupakan founder dari ASEAN. Penting untuk diingat bahwa hubungan antara Indonesia dan Malaysia bukan sekadar hubungan pemerintahan, melainkan juga relationship between people to people," kata Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto di UI Depok, Selasa.
Ia mengatakan Indonesia dan Malaysia menjalin hubungan people to people dan state to state secara intens selama ini.
Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UI, Prof. Evi Fitriyani mengatakan kedua negara mempunyai beberapa masalah di perbatasan maritim, namun Presiden Joko Widodo sudah menandatangani perjanjian mengenai Selat Malaka dan Laut Sulawesi dengan Perdana Menteri Malaysia, Dato Seri Anwar Ibrahim.
"Pembangunan baru di kawasan perbatasan Indonesia merupakan inisiatif dari Presiden Joko Widodo dalam membangunan perbatasan. Presiden sedang mencoba mengubah perbatasan dari back yard menjadi front yard. Terlihat dari pos lintas batas negara yang sekarang sudah lebih bagus dan modern," ujar Prof. Evi.
Meski begitu, Prof. Evi menyebut bahwa tantangan di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia tidak hanya muncul di pos lintas batas negara, tetapi lebih dari itu. Tidak ada jaminan bahwa fasilitas yang bagus dan modern akan membuat hubungan people to people di perbatasan menjadi baik, lalu perkembangan sosial dan budaya menjadi lebih penting dibanding political.
"Mengelola kejahatan transnasional serta melestarikan sumber daya alam di daerah perbatasan, juga menjadi tantangan lain bagi pemerintah dan masyarakat," katanya.
Sementara itu Dean Faculty of Arts and Social Sciences, University Malaya, Prof. Danny Wong, menyebutkan bahwa Indonesia dan Malaysia mempunyai kesamaan sejarah.
"Kami menyadari kesamaan sejarah itu menjadi penting. Namun, seiring berjalannya waktu, kedua negara mempunyai perbedaan seperti ide-ide pembangunan pondasi kenegaraan.
Kedua negara juga memiliki hubungan yang sangat dinamis dan melakukan banyak kerja sama," katanya.
"Selain itu, hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia juga sudah dipulihkan dengan berbagai cara," kata Prof. Wong.
Hubungan diplomatik modern Indonesia dan Malaysia terjalin sejak 1957, dan hubungan tersebut berlangsung sangat dinamis selama hampir 60 tahun.
Beberapa perbedaan dari transformasi masa kolonial, menyebabkan ketegangan dan konflik sempat terjadi pada 1963 hingga 1966.
Kedua negara perlu memastikan dan mengubah hubungan dengan memperhatikan berbagai masalah, mulai dari yang sangat politis – seperti kasus perbatasan dan pengawasan maritim, hingga masalah non-negara sentris seperti kabut lintas batas, perlindungan migran dan perselisihan budaya.
"Indonesia dan Malaysia perlu membangun pendekatan yang lebih komprehensif," katanya saat Webinar yang digelar FISIP UI bertajuk “Enhancing Indonesia–Malaysia Relations in Recent Regional Dynamics: A Perspective from Academia”.